BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum[1],
yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok,
juga merupakan pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah,
yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu
kaidah. Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan
dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan
manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan
situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai
pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya,
adalah perlu sekali.
Ulama salaf maupun khalaf banyak memberikan perhatian kepada masalah niat.
Oleh karena itu dibuatlah kaidah fikih tentang niat tersebut. Niat merupakan
hal yang sangat penting dalam Ibadah. Karena niat sangat menentukan kualitas
ibadah seseorang, diterima atau tidak, dan ikhlas atau tidak. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, bahwa kaidah ini termasuk salah satu dari panca kaidah yang
merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat.
Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan, bermaksud untuk
melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya.[2] Niat
sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah
ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah,
tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan. Ada banyak hal tentang niat. Namun dalam makalah ini penulis tidak akan membahas keseluruhan
kaidah tersebut, akan tetapi hanya akan membahas salah satu kaidah saja, yaitu
: Al-umuuru bimaqashidiha.
B.
Rumasan Masalah
Berdasarkan diskripsi
diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan
batasan yang akan kami bahas dalam makalah ini. Antara lain sebagai barikut :
1.
Bagaimana pengertian qawaid fiqhiyah dan niat?
2.
Apa saja yang terkandung dalam kaidah pertama?
3.
Bagaimana penerapan kaidah pertama dalam al-ahwal al-syakhshiyyah?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui bagaimana pengertian qawaid fiqhiyah dan niat?
2.
Mengetahui apa saja yang terkandung dalam kaidah pertama?
3.
Mengetahui bagaimana penerapan kaidah pertama dalam al-ahwal
al-syakhshiyyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Qawaid
Fiqhiyyah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari
qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang
berarti aturan atau patokan. Ahmad Warson menembahkan bahwa, kaidah bisa
berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar),
al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).[3]Dalam
tinjauan terminologi, qawaid fiqhiyyah merupakan hasil atau kesimpulan dari
hukum-hukum fiqh yang terperinci (juz’iyyah) dan terpisah-pisah sebagai hasil
akhir dari ijtihad mereka, lalu bagian-bagian yang terpisah tersebut diikat
menjadi satu ikatan atau kaidah, sehingga hubungan antara qawaid fiqhiyyah
dalam hukum islam dapat disejajarkan.[4]
Jadi, dari semua uraian diatas dapat
disimpulkan, bahwa Qawaidul Fiqihiyah adalah : ”Suatu perkara kulli
(kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagian atau
cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu”.
Menurut sebagian fuqaha’, qawaid
fiqhiyyah itu, dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu:[5]
1.
kaidah-kaidah
yang menurut sebagian ulama menjadi tempat pengembalian seluruh kasus fiqh.
Kaidah ini ada lima macam, dan biasa dikenal dengan al-qawaidul khomsah atau
istilah kaidah komprehensip mayor.
2.
kaidah-kaidah
yang memuat berbagai macam kasus fiqh dapat dikeluarkan darinya, kaidah ini
jumlahnya ada empat puluh , dan biasa dikenal dengan kaidah representatif
(aghlabiyah).
3.
kaidah-kaidah
yang kontroversif dan salah satunya tidak dapat digunakan sebagai penguat dari
yang lainya, sebab masing-masing pendapat tersebut mempunyai dalil yang tidak
dapat dikesampingkan begitu saja, keidah kontroversif ini ada dua puluh.
Namun disini penulis hanya akan membahas
mengenai kaidah yang pertama saja.
B. Kaidah Prinsip
Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُالْمَفَاسِد Syaikh Izzuddin bin Abdus-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi
mushalih al-Anam mengatakan bahwa, seluruh syari’ah itu adalah maslahat, baik
dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat.[6] Kerja
manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula yang menyebabkan
mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang
mafsadat dilarang oleh syari’ah.
Jaih Mubarok di dalam
bukunya yang berjudul, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi mengatakan
bahwa seluruh kaidah fikih, pada dasarnya, dapat dikembalikan pada satu kaidah,
yaitu:
ﺪَﺮْؤُ ﺍﻟﻣَﻔَﺎﺴِﺪِ ﻭَﺠَﻟْﺐُ ﺍﻟﻣَﺻَﺎﻟِﺢِ
Artinya: “Menolak
kemafsadatan dan mendapatkan maslahat”.
Kaidah ini merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fikih adalah
upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapat
mashlahat. Kaidah asasi atau yang dikenal dengan al-Qawa’id al-Kubra merupakan
penyederhanaan (penjelasan yang lebih detail) dari kaidah inti tersebut. Adapun
kaidah asasi ini adalah kaidah fikih yang tingkat kesahihannya diakui oleh
seluruh aliran hukum islam. Kaidah tersebut yang bias disebut dengan al-qawa’id
al-khamsah (lima kaidah asasi).
C.
Al-Qawa’id Al-Khamsah (Lima Kaidah Asasi)
kelima kaidah tersebut di bawah ini sangat masyhur di kalangan
mazhab al-Syafi’i khususnya dan kalangan mazhab-mazhab lain. Kaidah-kaidah
tersebut yaitu:[7]
1. Kaidah Asasi yang
Pertama
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ
Artinya: “Segala
perkara tergantung kepada niatnya”.
2. Kaidah Asasi yang Kedua
ﺍﻠﻴَﻘِﻦُ ﻻَ ﻴُﺰَﺍﻞُ ﺒِﺎﻠﺸﱠﻙﱢ
Artinya: “Keyakinan
tidak hilang dengan keraguan”.
3. Kaidah Asasi yang Ketiga
ﺍﻟﻣَﺸَﻘﱠﺔُ ﺗَﺠْﻟِﺐُ ﺍﻟﺗﱠﻴﺴِﻴﺮَ
Artinya: “Kesulitan
mendatangkan kemudahan”.
4. Kaidah Asasi yang Keempat
ﺍﻟﻀﱠﺮَﺍﺮُ ﻴُﺰَﺍﻞُ
Artinya: “Kesulitan
harus dihilangkan”.
5. Kaidah Asasi yang Kelima
ﺍﻟﻌَﺎﺪَﺓُ ﻣُﺣَﻛﱠﻣَﺔٌ
Artinya: “Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan
hukum”.
Panca kaidah tersebut digalih
dari berbagai sumber hukum, baik melalui al-Qur’an dan as-Sunnah maupun
dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash
pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fikih, sehingga sampai dari nash
itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam.
Namun dari lima kaidah ini, penulis
hanya akan membahas tentang kaidah fiqih yang pertama saja, yaitu الامور
بمقاصدها (al-Umuru bi Maqasidiha). Kaidah ini
membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas
ataupun makna perbuatan seseorang.
D. Kaidah Niat
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ
Artinya: “Segala
perkara tergantung kepada niatnya”.
Maksudnya adalah niat
yang terkandung di dalam hati seseorang saat melakukan amaliyah, menjadi
kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal amaliyah yang telah
dilakukan, baik yang berhubungan dengan peribadatan maupun adat kebiasaan.[8]
Dengan demikian setiap
amaliyah pasti didasarkan pada niat, jika tidak, maka amaliyah tersebut
bersifat spekulatif. Oleh karena itu niat memiliki posisi yang sangat penting,
sebab sebagai penentu segala gerak, tingkah dan amaliyah yang dilakukan menjadi
bernilai baik atau tidak.
1.
Pengertian
Niat
a.
Secara
Bahasa
Kata النية dengan tasydid pada huruf ya’ adalah bentuk
masdar dari kata kerja nawa-yanwi. Dan inilah yang terkenal dikalangan ahli
bahasa.[9]
Niat adalah syarat bagi semua amalan dalam ibadah dengan niat akan diketahui
baik dan buruknya amalan.
Orang yang
berniat adalah orang yang bertekad bulat atau berketetapan hati untuk mengarah
pada sesuatu, yaitu bermaksud untuk melakukan suatu tindakan dan arah yang
dituju.
النية فتربيط
بالمقاصد
Artinya: “Niat adalah memiliki
hubungan atau memiliki keterkaitan dengan tujuan atau maksud.”
أنما الأعمال بالنيات وأنما لكل أمرئ ما نوى, فمن كانت
هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله, ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو
امرأة ينكحها فهجرته الى ماهجر اليه. (متفق عليه).
Nilai suatu
amal perbuatan seseorang sangat oleh niatnya. Barang siapa yang hijrahnya
Karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan
barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita
yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia
niatkan.
Melalui
hadits diatas, wisdom (hikmah) yang kita dapat bahwasanya niat mempunyai
eksistensi yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Niat menjadi asas
utama penerimaan suatu amalan yang sama, ada yang diterima atau ditolak oleh
Allah. Sekiranya suatu amalan itu dilakukan secara betul dari segi tata caranya
namun salah dari segi niatnya, maka ia tidak diterima oleh Allah. Atau juga
suatu amalan itu betul dari segi niatnya, tetapi salah dari segi tata caranya,
ia juga menjadi sia-sia di sisi Allah.
ومن يرد ثواب
الدنيا نٶته منها ومن يرد ثواب الأخرة نؤته منها
Artinya: “Barangsiapa yang
menghendaki pahala dunia niscaya kami akan berikan kepadanya pahala dunia dan
barangsiapa yang menghendaki pahala akhirat niscaya kami akan berikan pula
kepadanya pahala akhirat.”
b. Secara Istilah
Niat adalah mengoreintasikan
ketaatan diri kepada Allah dalam mewujudkan tindakan. Al-Mawardi mengatakan
bahwa niat adalah maksud yang mengiringi suatu tindakan. Begitu pula Imam
Haramain ia menukil bahwa niat termasuk kategori maksud ( (القصدdan
keinginan (الإرادة).[10]
Mengingat niat pada dasarnya adalah
maksud atau kesengajaan, maka tidak ada yang keluar darinya kecuali perbuatan
orang linglung, gila, dan segala sesuatu yang tidak berakal seperti hewan dan
binatang.
Imam Abu Ubaidah berkata: Tak ada
satu Hadits yang lebih kaya dan banyak faidahnya daripada Hadits niat. Begitu
juga Imam as-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, ad-Daruquthni dan lainnya
sepakat bahwa Hadits niat itu menempati sepertiga dari seluruh ilmu
pengetahuan. Pendapat yang sama pernah diulas oleh Imam al-Baihaqi sebagai
berikut: segala aktivitas manusia itu adakalanya berpangkal di hati sanubari,
pada lisan dan adakalanya pada anggota badan. Niat yang berpangkal di hati
sanubari adalah aktivitas kejiwaan. Dan ini lebih baik daripada aktivitas yang
berpangkal di lisan dan anggota badan.
Niat jika setelahnya tidak ada
tindakan berupa instrumentalitas lebih baik daripada adanya tindakan
instrumentalitas tanpa diiringi niat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
نية المؤمن
خير من عمله (رواه الطيرانى)
Artinya: “Niat
orang mukmin itu lebih baik daripada amal perbuatannya saja.”
2.
Niat Dan Azam
Dalam bahasa Arab antara niat dan ‘azam
memiliki makna yang berbeda. Secara etimologi niat diartikan bermaksud dan azam
diartikan rencana. Adapun dalam artian
istilah (terminologi) kedua istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut: niat
adalah maksud hati yang diiringi dengan perbuatan (prilaku). Sebagai contoh, seseorang
akan bermaksud ke pasaran, ketika hatinya berkata mau ke pasar, pada saat itu
juga kakinya melangkah menuju pasar. Dengan demikian dapat kita pahami jika ada
seseorang yang bermaksud berangkat kepasar, tetapi hanya berdiam diri, kakinya
tidak bergerak atau melangkah sedikitpun, spontan kita dapat mengatakan bahwa
yang demikian itu bukanlah niat, karena antara maksud hati dan prilaku tidak
berbarengan. Anehnya hal ini banyak diartikan (definisikan) niat oleh
kebanyakan orang.
Dalam konteks ibadah, shalat misalnya, banyak
orang mengatakan shalat cukup dengan niat, padahal niat shalat harus
berbarengan dilakukan dengan perbuatan shalat, karena itu merupakan kriteria
niat. Maka jika ada orang berkata saya mau shalat, hal ini tidak dapat dikatakan
niat, ini baru tataran rencana. Persoalan niat yang harus berbarengan antara
maksud hati dengan prilaku tidak berlaku bagi puasa, karena niat puasa harus
dilakukan di tengah malam, sementara pelaksanaannya di siang hari.
Dari penjelasan diatas, sebenarnya kita sudah
dapat memahami arti dari niat dan azam itu sendiri, karena segala permaksudan
hati yang tidak termasuk pada kriteria niat masuklah pada kriteri azam. Azam
dengan niat perbedaannya sangatlah tipis, karena perbedaanya hanya terletak
pada prilaku (pelaksanaannya). Jika niat harus berbarengan antara maksud hati
dan pelaksanaann, sementara azam antara maksud hati tidak berbarengan. Dengan
kata lain Azam dapat diartikan dengan rencana.
E. Dasar Hukum
Adapun dasar-dasar
pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama mengenai niat, diantaranya sebagai
berikut:
1. al-Quran :
1. Q.S Al Bayyinah ayat:5
!$tBur
(#ÿrâÉDé&
wÎ)
(#rßç6÷èuÏ9
©!$#
tûüÅÁÎ=øèC
ã&s!
tûïÏe$!$#
uä!$xÿuZãm
(#qßJÉ)ãur
no4qn=¢Á9$#
(#qè?÷sãur
no4qx.¨9$#
4
y7Ï9ºsur
ß`Ï
ÏpyJÍhs)ø9$#
ÇÎÈ
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah
agama yang lurus”.
Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk melakukan ketaatan
kepada Allah dengan ikhlas.
2. Q.S Ali 'Imran ayat: 145
$tBur
tb$2
C§øÿuZÏ9
br&
|NqßJs?
wÎ)
ÈbøÎ*Î/
«!$#
$Y7»tFÏ.
Wx§_xsB
3
ÆtBur
÷Ìã
z>#uqrO
$u÷R9$#
¾ÏmÏ?÷sçR
$pk÷]ÏB
`tBur
÷Ìã
z>#uqrO
ÍotÅzFy$#
¾ÏmÏ?÷sçR
$pk÷]ÏB
4
ÌôfuZyur
tûïÌÅ3»¤±9$#
ÇÊÍÎÈ
Artinya: ”Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin
Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa
menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala
akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.[11]
Ayat ini mengisyaratkan
bahwa Allah akan memberikan balasan kepada hambanya sesuai dengan maksud dan
tujuan hamba tersebut melaksanakan suatu perbuatan. Orang yang melaksanakan
suatu perbuatan dengan tujuan duniawi, Ia akan membalasinya dengan pahala
dunia. Sementara orang yang melaksanakan suatu perbuatan untuk kepentingan
akhiratnya, Allah akan membalas dengan pahala di akhirat.
3. Q.S Al-Baqarah ayat:225
w
ãNä.äÏ{#xsã
ª!$#
Èqøó¯=9$$Î/
þÎû
öNä3ÏY»yJ÷r&
`Å3»s9ur
Nä.äÏ{#xsã
$oÿÏ3
ôMt6|¡x.
öNä3ç/qè=è%
3
ª!$#ur
îqàÿxî
×LìÎ=ym
ÇËËÎÈ
Artinya:”Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun”.
4. Q.S Al-Ahzab ayat 5:
öNèdqãã÷$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JÏm§ ÇÎÈ
Artinya: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
2. Hadits
a. HR. Bukhari dari Umar
bin Khattab
ﺇِﻨَّﻣَﺎﺍﻷَﻋﻣَﺎ ﻞُ ﺒالنياﺖِ ﻮَﺍِﻨَّﻣَﺎ لكلﻣﺮِئٍ ﻣَﺎﻨَﻮَى (ﺍﺧﺮﺠﻪﺍﻟﺒﺧﺎﺮى﴾
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya
bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.”
b. HR. Bukhari.
انك لو تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله الا أجرت عليهاحتى ماتجعل فى فم امرأتك
Artinya: "Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud
mencari keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekedar sesuap ke dalam
mulut istrimu".
c.
HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah ra.
إنما بعث الناس على نياته
Artinya: “Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya.”[12]
d. HR. Thabrani dari
Shalan Ibnu Said
نِيَة المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِه (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﻃﺒﺮﺍﻨﻰ﴾
Artinya: “Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang
kosong dari niat)”.
F. Obyek Pembahasan Kaidah
Niat Dan Fungsinya
1. Obyek Pembahasan Kaidah
Motivasi
Dalam penanggapan
hadits tentang niat, para ahli hukum islam berpendapat bahwa posisi hadits ini
sangat penting, mengingat semua kasus bisa tercantum didalamnya, bahkan mereka
berbeda pendapat dalam memberikan komentarnya, seperti:
a. Sebagian diantara
mereka mengatakan bahwa hadits tentang niat, itu merupakan 1/3 nya ilmu, sebab
amal amaliyah itu dapat dikelompokkkan menjadi tiga, yaitu:
1. Amal amaliyah dengan
menggunakan anggota badan
2. Amal amaliyah dengan
menggunakan lisan
3. Amal amaliyah dengan
menggunakan hati
b. Sebagian lagi
berpendapat bahwa hadits tentang niat memuat ¼ nya ilmu.[13] Dilihat
dari banyaknya hadits-hadits tentang niat yang berkaitan dengan ilmu.
2. Fungsi Niat
Niat mempunyai posisi
yang dominan dalam hubungannya dengan berbagai ragam amaliyah manusia yang
berwujud dalam berbagai ragam bentuk, diantaranya yaitu:
a. Amaliyah peribadahan
yang bersifat mahdlah (amaliyah ritual keagamaan murni, seperti shalat, puasa,
haji dan sebagainya.
b. Amaliyah yang
mengandung aspek amaliyah ritual yang berkaitan dengan kegiatan keseharian,
seperti membsuh wajah dengan tujuan berwudlu sekaligus untuk mencuci muka.
Menyiran semua anggota tubuh dengan tujuan mandi jinabat dan membersihkan diri
dan sebagainya.
c. Amaliyah dalam wujud
kegiatan keseharian manusia yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai individu
atau sebagai makhluk sosial, seperti makan, minum, tidur dan sebagainya.
Dari bentuk amaliyah
tersebut, peran penting yang dimiliki niat adalah sebagai berikut:
1. Niat sebagai pembeda
antara ibadah dan kebiasaan. Oleh karena itu, niat hanya dibutuhkan pada
amaliyah ibadah yang memiliki kesamaan dengan ‘adah, sedangkan yang tidak
memiliki kesamaan, tidak harus ada niat. Seperti mandi besar dan wudlu.
2. Niat sebagai pemilah
strata dari suatu ibadah, misalnya fardhu, sunnah dan lainnya, bahkan amaliyah
yang bernilai boleh (ibahah), bisa bernilai ibadah jika aktivitasnya diniati
sebagai sarana penunjang ibadah. Seperti shalat sunnah dhuhur, ada kesamaannya
dengan shalat sunnah ashar. Mandi jum’ah, ada kesamaannya dengan mandi ihram
haji atau ‘umrah.
3. Niat sebagai petunjuk
maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki kemungkinan arti yang tidak langsung
dan arti asli, yang dikenal dengan istilah kinayah, misalnya suami menceraikan
istrinya dengan menggunakan kata-kata yang berbentuk kinayah atau sindiran.
3. Aktivitas Ritual Ibadah
Yang Tidak Harus Ada Niat.
Ritual ibadah yang
disyaratkan niat adalah amaliyah ibadah yang ada kesamaannya dengan amaliyah
‘adah. Sedangkan ritual ibadah yang tidak disyaratkan niat adalah:[14]
a. Amaliyah ibadah yang
tidak ada kesamaannya dengan amaliyah ‘adah seperti iman. Iman tidak ada
kesamaannya dengan ‘adah, untuk itu dalam masalah iman tidak disyaratkan harus
ada niat.
b. Amaliyah meninggalkan
larangan, baik yang statusnya haram maupun makruh. Seperti meninggalkan zina,
pembunuhan, merokok dan lain sebagainya.
Dengan demikian, untuk
bisa menghasilkan pahala, sebaiknya diikuti dengan niat, sehingga status niat
meninggalkan larangan itu adalah sunnah, misalnya menghilangkan najis dan
memandikan mayat. Sekalipun demikian, ketentuan tidak harus ada niat pada
amaliyah meninggalkan larangan tersebut, masih diperdebatkan oleh fuqaha,
sebagian fuqaha berpendapat bahwa amaliyah tersebut tetap harus ada niat,
sebagian fuqaha lain berpendapat bahwa amaliyah tersebut tidak harus ada
niatnya.
G. Penentuan Obyek Niat
(Ta’yin Al-Niyyat)
1. Arti Ta’yinun Al-Niyyat
Dan Latar Belakangnya.
Selain syarat adanya
niat pada semua aktivitas ritual peribadahan, disyaratkan pula adanya ta’yin
dalam niat. Yang dimaksud dengan ta’yin niat adalah penentuan obyek amaliyah
secara spesifik, setelah sebelumnya didahului niat pada jenis amaliyah
tersebut, misalnya jika seseorang melakukan niat mendirikan shalat (sebagai
suatu jenis amaliyah), maka ia diharuskan pula menentukan sub jenis shalat itu
sendiri, apakah fardlu dhuhur, asar atau bahkan shalat sunnah maghrib.
Penentuan pada sub jenis inilah yang ahirnya dikenal dengan istilah ta’yinun niat.[15]
Adapun yang
melatarbelakangi diwajibkannya ta’yin niat adalah adanya keanekaragaman jenis
aktivitas ritual ibadah yang harus dikerjakan. Seperti bersuci, yang banyak
jenisnya diataranya bersuci dari hadas kecil atau besar. zakat, ada zakat harta,fitrah.
Kafarah, jenisnya ada kafarah sumpah, kafarah nadzar atau sumpah.
Untuk itu dibutuhkan
niat sebagai media yang bisa membedakan antara sub ibadah yang satu dengan yang
lainnya.
2. Ta’yin Fardliyah
(Spesifikasi Fardlu) Dalam Niat.
Semua bentuk ritual
peribadahan yang status kefardluannya disyaratkan harus ditentukan di dalam
niat, maka penentuan niat fardlu diidalamnya sangat diperlukan, artinya niat
menentukan status fardlu dalam aktivitas ritual perbadahan itu, harus ada dan
menjadi syarat sahnya orang yang berniat, misalnya shalat fardlu asar, maghrib
dan puasa fardlu.
Mengingat status amaliyah
ibadah fardlu tersebut wajib, maka status penentuan kefardluan padanya juga
ikut wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah al-munasabah/korelasi, yang artinya: “setiap
ibadah yang membutuhkan niat fardlu, maka wajib pula untuk menta’yinkannya.”[16]
3. Pengecualian Kaidah
Ta’yin Fardliyyah Dalam Niat
Kidah ta’yin fardliyyah
(spesifikasi fardlu) dalam niat tersebut, hanya difokuskan pada ibadah yang
status hukumnya fardlu, bukan lainnya, sehingga kaidah ini mengecualikan
aktivitas ritual ibadah tayammum, padahal tayammum termasuk kelompok aktivitas
ritual peribadahan fardlu yang mengharuskan adanya ta’yin, namun kenyataannya
tidak ada kewajiban penyebutan kalimat fardlu dalam niat bertayammum. Oleh
karena itu ketentuan status hukum tidak wajib ini merupakan suatu pengecualian.
4. Ta’yin Ijmali Dan
Tafshili
Fokus pembahasan ini
adalah jika penentuan atau spesifikasi (ta’yin) secara global itu diwajibkan
penyebutannya, tetapi tidak diwajibkan secara terperinci, jika disebutkan
secara rinci namun teryata salah, maka hukumnya batal.[17]
Contonya seseorang yang berniat menjadi makmum dari imam bernama bayu, padahal
imamnya bernama wisnu, maka shalatnya menjadi batal, sebab yang wajib baginya
hanya ta’yin secara global, yaitu hanya berniat makmum, tetapi tidak diwajibkan
ta’yin secara rinci, yaitu menentukan siapa nama imamnya. Jika demikian, maka
shalatnya dianggap batal dan tidak sah.
Yang menjadi penyebab
batalnya shalat yang dilakukan oleh makmum terletak pada kesalahan niat
bermakmumnya. Bukan pada hakikat shalatnya. Maksudnya, jika ia tetap mengikuti
pergerakan shalat imam, padahal bermakmumnya sudah dianggap tidak sah, maka
shalatnyapun menjadi ikut batal. Lain halnya jika dengan dia niat memisahkan
diri dari imam, maka shalatnya tetap sah.
5. Ikhlas Dan Tasyrik
Dalam Niat
a. Arti ikhlas
Yang menjadi tolak
ukur sah dan tidaknya niat adalah ikhlas
(ketulusan hati), artinya adanya keterfokusan orang yang berniat pada obyek
yang diniati, tanpa ada percampuradukan dengan yang lainnya, misalnya shalat.
Jika niatnya disamping melaksanakan kewajiban, ditambah lagi dengan niat
berolahraga, maka niatnya tidak sah dan shalatnya batal.[18] Dalam
hal ini ulama juga berbeda pendapat.
Dengan demikian, maka
keterfokusan orang yang berniat hanya pada obyek yang diniati itu, menjadi
syarat yang harus ada dalam niat, sehingga niat itu tidak boleh
dipercampuradukan dengan lainnya. Oleh karena itu, percampuradukan (tasyrik)
dalam niat, berakibat pada batalnya obyek yang diniati.
b. Tasyrik
(pencampuradukan dalam niat dan klasifikasinya
Tasyrik dalam niat
adalah membersamakan niat dalam satu pekerjaan dengan pekerjaan lain. Akan
tetapi jika tasyrik dalam niat itu dihubungkan dengan keabsahan dalam satu peribadahan,
maka tasyrik dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yaitu :
1. Niat melakukan ibadah
disertai niat selain ibadah.
2. Ibadah fardlu diniati
sebagai ibadah sunnah sekaligus.
3. Melakukan satu
peribadahan dengan dua niat fardlu.
4. Satu ibadah dengan dua
niat sunnah.
H. Waktu Pelaksanaan Niat.
Pelaksanaan niat secara
umum adalah pada awal dilaksanakannya ibadah. Hal ini berdasarkan pada adanya
penelitian fuqaha yang mengatakan bahwa huruf ba’ dalam matan hadits bi al-niat
itu memiliki arti mushahabah atau kebersamaan, sehingga pengertian yang
terkandung didalmnya adalah “niat itu merupakan bagian dari amal amaliyah itu
sendiri”. Dengan demikian, maka waktu dilaksanakannya niat adalah bersamaan
dengan permulaan ibadah itu dilaksanakan, misalnya: shalat, niatnya bersamaan
dengan waktu membaca hamzahnya bacaan Allah dalam takbiratul ihram. Namun
disini terdapat pengecualian kaidah muqaranah (sinergitas) dalam niat.[19]
Kaidah sinergitas niat
mengecualikan amaliyah ibadah puasa, zakat dan yang sepadan dengannya. Karena
dalam ibadah puasa dan zakat, tidak wajib adanya kebersamaan niat dengan
amaliyah puasa, bahkan tidak sah jika dibersamakan niat dengan awalnya siang,
sebab tingkat kesulitan dalam menentukannya sangat tinggi.
I. Tempat Pelaksanaan Niat
1. Tempat niat
Yang menjadi tempat
niat untuk semua ibadah adalah dalam hati[20], bukan
dalam lisan dengan suatu ucapan. Hal ini hanya terdapat pada ibadah-ibadah yang
berhubungan dengan allah, bukan dengan manusia. Jika dengan manusia, maka
niatnya bertempat pada lisan dengan ucapan, bukan pada hati.
2. Aplikasi tempat
pelaksanaan niat
Dari penjelasan tempat
niat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang menjadi tempat untuk
mengucapkan niat dari suatu ritual peribadahan yang berhubungan dengan allah
itu, tidak cukup hanya dengan menggunakan ucapan lisan, yang bisa meniadakan
ucapan hati, akan tetapi berkumpulnya ucapan, niat dan hati merupakan suatu
pernyataan yang harus ada.
Sebagian fuqaha
berpendapat bahwa mengingat sulitnya orang-orang awam melaksanakan niat dalam
bentuk ucapan hati, maka sudah dianggap cukup dan sah bagi mereka untuk
melakukan niat dengan cara melafalkan niat hanya dalam lisan.
Oleh sebab itu, jika
terjadi perbedaan antara ucapan hati dengan ucapan lisan itu dalam ibadah yang
berhubungan dengan allah, seperti shalat dan lainnya, maka yang dianggap adalah
ucapan hati. Akan tetapi jika aplikasi niat dalam amaliyah tersebut berhubungan
dengan manusia, maka yang dianggap sah adalah ucapan lisan, bukan ucapan hati.[21]
J. Status Niat (Rukun Atau
Syarat)
Fuqaha berbeda pendapat
mengenai status niat
1. Jika dilihat dari sisi
penyebutan niat yang harus dilakukan di awal permulaan ibadah, maka niat
berstatus sebagai suatu rukun
2. Jika dilihat dari sisi
bahwa niat itu harus tetap ada, artinya tidak ada amaliyah yang bertentangan
atau yang menegaskan atau memutuskan niat, maka niat berstatus sebagai suatu
syarat.
Dari perbedaan pendapat
beberapa fuqaha, taqiyyuddin al-Hisniy berusaha mengkompromikannya dengan
mengatakan bahwa:
a. Jika keabsahan setiap
amaliyah itu tergantung pada niat, maka niat merupakan rukun yang harus ada
didalam amaliyah tersebut. Misalnya shalat. Ibadah ini tidak akan bisa dianggap
sah jika dalam pelaksanaannya tidak menggunakan niat.
b. Jika keabsahan itu
tidak bergantung pada niat, tetapi untuk mendapatkan pahala masih tergantung
pada niat, maka niat merupakan syarat, dalam artian syarat untuk mendapatkan
suatu pahala, misalnya amaliyah yang status hukumnya mubah atau amaliah
meninggalkan kemaksiatan yang tujuannya hanya bertaqarrub.
K.
Aspek Hukum Yang Membutuhkan Niat Syar’iyyah
Ajaran-ajaran syari’at memiliki dua kemungkinan, antara tuntutan
dan kebolehan. Tuntutan itu sendiri dapat berbentuk perintah atau larangan, dan
masing-masing memiliki ketentuan hukum tersendiri.[22]
1.
Perintah
Dalam perintah terdapat dua kategori, yaitu :
a.
Tindakan atau perbuatan yang sudah dipandang cukup dalam
menghasilkan kemaslahatannya.
Misalnya membayar hutang, nafkah dan tindakan serupa lainnya.
Maslahat yang dimaksud dalam hal ini adalah sesuatu yang memberikan manfaat
bagi pelakunya. Dan hal tersebut tidak membutuhkan niat pelaku (manusia bebas
tanggung jawabnya, walaupun tidak meniatkannya).
b.
Perbuatan yang tidak cukup dalam menghasilkan maslahat yang
diinginkan.
Seperti shalat, bersuci, puasa dan ibadah lainnya. Maksud dari
ibadah-ibadah tersebut adalah pengagungan allah dalam pelaksanaannya.
Ketundukan dalam ketetapannya dapat dihasilkan jika diniatkan karena allah,
sebab pengagungan dengan tindakan bukanlah pengagungan yang sia-sia. Seperti
seseorang yang membuat jamuan untuk seseorang dan dinikmati oleh orang lain,
maka kami yakin bahwa pengagungan yang dimaksudkan dengan penghormatan adalah
orang pertama bukan yang kedua. Inilah kategori perintah yang disyaratkan niat
agar terbebas dari tanggung jawab dan memperoleh pahal berlipat ganda.
2.
Larang dan kebolehan
Adapun bentuk-bentuk larangan, manusia terbebas dari tanggung
jawabnya dengan cara meninggalkan larangan tersebut, dan jika tidak merasakannya
lebih baik berniat untuk meninggalkannya. Begitu pula masalah-masalah kebolehan
tidak membutuhkan niat. Namun apanila tidak tergolong ibadah maka harus dengan
meniatkannya sebagai ibadah. Seperti makan dan minum diniatkan untuk takwa kepada allah dan lain
sebagainya.
Demikian setiap perbuatan dapat menjadi sebuah ibadah apabila
terdapat di dalamnya niat agar menjadi ibadah yang melahirkan pahala. Inilah
yang ditunjukan oleh hadits,”sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niat”.
Untuk itu ditetapkan niat pada masalah-masalah mubah dan aktivitas sehari-hari
agar dapat menghasilkan pahala ibadah dan tidak ada kesulitan dalam
pelaksanaannya ketika niat sudah menjadi rutinitas diri seseorang.
L. Faidah Kaidah Niat
Sebagian orang ada yang
menyalahgunakan kaidah ini, mereka mengatakan bahwa semua amal perbuatan itu
tergantung niatnya, baik amal tersebut baik ataupun jelek. Yang atas dasar ini,
mereka mengatakan bahwa orang yang mencuri bisa saja mendapatkan pahala kalau
dia berniat untuk membantu orang yang faqir dengan hasil curiannya. Dan masih
banyak lagi gambaran salah lainnya.[23]
Untuk menjawab hal
demikian ahmad sabiq memberikan beberapa catatan yaitu:
1. Wajib bagi seorang
muslim kalau ingin menghukumi sebuah masalah, jangan hanya mengambil satu atau dua
buah dalil serta meninggalkan lainnya, namun hendaknya di amelihat semua dalil
syar’i yang berhubungan dengan masalahnya lalu baru dia hukumi
2. Berdalil dengan kaidah
ini untuk hal diatas adalah sebuah kesalahan yang fatal, karena kaidah ini
hanya untuk menjelaskan salah satu pokok dan dasar bisa diterimanya sebuah
amal, yaitu masalah ikhlas kepada allah dalam semua perbuatan yang
dilakukannya.
M. Cabang-Cabang Kaidah Dan Aplikasinya
1. العبرة فى العقــود
للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
Artinya: “pengertian
yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan
ungkapannya.”
Sebagai contoh, apabila
seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya
minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan
permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual
beli dengan segala akibatnya.
2.
Di kalangan mazhab Hanafi terdapat kaidahلاثواب الابالنية
Artinya: “tidak ada
pahala kecuali dengan niat.”
Kaidah ini dimasukkan
ke dalam al-qawaid al-kuliyyah yang pertama sebelum al-umur bimaqasidiha.
Seperti diungkapkan oleh Qâdi 'Abd. Wahab al-Bagdadi al-Maliki. Tampaknya
Pendapat maźhab Maliki ini lebih bisa diterima, karena kaidah di atas asalnya لاثواب ولاعقـاب الابالنية
Artinya: “tidak ada
pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya”.
3. لواختلف اللســـان
والقلب فالمعتبرمافى القلب
Artinya: “apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di
dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam
hati.”
Sebagai contoh, apabila
hati niat wudû, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka
wudûnya tetap sah.
4. لايلزم نية العبادة فى
كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله
Artinya: “tidak wajib
niat ibadah dalam setiap bagian, tapi wajib niat dalam keseluruhan yang
dikerjakan.”
Contoh: untuk shalat
cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.
5. كل مفرضين فلاتجزيهنانية
واحدة الا الحج والعمرة
Artinya: ”setiap dua
kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan 'umrah.”
Seperti diketahui dalam
pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:
a. Pertama yaitu haji
tamatu, yaitu mengerjakan umrah dahulu baru mengerjakan haji, cara ini wajib
membayar dam.
b. Kedua yaitu haji ifrad,
yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib membayar dam.
c. Ketiga yaitu haji
qiron, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu pekerjaan
sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam. Cara ketiga ini lah haji qiron
yang dikecualikan oleh kaidah tersebut di atas.
Jadi prinsipnya setiap
dua kewajiban ibadah atau lebih, masing-masing harus dilakukan dengan niat
tersendiri.
6. كــل ماكان له أصل
فلاينتقل عن أصله بمجرد النية
Artinya: “setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari
yang asal karena semata-mata niat.”
Contoh: seseorang niat
shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia berpindah kepada shalat
tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya. Pendapat ini dipegang oleh
mazhab Abu Hanafiah dan juga mazhab Malik. Kasus ini berbeda dengan orang yang
sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat saum
sunnah, maka sah saumnya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.
7. مقاصد اللفظ على نية
اللافظ
Artinya: “maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat
orang yang mengucapkan.”
Berdasarkan kaidah ini,
maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya
harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang
dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah
shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.
8. الأيمان مبنية على
الألفاظ والمقاصد
Artinya: “sumpah itu
harus berdasarkan kata-kata dan maksud.”
Khusus untuk sumpah ada
kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallahi" atau "demi
Allah saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya. Selain itu harus
diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya.
Dalam hukum Islam,
antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya
harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk
mencapai keridhaan Allah SWT.
BAB III
PENERAPAN DALAM AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
A.
Penggunaan Kata Kiasan Atau Sindiran Dalam Talak
Seandainya seorang suami berkata pada istrinya: “kamu terlepas dari
segala ikatan yang mengikatmu, maka pernyataan tersebut mengandung kemungkinan
bahwa si istri terlepas dari ikatan perkawinan atau dengan kata lain ia
tertalak. Namun dapat juga mengandung kemungkinan bahwa ia bebas bertindak
dalam segala tindakan dan urusan, baik yang bersifat pribadi, rumah tangga
ataupun yang lainnya.
1.
Pengertian Talak
Talak diambil
dari kata kata الْإِطْلَاق “ithlaq”
artinya melepaskan atau meninggalkan. Talak menurut bahasa
adalah membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau ikatan
tawanan atau pun ikatan ma’nawi seperti nikah
Talak
menurut istilah adalah menghilangkan ikatan pernikahan atau mengurangi
pelepasan ikatan dengan mengunakan kata-kata tertentu. Sedangkan Talak menurut
syara’ ialah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami
istri.[25]
2. Talak Ditinjau dari
segi lafadz:
a. Talak sharih
Merupakan talak yang
apabila seorang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan mempergunakan
kata-kata At-Thalaq atau Al-Firaq, atau As-Sara. Ketiga kata tersebut terdapat dalam Al-Qur’an atau hadits
yang maksudnya jelas untuk menceraikan istri. Dengan menggunakan lafadz
tersebut, seseorang yang mentalak istrinya maka jatuhlah talak tersebut
walaupun tanpa niat. Dengan kata lain talak sharih yaitu talak yang diucapkan
suami dengan menggunakan kata-kata yang jelas dan tegas tidak mengandung arti
lain kecuali talak itu sendiri.
b. Talak kinayah atau
kiasan
merupakan talak yang
dilakukan seseorang dengan menggunakan kata-kata selain dari kata-kata lafadz
sharih. Suami mentalak istrinya dengan menggunakan kata-kata sindiran atau
samar-samar.[26]
3.
Talak dalam KHI
Dari keterangan fiqh (klasik), sudah jelas bahwa talak akan
langsung jatuh jika suami yang langsung melafadzkan talak baik secara lisan
atau tulisan, walaupun hakim pengadilan agama belum memutuskan. Namun di zaman
modern sekarang dibanyak negara islam termasuk indonesia sudah menjadi
kesepakatan ulama modern seperti dalam KHI indonesia, sebuah rujukan hukum
terapan resmi di pengadilan agama RI, disebutkan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan didepan pengadilan agama, setelah pengadilan agama tersebut berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (pasal 115). Artinya sebuah
perceraian baru dianggap sah jika sudah keluar keputusan resmi dari PA setelah
melalui tahap sidang.[27] Hal
ini karena pertimbangan maslahat, juga karena pada masa nabi SAW saat al-qur’an
turun belum ada lembaga pengadilan resmi yang menangani perceraian seperti
sekarang ini.
4.
Hukum Talak
Dalam ajaran Islam
Talak diperbolehkan (mubah) sebagai jalan terakhir ketika kehidupan rumah
tangga mengalami jalan buntu, talak hanya dapat dilakukan apabila hubungan
perkawinan sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Tentang talak ini, Rasulullah
bersabda :
اَبْغَضُ الْحَلاَلِ
اِلٰى اللهِ الطلاَقُ
Artinya : “Perbuatan
halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Talak.”
B.
Analisis Tentang Penggunaan Kata Kiasan Dalam Talak
Seandainya seorang suami berkata pada istrinya: “kamu terlepas dari
segala ikatan yang mengikatmu, maka pernyataan tersebut mengandung kemungkinan
bahwa si istri terlepas dari ikatan perkawinan atau dengan kata lain ia
tertalak. Namun dapat juga mengandung kemungkinan bahwa ia bebas bertindak
dalam segala tindakan dan urusan, baik yang bersifat pribadi, rumah tangga
ataupun yang lain.
Permasalahan diatas ketika kita dilihat dari fungsi niat[28],
yang terdapat dalam poin ke tiga, yaitu Niat sebagai petunjuk
maksud dari sebuah ungkapan yang memiliki kemungkinan arti yang tidak langsung
dan arti asli, yang dikenal dengan istilah kinayah, dalam hal ini perkataan
yang dianggap sebagai ungkapan talak secara kinayah “kamu terlepas dari segala ikatan yang mengikatmu” tersebut mengandung kemungkinan:
1.
istri terlepas dari ikatan perkawinan
2.
istri bebas bertindak dalam segala tindakan dan urusan, baik yang
bersifat pribadi, rumah tangga ataupun yang lain
Hal ini dikembalikan pada niat suami, Dalam kondisi seperti ini penjelasan
niat suami yang sebenarnya mesti diketahui, karena seperti yang telah dibahas
pada bab sebelumnya bahwa Letak niat
adalah di dalam hati[29].
Niat dapat diucapkan atau diikrarkan dalam hati pada saat sebelum maupun pada
saat sedang melangsungkan perbuatan tersebut.
Ketika terjadi perbedaan antara hati, lisan dan perbuatan, maka yang
dilihat adalah hatinya. Boleh saja seseorang menyatakan YA secara lisan
terhadap suatu pendapat. Tapi kalau hatinya berkata TIDAK maka niatnya yang
sebenarnya adalah TIDAK. Sama halnya dengan permasalahan mengenai lafadz talak
secarah kinayah tersebut, ketika suami mengatakannya dengan adanya niat untuk
mentalak istrinya, maka jatuhlah talak tersebut, namun sebaliknya, ketika suami
tidak meniatkan untuk talak, maka talak tersebut tidak jatuh pada istrinya.
Sesuai dengan kaidah.[30]
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ
Artinya: “Segala
perkara tergantung kepada niatnya”.
Maksudnya adalah niat yang terkandung di dalam hati seseorang saat
melakukan amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status
hukum amal amaliyah yang telah dilakukannya. Seperti dalam hadist:[31]
ﺇِﻨَّﻣَﺎﺍﻷَﻋﻣَﺎ ﻞُ ﺒالنياﺖِ ﻮَﺍِﻨَّﻣَﺎ لكلﻣﺮِئٍ ﻣَﺎﻨَﻮَى (ﺍﺧﺮﺠﻪﺍﻟﺒﺧﺎﺮى﴾
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya
bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhari dari Umar bin
Khattab).
Dan ketika kita lihat dari kacamata KHI mengenai talak itu sendiri
terdapat dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 39 ayat (1) UU
no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang
disebabkan oleh perceraian hanya bisa dilakukan di hadapan sidang pengadilan,
tentunya setelah pengadilan mengadakan usaha untuk mendamaikan kedua belah
pihak terlebih dahulu namun tidak berhasil. Pasal 39 ayat (2) UU no.1 tahun
1974 tentang Perkawinan juga memaparkan bahwa untuk melakukan perceraian harus
didasari oleh alasan yang cukup bahwa kedua belah pihak tidak dapat lagi hidup
rukun sebagai suami-istri. Dalam kondisi seperti ini keputusan pengadilanpun didasarkan pada niat yang sesungguhnya.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1. Qawaidul fiqihiyah
adalah : suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua
bagian-bagian atau cabang-cabangnya yang banyak yang dengannya diketahui hukum-hukum
cabang itu. Sedangkan niat adalah mengoreintasikan ketaatan diri kepada allah
dalam mewujudkan tindakan.
2.
Obyek pembahasan kaidah niat ini meliputi, fungsi niat, aktivitas ritual
ibadah yang tidak harus ada niat, penentuan obyek niat (ta’yin al-niyyat), arti
ta’yinun al-niyyat itu sendiri dan latar belakangnya, ta’yin fardliyah
(spesifikasi fardlu) dalam niat, ta’yin ijmali dan tafshili, ikhlas dan tasyrik
dalam niat, waktu pelaksanaan niat, tempat pelaksanaan niat, status niat (rukun
atau syarat)aspek hukum
yang membutuhkan niat syar’iyyah. Selain itu dalam kaidah niat juga terdapat
kaidah-kaidah cabangnya.
3.
penerapan kaidah pertama dalam al-ahwal al-syakhshiyyah yaitu penggunaan
kata kiasan atau sindiran dalam talak. Seandainya seorang suami berkata pada
istrinya: “kamu terlepas dari segala ikatan yang mengikatmu, maka pernyataan
tersebut mengandung kemungkinan bahwa si istri terlepas dari ikatan perkawinan
atau dengan kata lain ia tertalak. Namun dapat juga mengandung kemungkinan
bahwa ia bebas bertindak dalam segala tindakan dan urusan, baik yang bersifat
pribadi, rumah tangga ataupun yang lainnya. Dalam kondisi ini penjelasan niat
suami yang menjadi patokannya, ketika suami berniat untuk talak, maka seketika
itu jatuhlah talak, namun sebaliknya ketika suami tidak berniat untuk talak,
maka talak tidak jatuh pada istrinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdulah
Ghani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta:
Gema Insani, 1994.
Aziz, Nashr
Farid Dan Abdul (Eds), Qawa’id Fiqhiyyah, Jakarta: Amzah, 2013.
Djazuli, A.. Kaidah-Kaidah
Hukum Fikih, Jakarta:Kencana, 2006.
Mubarok, Jaih. Kaidah
Fiqh Sejarah Dan Kaidah Asasi, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002.
Nur, Djaman. Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama,
1993.
Saleh, Abdul
Mu’in. Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan, Pustaka Pelajar, 2009.
Salim, Amru
Abdul Mu’im. Fikih Thalak, Jakarta: Pustaka Azzam, 2005.
Setiawan,Wahyu.
Qawa’id Fiqhiyyah, Pustaka: Amzah, 2009.
Tamrin, Dahlan.
Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Malang: Uin-Maliki Press,2010.
‘Uwaidah,
Muhammad. Fiqih Wanita, penerjemah M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1998.
Yusuf, Ahmad
Sabiq Bin Abdul Lathif Abu. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islam, Pustaka
Al-Furqon, 2009.
[1] Ahmad Sabiq
Bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islam
(Pustaka Al-Furqon, 2009), hlm. 2
[3] Jaih Mubarok, Kaidah
Fiqh Sejarah Dan Kaidah Asasi (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), hlm.1
[4] Dahlan Tamrin,
Kaidah-Kaidah Hukum Islam ( Malang: Uin-Maliki Press,2010), hlm. 5
[6] A. Djazuli, Kaidah,
hlm. 27
[8] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm.25
[10] Nashr Farid
Dan Abdul Aziz (Eds), Qawa’id, hlm. 31
[11] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm.26
[12] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm. 27
[14] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm. 34
[15] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm.35.
[16] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm. 38
[18] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm.45.
[19] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm. 52.
[21] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm. 63.
[23] Ahmad Sabiq
Bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah, hlm. 25.
[25] Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Penerjemah M. Abdul
Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 1998), hlm. 427.
[26] Djaman Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dina Utama,
1993), hlm. 138.
[27] Abdulah Ghani
Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Di Indonesia,
(Jakarta: Gema Insani, 1994), hlm 113.
[28] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm. 32.
[30] Dahlan Tamrin,
Kaidah, hlm. 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar