Sabtu, 02 April 2016

ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum[1], yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah. Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, adalah perlu sekali.
Ulama salaf maupun khalaf banyak memberikan perhatian kepada masalah niat. Oleh karena itu dibuatlah kaidah fikih tentang niat tersebut. Niat merupakan hal yang sangat penting dalam Ibadah. Karena niat sangat menentukan kualitas ibadah seseorang, diterima atau tidak, dan ikhlas atau tidak. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kaidah ini termasuk salah satu dari panca kaidah yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat.
Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya.[2] Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan. Ada banyak hal tentang niat. Namun dalam makalah ini penulis tidak akan membahas keseluruhan kaidah tersebut, akan tetapi hanya akan membahas salah satu kaidah saja, yaitu : Al-umuuru bimaqashidiha.
B.     Rumasan Masalah
Berdasarkan diskripsi diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan kami bahas dalam makalah ini. Antara lain sebagai barikut :
1.      Bagaimana pengertian qawaid fiqhiyah dan niat?
2.      Apa saja yang terkandung dalam kaidah pertama?
3.      Bagaimana penerapan kaidah pertama dalam al-ahwal al-syakhshiyyah?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui bagaimana pengertian qawaid fiqhiyah dan niat?
2.      Mengetahui apa saja yang terkandung dalam kaidah pertama?
3.      Mengetahui bagaimana penerapan kaidah pertama dalam al-ahwal al-syakhshiyyah?














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad Warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).[3]Dalam tinjauan terminologi, qawaid fiqhiyyah merupakan hasil atau kesimpulan dari hukum-hukum fiqh yang terperinci (juz’iyyah) dan terpisah-pisah sebagai hasil akhir dari ijtihad mereka, lalu bagian-bagian yang terpisah tersebut diikat menjadi satu ikatan atau kaidah, sehingga hubungan antara qawaid fiqhiyyah dalam hukum islam dapat disejajarkan.[4]
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa Qawaidul Fiqihiyah adalah : ”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Menurut sebagian fuqaha’, qawaid fiqhiyyah itu, dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu:[5]
1.      kaidah-kaidah yang menurut sebagian ulama menjadi tempat pengembalian seluruh kasus fiqh. Kaidah ini ada lima macam, dan biasa dikenal dengan al-qawaidul khomsah atau istilah kaidah komprehensip mayor.
2.      kaidah-kaidah yang memuat berbagai macam kasus fiqh dapat dikeluarkan darinya, kaidah ini jumlahnya ada empat puluh , dan biasa dikenal dengan kaidah representatif (aghlabiyah).
3.      kaidah-kaidah yang kontroversif dan salah satunya tidak dapat digunakan sebagai penguat dari yang lainya, sebab masing-masing pendapat tersebut mempunyai dalil yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja, keidah kontroversif ini ada dua puluh.
Namun disini penulis hanya akan membahas mengenai kaidah yang pertama saja.
B.     Kaidah Prinsip
Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُالْمَفَاسِد  Syaikh Izzuddin bin Abdus-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa, seluruh syari’ah itu adalah maslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat.[6] Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula yang menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.
Jaih Mubarok di dalam bukunya yang berjudul, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi mengatakan bahwa seluruh kaidah fikih, pada dasarnya, dapat dikembalikan pada satu kaidah, yaitu:
ﺪَﺮْؤُ ﺍﻟﻣَﻔَﺎﺴِﺪِ ﻭَﺠَﻟْﺐُ ﺍﻟﻣَﺻَﺎﻟِﺢِ
Artinya: “Menolak kemafsadatan dan mendapatkan maslahat”.
Kaidah ini merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fikih adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapat mashlahat. Kaidah asasi atau yang dikenal dengan al-Qawa’id al-Kubra merupakan penyederhanaan (penjelasan yang lebih detail) dari kaidah inti tersebut. Adapun kaidah asasi ini adalah kaidah fikih yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah  tersebut yang bias disebut dengan   al-qawa’id al-khamsah (lima kaidah asasi).



C.    Al-Qawa’id Al-Khamsah (Lima Kaidah Asasi)
kelima kaidah tersebut di bawah ini sangat masyhur di kalangan mazhab al-Syafi’i khususnya dan kalangan mazhab-mazhab lain. Kaidah-kaidah tersebut yaitu:[7]
1. Kaidah Asasi yang Pertama
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ 
Artinya: “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
2. Kaidah Asasi yang Kedua
ﺍﻠﻴَﻘِﻦُ ﻻَ  ﻴُﺰَﺍﻞُ ﺒِﺎﻠﺸﱠﻙﱢ
Artinya: “Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”.
3. Kaidah Asasi yang Ketiga
ﺍﻟﻣَﺸَﻘﱠﺔُ  ﺗَﺠْﻟِﺐُ ﺍﻟﺗﱠﻴﺴِﻴﺮَ
Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
4. Kaidah Asasi yang Keempat
ﺍﻟﻀﱠﺮَﺍﺮُ ﻴُﺰَﺍﻞُ
Artinya: “Kesulitan harus dihilangkan”.
5. Kaidah Asasi yang Kelima
ﺍﻟﻌَﺎﺪَﺓُ ﻣُﺣَﻛﱠﻣَﺔٌ
Artinya: “Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan hukum”.
Panca kaidah tersebut digalih dari berbagai sumber hukum, baik melalui al-Qur’an dan as-Sunnah maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fikih, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam.
Namun dari lima kaidah ini, penulis hanya akan membahas tentang kaidah fiqih yang pertama saja, yaitu الامور بمقاصدها (al-Umuru bi Maqasidiha). Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang.
D.    Kaidah Niat

ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ 
Artinya: “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.

Maksudnya adalah niat yang terkandung di dalam hati seseorang saat melakukan amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal amaliyah yang telah dilakukan, baik yang berhubungan dengan peribadatan maupun adat kebiasaan.[8]
Dengan demikian setiap amaliyah pasti didasarkan pada niat, jika tidak, maka amaliyah tersebut bersifat spekulatif. Oleh karena itu niat memiliki posisi yang sangat penting, sebab sebagai penentu segala gerak, tingkah dan amaliyah yang dilakukan menjadi bernilai baik atau tidak.
1.      Pengertian Niat
a.       Secara Bahasa
            Kata النية  dengan tasydid pada huruf ya’ adalah bentuk masdar dari kata kerja nawa-yanwi. Dan inilah yang terkenal dikalangan ahli bahasa.[9] Niat adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui baik dan buruknya amalan.
Orang yang berniat adalah orang yang bertekad bulat atau berketetapan hati untuk mengarah pada sesuatu, yaitu bermaksud untuk melakukan suatu tindakan dan arah yang dituju.
النية فتربيط بالمقاصد
Artinya: “Niat adalah memiliki hubungan atau memiliki keterkaitan dengan tujuan atau maksud.”
أنما الأعمال بالنيات وأنما لكل أمرئ ما نوى, فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله, ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته الى ماهجر اليه. (متفق عليه).
Nilai suatu amal perbuatan seseorang sangat oleh niatnya. Barang siapa yang hijrahnya Karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
Melalui hadits diatas, wisdom (hikmah) yang kita dapat bahwasanya niat mempunyai eksistensi yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Niat menjadi asas utama penerimaan suatu amalan yang sama, ada yang diterima atau ditolak oleh Allah. Sekiranya suatu amalan itu dilakukan secara betul dari segi tata caranya namun salah dari segi niatnya, maka ia tidak diterima oleh Allah. Atau juga suatu amalan itu betul dari segi niatnya, tetapi salah dari segi tata caranya, ia juga menjadi sia-sia di sisi Allah.
ومن يرد ثواب الدنيا نٶته منها ومن يرد ثواب الأخرة نؤته منها
Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki pahala dunia niscaya kami akan berikan kepadanya pahala dunia dan barangsiapa yang menghendaki pahala akhirat niscaya kami akan berikan pula kepadanya pahala akhirat.”
b.      Secara Istilah
Niat adalah mengoreintasikan ketaatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan. Al-Mawardi mengatakan bahwa niat adalah maksud yang mengiringi suatu tindakan. Begitu pula Imam Haramain ia menukil bahwa niat termasuk kategori maksud ( (القصدdan keinginan (الإرادة).[10]
Mengingat niat pada dasarnya adalah maksud atau kesengajaan, maka tidak ada yang keluar darinya kecuali perbuatan orang linglung, gila, dan segala sesuatu yang tidak berakal seperti hewan dan binatang.
Imam Abu Ubaidah berkata: Tak ada satu Hadits yang lebih kaya dan banyak faidahnya daripada Hadits niat. Begitu juga Imam as-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, ad-Daruquthni dan lainnya sepakat bahwa Hadits niat itu menempati sepertiga dari seluruh ilmu pengetahuan. Pendapat yang sama pernah diulas oleh Imam al-Baihaqi sebagai berikut: segala aktivitas manusia itu adakalanya berpangkal di hati sanubari, pada lisan dan adakalanya pada anggota badan. Niat yang berpangkal di hati sanubari adalah aktivitas kejiwaan. Dan ini lebih baik daripada aktivitas yang berpangkal di lisan dan anggota badan.
Niat jika setelahnya tidak ada tindakan berupa instrumentalitas lebih baik daripada adanya tindakan instrumentalitas tanpa diiringi niat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
نية المؤمن خير من عمله (رواه الطيرانى)
Artinya: “Niat orang mukmin itu lebih baik daripada amal perbuatannya saja.”
2.      Niat Dan Azam
Dalam bahasa Arab antara niat dan ‘azam memiliki makna yang berbeda. Secara etimologi niat diartikan bermaksud dan azam diartikan rencana.  Adapun dalam artian istilah (terminologi) kedua istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut: niat adalah maksud hati yang diiringi dengan perbuatan (prilaku). Sebagai contoh, seseorang akan bermaksud ke pasaran, ketika hatinya berkata mau ke pasar, pada saat itu juga kakinya melangkah menuju pasar. Dengan demikian dapat kita pahami jika ada seseorang yang bermaksud berangkat kepasar, tetapi hanya berdiam diri, kakinya tidak bergerak atau melangkah sedikitpun, spontan kita dapat mengatakan bahwa yang demikian itu bukanlah niat, karena antara maksud hati dan prilaku tidak berbarengan. Anehnya hal ini banyak diartikan (definisikan) niat oleh kebanyakan orang.
Dalam konteks ibadah, shalat misalnya, banyak orang mengatakan shalat cukup dengan niat, padahal niat shalat harus berbarengan dilakukan dengan perbuatan shalat, karena itu merupakan kriteria niat. Maka jika ada orang berkata saya mau shalat, hal ini tidak dapat dikatakan niat, ini baru tataran rencana. Persoalan niat yang harus berbarengan antara maksud hati dengan prilaku tidak berlaku bagi puasa, karena niat puasa harus dilakukan di tengah malam, sementara pelaksanaannya di siang hari.
Dari penjelasan diatas, sebenarnya kita sudah dapat memahami arti dari niat dan azam itu sendiri, karena segala permaksudan hati yang tidak termasuk pada kriteria niat masuklah pada kriteri azam. Azam dengan niat perbedaannya sangatlah tipis, karena perbedaanya hanya terletak pada prilaku (pelaksanaannya). Jika niat harus berbarengan antara maksud hati dan pelaksanaann, sementara azam antara maksud hati tidak berbarengan. Dengan kata lain Azam dapat diartikan dengan rencana.
E.     Dasar Hukum
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama mengenai niat, diantaranya sebagai berikut:
1.      al-Quran :
1.      Q.S Al Bayyinah ayat:5
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”.

Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas.

2.      Q.S Ali 'Imran ayat: 145
$tBur tb$Ÿ2 C§øÿuZÏ9 br& |NqßJs? žwÎ) ÈbøŒÎ*Î/ «!$# $Y7»tFÏ. Wx§_xsB 3 ÆtBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4 ÌôfuZyur tûï̍Å3»¤±9$# ÇÊÍÎÈ
Artinya: ”Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.[11]

Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah akan memberikan balasan kepada hambanya sesuai dengan maksud dan tujuan hamba tersebut melaksanakan suatu perbuatan. Orang yang melaksanakan suatu perbuatan dengan tujuan duniawi, Ia akan membalasinya dengan pahala dunia. Sementara orang yang melaksanakan suatu perbuatan untuk kepentingan akhiratnya, Allah akan membalas dengan pahala di akhirat.
3.      Q.S Al-Baqarah ayat:225
žw ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏY»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nä.äÏ{#xsム$oÿÏ3 ôMt6|¡x. öNä3ç/qè=è% 3 ª!$#ur îqàÿxî ×LìÎ=ym ÇËËÎÈ
Artinya:”Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.
4.      Q.S Al-Ahzab ayat 5:
öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JŠÏm§ ÇÎÈ
Artinya: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.





2.      Hadits

a.       HR. Bukhari dari Umar bin Khattab
ﺇِﻨَّﻣَﺎﺍﻷَﻋﻣَﺎ ﻞُ ﺒالنياﺖِ ﻮَﺍِﻨَّﻣَﺎ لكلﻣﺮِئٍ ﻣَﺎﻨَﻮَى (ﺍﺧﺮﺠﻪﺍﻟﺒﺧﺎﺮى﴾
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.”
b.      HR. Bukhari.
انك لو تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله الا أجرت عليهاحتى ماتجعل فى فم امرأتك
Artinya: "Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekedar sesuap ke dalam mulut istrimu".
c.       HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah ra.
إنما بعث الناس على نياته
Artinya: “Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.”[12]
d.      HR. Thabrani dari Shalan Ibnu Said
نِيَة المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِه (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﻃﺒﺮﺍﻨﻰ﴾
Artinya: “Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang kosong dari niat)”.
F.     Obyek Pembahasan Kaidah Niat Dan Fungsinya
1.      Obyek Pembahasan Kaidah Motivasi
Dalam penanggapan hadits tentang niat, para ahli hukum islam berpendapat bahwa posisi hadits ini sangat penting, mengingat semua kasus bisa tercantum didalamnya, bahkan mereka berbeda pendapat dalam memberikan komentarnya, seperti:
a.       Sebagian diantara mereka mengatakan bahwa hadits tentang niat, itu merupakan 1/3 nya ilmu, sebab amal amaliyah itu dapat dikelompokkkan menjadi tiga, yaitu:
1.      Amal amaliyah dengan menggunakan anggota badan
2.      Amal amaliyah dengan menggunakan lisan
3.      Amal amaliyah dengan menggunakan hati
b.      Sebagian lagi berpendapat bahwa hadits tentang niat memuat ¼ nya ilmu.[13] Dilihat dari banyaknya hadits-hadits tentang niat yang berkaitan dengan ilmu.
2.      Fungsi Niat
Niat mempunyai posisi yang dominan dalam hubungannya dengan berbagai ragam amaliyah manusia yang berwujud dalam berbagai ragam bentuk, diantaranya yaitu:
a.       Amaliyah peribadahan yang bersifat mahdlah (amaliyah ritual keagamaan murni, seperti shalat, puasa, haji dan sebagainya.
b.      Amaliyah yang mengandung aspek amaliyah ritual yang berkaitan dengan kegiatan keseharian, seperti membsuh wajah dengan tujuan berwudlu sekaligus untuk mencuci muka. Menyiran semua anggota tubuh dengan tujuan mandi jinabat dan membersihkan diri dan sebagainya.
c.       Amaliyah dalam wujud kegiatan keseharian manusia yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai individu atau sebagai makhluk sosial, seperti makan, minum, tidur dan sebagainya.
Dari bentuk amaliyah tersebut, peran penting yang dimiliki niat adalah sebagai berikut:
1.      Niat sebagai pembeda antara ibadah dan kebiasaan. Oleh karena itu, niat hanya dibutuhkan pada amaliyah ibadah yang memiliki kesamaan dengan ‘adah, sedangkan yang tidak memiliki kesamaan, tidak harus ada niat. Seperti mandi besar dan wudlu.
2.      Niat sebagai pemilah strata dari suatu ibadah, misalnya fardhu, sunnah dan lainnya, bahkan amaliyah yang bernilai boleh (ibahah), bisa bernilai ibadah jika aktivitasnya diniati sebagai sarana penunjang ibadah. Seperti shalat sunnah dhuhur, ada kesamaannya dengan shalat sunnah ashar. Mandi jum’ah, ada kesamaannya dengan mandi ihram haji atau ‘umrah.
3.      Niat sebagai petunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki kemungkinan arti yang tidak langsung dan arti asli, yang dikenal dengan istilah kinayah, misalnya suami menceraikan istrinya dengan menggunakan kata-kata yang berbentuk kinayah atau sindiran.
3.      Aktivitas Ritual Ibadah Yang Tidak Harus Ada Niat.
Ritual ibadah yang disyaratkan niat adalah amaliyah ibadah yang ada kesamaannya dengan amaliyah ‘adah. Sedangkan ritual ibadah yang tidak disyaratkan niat adalah:[14]
a.       Amaliyah ibadah yang tidak ada kesamaannya dengan amaliyah ‘adah seperti iman. Iman tidak ada kesamaannya dengan ‘adah, untuk itu dalam masalah iman tidak disyaratkan harus ada niat.
b.      Amaliyah meninggalkan larangan, baik yang statusnya haram maupun makruh. Seperti meninggalkan zina, pembunuhan, merokok dan lain sebagainya.
Dengan demikian, untuk bisa menghasilkan pahala, sebaiknya diikuti dengan niat, sehingga status niat meninggalkan larangan itu adalah sunnah, misalnya menghilangkan najis dan memandikan mayat. Sekalipun demikian, ketentuan tidak harus ada niat pada amaliyah meninggalkan larangan tersebut, masih diperdebatkan oleh fuqaha, sebagian fuqaha berpendapat bahwa amaliyah tersebut tetap harus ada niat, sebagian fuqaha lain berpendapat bahwa amaliyah tersebut tidak harus ada niatnya.
G.    Penentuan Obyek Niat (Ta’yin Al-Niyyat)
1.      Arti Ta’yinun Al-Niyyat Dan Latar Belakangnya.
Selain syarat adanya niat pada semua aktivitas ritual peribadahan, disyaratkan pula adanya ta’yin dalam niat. Yang dimaksud dengan ta’yin niat adalah penentuan obyek amaliyah secara spesifik, setelah sebelumnya didahului niat pada jenis amaliyah tersebut, misalnya jika seseorang melakukan niat mendirikan shalat (sebagai suatu jenis amaliyah), maka ia diharuskan pula menentukan sub jenis shalat itu sendiri, apakah fardlu dhuhur, asar atau bahkan shalat sunnah maghrib. Penentuan pada sub jenis inilah yang ahirnya dikenal dengan istilah ta’yinun niat.[15]
Adapun yang melatarbelakangi diwajibkannya ta’yin niat adalah adanya keanekaragaman jenis aktivitas ritual ibadah yang harus dikerjakan. Seperti bersuci, yang banyak jenisnya diataranya bersuci dari hadas kecil atau besar. zakat, ada zakat harta,fitrah. Kafarah, jenisnya ada kafarah sumpah, kafarah nadzar atau sumpah.
Untuk itu dibutuhkan niat sebagai media yang bisa membedakan antara sub ibadah yang satu dengan yang lainnya.
2.      Ta’yin Fardliyah (Spesifikasi Fardlu) Dalam Niat.
Semua bentuk ritual peribadahan yang status kefardluannya disyaratkan harus ditentukan di dalam niat, maka penentuan niat fardlu diidalamnya sangat diperlukan, artinya niat menentukan status fardlu dalam aktivitas ritual perbadahan itu, harus ada dan menjadi syarat sahnya orang yang berniat, misalnya shalat fardlu asar, maghrib dan puasa fardlu.
Mengingat status amaliyah ibadah fardlu tersebut wajib, maka status penentuan kefardluan padanya juga ikut wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah al-munasabah/korelasi, yang artinya: “setiap ibadah yang membutuhkan niat fardlu, maka wajib pula untuk menta’yinkannya.”[16]
3.      Pengecualian Kaidah Ta’yin Fardliyyah Dalam Niat
Kidah ta’yin fardliyyah (spesifikasi fardlu) dalam niat tersebut, hanya difokuskan pada ibadah yang status hukumnya fardlu, bukan lainnya, sehingga kaidah ini mengecualikan aktivitas ritual ibadah tayammum, padahal tayammum termasuk kelompok aktivitas ritual peribadahan fardlu yang mengharuskan adanya ta’yin, namun kenyataannya tidak ada kewajiban penyebutan kalimat fardlu dalam niat bertayammum. Oleh karena itu ketentuan status hukum tidak wajib ini merupakan suatu pengecualian.
4.      Ta’yin Ijmali Dan Tafshili
Fokus pembahasan ini adalah jika penentuan atau spesifikasi (ta’yin) secara global itu diwajibkan penyebutannya, tetapi tidak diwajibkan secara terperinci, jika disebutkan secara rinci namun teryata salah, maka hukumnya batal.[17] Contonya seseorang yang berniat menjadi makmum dari imam bernama bayu, padahal imamnya bernama wisnu, maka shalatnya menjadi batal, sebab yang wajib baginya hanya ta’yin secara global, yaitu hanya berniat makmum, tetapi tidak diwajibkan ta’yin secara rinci, yaitu menentukan siapa nama imamnya. Jika demikian, maka shalatnya dianggap batal dan tidak sah. 
Yang menjadi penyebab batalnya shalat yang dilakukan oleh makmum terletak pada kesalahan niat bermakmumnya. Bukan pada hakikat shalatnya. Maksudnya, jika ia tetap mengikuti pergerakan shalat imam, padahal bermakmumnya sudah dianggap tidak sah, maka shalatnyapun menjadi ikut batal. Lain halnya jika dengan dia niat memisahkan diri dari imam, maka shalatnya tetap sah.
5.      Ikhlas Dan Tasyrik Dalam Niat
a.       Arti ikhlas
Yang menjadi tolak ukur  sah dan tidaknya niat adalah ikhlas (ketulusan hati), artinya adanya keterfokusan orang yang berniat pada obyek yang diniati, tanpa ada percampuradukan dengan yang lainnya, misalnya shalat. Jika niatnya disamping melaksanakan kewajiban, ditambah lagi dengan niat berolahraga, maka niatnya tidak sah dan shalatnya batal.[18] Dalam hal ini ulama juga berbeda pendapat.
Dengan demikian, maka keterfokusan orang yang berniat hanya pada obyek yang diniati itu, menjadi syarat yang harus ada dalam niat, sehingga niat itu tidak boleh dipercampuradukan dengan lainnya. Oleh karena itu, percampuradukan (tasyrik) dalam niat, berakibat pada batalnya obyek yang diniati.
b.      Tasyrik (pencampuradukan dalam niat dan klasifikasinya
Tasyrik dalam niat adalah membersamakan niat dalam satu pekerjaan dengan pekerjaan lain. Akan tetapi jika tasyrik dalam niat itu dihubungkan dengan keabsahan dalam satu peribadahan, maka tasyrik dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu :
1.      Niat melakukan ibadah disertai niat selain ibadah.
2.      Ibadah fardlu diniati sebagai ibadah sunnah sekaligus.
3.      Melakukan satu peribadahan dengan dua niat fardlu.
4.      Satu ibadah dengan dua niat sunnah.
H.    Waktu Pelaksanaan Niat.
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal dilaksanakannya ibadah. Hal ini berdasarkan pada adanya penelitian fuqaha yang mengatakan bahwa huruf ba’ dalam matan hadits bi al-niat itu memiliki arti mushahabah atau kebersamaan, sehingga pengertian yang terkandung didalmnya adalah “niat itu merupakan bagian dari amal amaliyah itu sendiri”. Dengan demikian, maka waktu dilaksanakannya niat adalah bersamaan dengan permulaan ibadah itu dilaksanakan, misalnya: shalat, niatnya bersamaan dengan waktu membaca hamzahnya bacaan Allah dalam takbiratul ihram. Namun disini terdapat pengecualian kaidah muqaranah (sinergitas) dalam niat.[19]
Kaidah sinergitas niat mengecualikan amaliyah ibadah puasa, zakat dan yang sepadan dengannya. Karena dalam ibadah puasa dan zakat, tidak wajib adanya kebersamaan niat dengan amaliyah puasa, bahkan tidak sah jika dibersamakan niat dengan awalnya siang, sebab tingkat kesulitan dalam menentukannya sangat tinggi.
I.       Tempat Pelaksanaan Niat
1.      Tempat niat
Yang menjadi tempat niat untuk semua ibadah adalah dalam hati[20], bukan dalam lisan dengan suatu ucapan. Hal ini hanya terdapat pada ibadah-ibadah yang berhubungan dengan allah, bukan dengan manusia. Jika dengan manusia, maka niatnya bertempat pada lisan dengan ucapan, bukan pada hati.
2.      Aplikasi tempat pelaksanaan niat
Dari penjelasan tempat niat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang menjadi tempat untuk mengucapkan niat dari suatu ritual peribadahan yang berhubungan dengan allah itu, tidak cukup hanya dengan menggunakan ucapan lisan, yang bisa meniadakan ucapan hati, akan tetapi berkumpulnya ucapan, niat dan hati merupakan suatu pernyataan yang  harus ada.
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa mengingat sulitnya orang-orang awam melaksanakan niat dalam bentuk ucapan hati, maka sudah dianggap cukup dan sah bagi mereka untuk melakukan niat dengan cara melafalkan niat hanya dalam lisan.
Oleh sebab itu, jika terjadi perbedaan antara ucapan hati dengan ucapan lisan itu dalam ibadah yang berhubungan dengan allah, seperti shalat dan lainnya, maka yang dianggap adalah ucapan hati. Akan tetapi jika aplikasi niat dalam amaliyah tersebut berhubungan dengan manusia, maka yang dianggap sah adalah ucapan lisan, bukan ucapan hati.[21]
J.      Status Niat (Rukun Atau Syarat)
Fuqaha berbeda pendapat mengenai status niat
1.      Jika dilihat dari sisi penyebutan niat yang harus dilakukan di awal permulaan ibadah, maka niat berstatus sebagai suatu rukun
2.      Jika dilihat dari sisi bahwa niat itu harus tetap ada, artinya tidak ada amaliyah yang bertentangan atau yang menegaskan atau memutuskan niat, maka niat berstatus sebagai suatu syarat.
Dari perbedaan pendapat beberapa fuqaha, taqiyyuddin al-Hisniy berusaha mengkompromikannya dengan mengatakan bahwa:
a.       Jika keabsahan setiap amaliyah itu tergantung pada niat, maka niat merupakan rukun yang harus ada didalam amaliyah tersebut. Misalnya shalat. Ibadah ini tidak akan bisa dianggap sah jika dalam pelaksanaannya tidak menggunakan niat.
b.      Jika keabsahan itu tidak bergantung pada niat, tetapi untuk mendapatkan pahala masih tergantung pada niat, maka niat merupakan syarat, dalam artian syarat untuk mendapatkan suatu pahala, misalnya amaliyah yang status hukumnya mubah atau amaliah meninggalkan kemaksiatan yang tujuannya hanya bertaqarrub.
K.    Aspek Hukum Yang Membutuhkan Niat Syar’iyyah
Ajaran-ajaran syari’at memiliki dua kemungkinan, antara tuntutan dan kebolehan. Tuntutan itu sendiri dapat berbentuk perintah atau larangan, dan masing-masing memiliki ketentuan hukum tersendiri.[22]
1.      Perintah
Dalam perintah terdapat dua kategori, yaitu :
a.       Tindakan atau perbuatan yang sudah dipandang cukup dalam menghasilkan kemaslahatannya.
Misalnya membayar hutang, nafkah dan tindakan serupa lainnya. Maslahat yang dimaksud dalam hal ini adalah sesuatu yang memberikan manfaat bagi pelakunya. Dan hal tersebut tidak membutuhkan niat pelaku (manusia bebas tanggung jawabnya, walaupun tidak meniatkannya).
b.      Perbuatan yang tidak cukup dalam menghasilkan maslahat yang diinginkan.
Seperti shalat, bersuci, puasa dan ibadah lainnya. Maksud dari ibadah-ibadah tersebut adalah pengagungan allah dalam pelaksanaannya. Ketundukan dalam ketetapannya dapat dihasilkan jika diniatkan karena allah, sebab pengagungan dengan tindakan bukanlah pengagungan yang sia-sia. Seperti seseorang yang membuat jamuan untuk seseorang dan dinikmati oleh orang lain, maka kami yakin bahwa pengagungan yang dimaksudkan dengan penghormatan adalah orang pertama bukan yang kedua. Inilah kategori perintah yang disyaratkan niat agar terbebas dari tanggung jawab dan memperoleh pahal berlipat ganda.

2.      Larang dan kebolehan
Adapun bentuk-bentuk larangan, manusia terbebas dari tanggung jawabnya dengan cara meninggalkan larangan tersebut, dan jika tidak merasakannya lebih baik berniat untuk meninggalkannya. Begitu pula masalah-masalah kebolehan tidak membutuhkan niat. Namun apanila tidak tergolong ibadah maka harus dengan meniatkannya sebagai ibadah. Seperti makan dan minum  diniatkan untuk takwa kepada allah dan lain sebagainya.
Demikian setiap perbuatan dapat menjadi sebuah ibadah apabila terdapat di dalamnya niat agar menjadi ibadah yang melahirkan pahala. Inilah yang ditunjukan oleh hadits,”sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niat”. Untuk itu ditetapkan niat pada masalah-masalah mubah dan aktivitas sehari-hari agar dapat menghasilkan pahala ibadah dan tidak ada kesulitan dalam pelaksanaannya ketika niat sudah menjadi rutinitas diri seseorang.
L.     Faidah Kaidah Niat
Sebagian orang ada yang menyalahgunakan kaidah ini, mereka mengatakan bahwa semua amal perbuatan itu tergantung niatnya, baik amal tersebut baik ataupun jelek. Yang atas dasar ini, mereka mengatakan bahwa orang yang mencuri bisa saja mendapatkan pahala kalau dia berniat untuk membantu orang yang faqir dengan hasil curiannya. Dan masih banyak lagi gambaran salah lainnya.[23]
Untuk menjawab hal demikian ahmad sabiq memberikan beberapa catatan yaitu:
1.      Wajib bagi seorang muslim kalau ingin menghukumi sebuah masalah, jangan hanya mengambil satu atau dua buah dalil serta meninggalkan lainnya, namun hendaknya di amelihat semua dalil syar’i yang berhubungan dengan masalahnya lalu baru dia hukumi
2.      Berdalil dengan kaidah ini untuk hal diatas adalah sebuah kesalahan yang fatal, karena kaidah ini hanya untuk menjelaskan salah satu pokok dan dasar bisa diterimanya sebuah amal, yaitu masalah ikhlas kepada allah dalam semua perbuatan yang dilakukannya.
M.   Cabang-Cabang Kaidah Dan Aplikasinya
Dari kaidah fikih الأمور بمقـاصدها  ini lahir Cabang-cabang Kaidah al-Umur Bimaqasidha yaitu:[24]
1.  العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني  
Artinya: “pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya.”
Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
2.        Di kalangan mazhab Hanafi terdapat kaidahلاثواب الابالنية
Artinya: “tidak ada pahala kecuali dengan niat.”
Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawaid al-kuliyyah yang pertama sebelum al-umur bimaqasidiha. Seperti diungkapkan oleh Qâdi 'Abd. Wahab al-Bagdadi al-Maliki. Tampaknya Pendapat maźhab Maliki ini lebih bisa diterima, karena kaidah di atas asalnya لاثواب ولاعقـاب الابالنية
Artinya: “tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya”.
3.       لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب  
Artinya: “apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati.”
Sebagai contoh, apabila hati niat wudû, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudûnya tetap sah.
4.       لايلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله
Artinya: “tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tapi wajib niat dalam keseluruhan yang dikerjakan.”
Contoh: untuk shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.
5.       كل مفرضين فلاتجزيهنانية واحدة الا الحج والعمرة  
Artinya: ”setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan 'umrah.”
Seperti diketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:
a.       Pertama yaitu haji tamatu, yaitu mengerjakan umrah dahulu baru mengerjakan haji, cara ini wajib membayar dam.
b.      Kedua yaitu haji ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib membayar dam.
c.       Ketiga yaitu haji qiron, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam. Cara ketiga ini lah haji qiron yang dikecualikan oleh kaidah tersebut di atas.
Jadi prinsipnya setiap dua kewajiban ibadah atau lebih, masing-masing harus dilakukan dengan niat tersendiri.
6.      كــل ماكان له أصل فلاينتقل عن أصله بمجرد النية
Artinya: “setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari yang asal karena semata-mata niat.”
Contoh: seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Abu Hanafiah dan juga mazhab Malik. Kasus ini berbeda dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat saum sunnah, maka sah saumnya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.
7.      مقاصد اللفظ على نية اللافظ
Artinya: “maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang mengucapkan.”
Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.
8.     الأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد  
Artinya: “sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud.”
Khusus untuk sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallahi" atau "demi Allah saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya.
Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.
















BAB III
PENERAPAN DALAM AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
A.    Penggunaan Kata Kiasan Atau Sindiran Dalam Talak
Seandainya seorang suami berkata pada istrinya: “kamu terlepas dari segala ikatan yang mengikatmu, maka pernyataan tersebut mengandung kemungkinan bahwa si istri terlepas dari ikatan perkawinan atau dengan kata lain ia tertalak. Namun dapat juga mengandung kemungkinan bahwa ia bebas bertindak dalam segala tindakan dan urusan, baik yang bersifat pribadi, rumah tangga ataupun yang lainnya.
1.      Pengertian Talak
Talak diambil dari kata kata الْإِطْلَاق  “ithlaq” artinya melepaskan atau meninggalkan. Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau ikatan tawanan atau pun ikatan ma’nawi seperti nikah
Talak menurut istilah adalah menghilangkan ikatan pernikahan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan mengunakan kata-kata tertentu. Sedangkan Talak menurut syara’ ialah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami istri.[25]
2.      Talak Ditinjau dari segi lafadz:
a.       Talak sharih
Merupakan talak yang apabila seorang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan mempergunakan kata-kata At-Thalaq atau Al-Firaq, atau As-Sara. Ketiga kata tersebut terdapat dalam Al-Qur’an atau hadits yang maksudnya jelas untuk menceraikan istri. Dengan menggunakan lafadz tersebut, seseorang yang mentalak istrinya maka jatuhlah talak tersebut walaupun tanpa niat. Dengan kata lain talak sharih yaitu talak yang diucapkan suami dengan menggunakan kata-kata yang jelas dan tegas tidak mengandung arti lain kecuali talak itu sendiri.
b.      Talak kinayah atau kiasan
merupakan talak yang dilakukan seseorang dengan menggunakan kata-kata selain dari kata-kata lafadz sharih. Suami mentalak istrinya dengan menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar.[26]
3.      Talak dalam KHI
Dari keterangan fiqh (klasik), sudah jelas bahwa talak akan langsung jatuh jika suami yang langsung melafadzkan talak baik secara lisan atau tulisan, walaupun hakim pengadilan agama belum memutuskan. Namun di zaman modern sekarang dibanyak negara islam termasuk indonesia sudah menjadi kesepakatan ulama modern seperti dalam KHI indonesia, sebuah rujukan hukum terapan resmi di pengadilan agama RI, disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan pengadilan agama, setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (pasal 115). Artinya sebuah perceraian baru dianggap sah jika sudah keluar keputusan resmi dari PA setelah melalui tahap sidang.[27] Hal ini karena pertimbangan maslahat, juga karena pada masa nabi SAW saat al-qur’an turun belum ada lembaga pengadilan resmi yang menangani perceraian seperti sekarang ini.
4.      Hukum Talak
Dalam ajaran Islam Talak diperbolehkan (mubah) sebagai jalan terakhir ketika kehidupan rumah tangga mengalami jalan buntu, talak hanya dapat dilakukan apabila hubungan perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Tentang talak ini, Rasulullah bersabda :

اَبْغَضُ الْحَلاَلِ اِلٰى اللهِ الطلاَقُ
Artinya : “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Talak.”



B.     Analisis Tentang Penggunaan Kata Kiasan Dalam Talak
Seandainya seorang suami berkata pada istrinya: “kamu terlepas dari segala ikatan yang mengikatmu, maka pernyataan tersebut mengandung kemungkinan bahwa si istri terlepas dari ikatan perkawinan atau dengan kata lain ia tertalak. Namun dapat juga mengandung kemungkinan bahwa ia bebas bertindak dalam segala tindakan dan urusan, baik yang bersifat pribadi, rumah tangga ataupun yang lain.
Permasalahan diatas ketika kita dilihat dari fungsi niat[28], yang terdapat dalam poin ke tiga, yaitu Niat sebagai petunjuk maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki kemungkinan arti yang tidak langsung dan arti asli, yang dikenal dengan istilah kinayah, dalam hal ini perkataan yang dianggap sebagai ungkapan talak secara kinayah “kamu terlepas dari segala ikatan yang mengikatmu” tersebut  mengandung kemungkinan:
1.      istri terlepas dari ikatan perkawinan
2.      istri bebas bertindak dalam segala tindakan dan urusan, baik yang bersifat pribadi, rumah tangga ataupun yang lain
Hal ini dikembalikan pada niat suami, Dalam kondisi seperti ini penjelasan niat suami yang sebenarnya mesti diketahui, karena seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya  bahwa Letak niat adalah di dalam hati[29]. Niat dapat diucapkan atau diikrarkan dalam hati pada saat sebelum maupun pada saat sedang melangsungkan perbuatan tersebut.  Ketika terjadi perbedaan antara hati, lisan dan perbuatan, maka yang dilihat adalah hatinya. Boleh saja seseorang menyatakan YA secara lisan terhadap suatu pendapat. Tapi kalau hatinya berkata TIDAK maka niatnya yang sebenarnya adalah TIDAK. Sama halnya dengan permasalahan mengenai lafadz talak secarah kinayah tersebut, ketika suami mengatakannya dengan adanya niat untuk mentalak istrinya, maka jatuhlah talak tersebut, namun sebaliknya, ketika suami tidak meniatkan untuk talak, maka talak tersebut tidak jatuh pada istrinya. Sesuai dengan kaidah.[30]
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ 
Artinya: “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.

Maksudnya adalah niat yang terkandung di dalam hati seseorang saat melakukan amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal amaliyah yang telah dilakukannya. Seperti dalam hadist:[31]
ﺇِﻨَّﻣَﺎﺍﻷَﻋﻣَﺎ ﻞُ ﺒالنياﺖِ ﻮَﺍِﻨَّﻣَﺎ لكلﻣﺮِئٍ ﻣَﺎﻨَﻮَى (ﺍﺧﺮﺠﻪﺍﻟﺒﺧﺎﺮى﴾
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhari dari Umar bin Khattab).
Dan ketika kita lihat dari kacamata KHI mengenai talak itu sendiri terdapat dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 39 ayat (1) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian hanya bisa dilakukan di hadapan sidang pengadilan, tentunya setelah pengadilan mengadakan usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu namun tidak berhasil. Pasal 39 ayat (2) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga memaparkan bahwa untuk melakukan perceraian harus didasari oleh alasan yang cukup bahwa kedua belah pihak tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami-istri. Dalam kondisi seperti ini keputusan pengadilanpun  didasarkan pada niat yang sesungguhnya.




BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Qawaidul fiqihiyah adalah : suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu. Sedangkan niat adalah mengoreintasikan ketaatan diri kepada allah dalam mewujudkan tindakan.
2.      Obyek pembahasan kaidah niat ini meliputi, fungsi niat, aktivitas ritual ibadah yang tidak harus ada niat, penentuan obyek niat (ta’yin al-niyyat), arti ta’yinun al-niyyat itu sendiri dan latar belakangnya, ta’yin fardliyah (spesifikasi fardlu) dalam niat, ta’yin ijmali dan tafshili, ikhlas dan tasyrik dalam niat, waktu pelaksanaan niat, tempat pelaksanaan niat, status niat (rukun atau syarat)aspek hukum yang membutuhkan niat syar’iyyah. Selain itu dalam kaidah niat juga terdapat kaidah-kaidah cabangnya.
3.      penerapan kaidah pertama dalam al-ahwal al-syakhshiyyah yaitu penggunaan kata kiasan atau sindiran dalam talak. Seandainya seorang suami berkata pada istrinya: “kamu terlepas dari segala ikatan yang mengikatmu, maka pernyataan tersebut mengandung kemungkinan bahwa si istri terlepas dari ikatan perkawinan atau dengan kata lain ia tertalak. Namun dapat juga mengandung kemungkinan bahwa ia bebas bertindak dalam segala tindakan dan urusan, baik yang bersifat pribadi, rumah tangga ataupun yang lainnya. Dalam kondisi ini penjelasan niat suami yang menjadi patokannya, ketika suami berniat untuk talak, maka seketika itu jatuhlah talak, namun sebaliknya ketika suami tidak berniat untuk talak, maka talak tidak jatuh pada istrinya.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdulah Ghani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta: Gema Insani, 1994.
Aziz, Nashr Farid Dan Abdul (Eds), Qawa’id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2013.
Djazuli, A.. Kaidah-Kaidah Hukum Fikih, Jakarta:Kencana, 2006.
Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqh Sejarah Dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002.
Nur, Djaman. Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993.
Saleh, Abdul Mu’in. Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan, Pustaka Pelajar, 2009.
Salim, Amru Abdul Mu’im. Fikih Thalak, Jakarta: Pustaka Azzam, 2005.
Setiawan,Wahyu. Qawa’id Fiqhiyyah, Pustaka: Amzah, 2009.
Tamrin, Dahlan. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Malang: Uin-Maliki Press,2010.
‘Uwaidah, Muhammad. Fiqih Wanita, penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Yusuf, Ahmad Sabiq Bin Abdul Lathif Abu. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islam, Pustaka Al-Furqon, 2009.




[1] Ahmad Sabiq Bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islam (Pustaka Al-Furqon, 2009), hlm. 2
[2] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Hukum Fikih (Jakarta:Kencana, 2006), hlm. 34
[3] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah Dan Kaidah Asasi (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm.1
[4] Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam ( Malang: Uin-Maliki Press,2010), hlm. 5
[5] Dahlan Tamrin, Kaida, hlm. 8
[6] A. Djazuli, Kaidah, hlm. 27
[7] A. Djazuli, Kaidah, hlm. 33
[8] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm.25
[9] Nashr Farid Dan Abdul Aziz (Eds), Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 28
[10] Nashr Farid Dan Abdul Aziz (Eds), Qawa’id, hlm. 31
[11] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm.26
[12] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 27
[13] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 31
[14] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 34
[15] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm.35.
[16] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 38
[17] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 40
[18] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm.45.
[19] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 52.
[20] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 37.
[21] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 63.
[22] Nashr Farid Dan Abdul Azizi, Qawa’id, hlm. 41.
[23] Ahmad Sabiq Bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah, hlm. 25.
[24] A. Djazuli, Kaidah, hlm. 39.
[25] Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998), hlm. 427.
[26] Djaman Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dina Utama, 1993), hlm. 138.
[27] Abdulah Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani, 1994), hlm 113.
[28] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 32.
[29] Nashr Farid Dan Abdul (Eds) , Qawa’id, hlm. 36.
[30] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 25
[31] Dahlan Tamrin, Kaidah, hlm. 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar