Sabtu, 02 April 2016

PENDEKATAN FENOMENOLOGI: KAJIAN ATAS KARYA ANNEMARIE SCHIMMEL, DECIPHERING THE SIGNS OF GOD: A PHENOMENOLOGICAL APROACH TO ISLAM.

PENDEKATAN FENOMENOLOGI: KAJIAN ATAS KARYA ANNEMARIE SCHIMMEL, DECIPHERING THE SIGNS OF GOD: A PHENOMENOLOGICAL APROACH TO ISLAM.

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam merupakan penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja terdapat beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah ada pada agama-agama samawi lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam juga meluruskan beberapa ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh para pemeluknya. Inilah kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan meneliti Islam lebih dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim yang lebih dikenal sebagai orientalist.[1]
Namun Islam sering dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini kalangan ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan terhadap fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan, yang bisa jadi selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa mengetahui apa makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Maka Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan yang disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Fenomenologi  adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakekat  dari apa yang ada di  balik  segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di bumi.[2]
Di antara tokoh orientalis yang mengkaji Islam adalah Annemarie Schimmel. Ia menawarkan pendekatan fenomenologis dalam karya besarnya Deciphering the Signs of God: a Phenomenological Approach to Islam merupakan salah satu cara dalam upaya pendekatan pemahaman terhadap Islam melalui pendekatan Fenomenologi. Dechipering The Signs of God yang berarti menemukan makna atau apa (rahasia-rahasia) dibalik tanda-tanda Tuhan.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan diskripsi diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan kami bahas dalam makalah ini. Antara lain sebagai barikut :
1.      Bagaimana biografi annemarie schimmel?
2.      Apa metode yang ditawarkan annemarie schimmel dalam mengkaji islam?
3.      Bagaimana hasil pemikiran annemarie schimmel?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana biografi annemarie schimmel?
2.      Untuk mengetahui apa metode yang ditawarkan annemarie schimmel dalam mengkaji islam?
3.      Untuk mengetahui bagaimana hasil pemikiran annemarie schimmel?
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Annemarie Schimmel
Annemarie Schimmel lahir pada 7 April 1922 di Jerman ia menjadi terkenal dan berpengaruh sebagai Iranologist, sebagai sejarawan dan penulis produktif tentang Islam dan tasawuf sampai ia meninggal pada 26 Januari 2003. Schimmel belajar di Universitas Berlin dan menerima gelar doktor dalam bahasa dan peradaban Islam pada usia sembilan belas. Beliau kemudian menjadi profesor bahasa Arab di Universitas Marburg pada tahun 1946. Sementara di sana, ia meraih gelar doktor kedua pada tahun 1954, kali ini dalam sejarah agama. Pada tahun yang sama, ia menjadi profesor sejarah agama di Universitas Ankara di Turki. Beliau menghabiskan lima tahun di sana, mengajar di Turki dan menyerap budaya dan agama melingkupi daerah. Dari 1967 hingga 1992, Beliau mengajar di Harvard University dan menjadi profesor emeritus Indo-budaya Muslim.
Beliau juga seorang profesor kehormatan Universitas Bonn, menerbitkan lebih dari seratus buku-buku tentang sastra Islam, mistisisme dan budaya dan diterjemahkan tambahan berbagai puisi Islam untuk bahasa Inggris dan Jerman dari bahasa-bahasa seperti Persia, Urdu, Arab, Sindhi dan Turki . Pemerintah Pakistan menganugerahkan gelar kehormatan dengan ketertiban sipil tertinggi  yang dikenal sebagai Hilal-e-Imtiaz atau 'Bulan Sabit of Excellence'. Beliau menerima banyak penghargaan lainnya dari banyak negara lain, termasuk Hadiah Perdamaian dari Perdagangan Buku Jerman pada tahun 1995, yang terbukti kontroversial karena dirinya dianggap mendukung dijatuhkannya hukuman mati terhadap Salman Rushdie seorang penghujat Nabi SAW.
Annemarie Schimmel, (1922-2003) adalah salah satu pakar terkemuka sastra Islam dan mistisisme (tasawuf) di dunia. Ia menulis lebih dari 80 buku dan esai, dan memberikan kuliah di universitas dan konferensi di seluruh dunia. Profesor Schimmel merupakan staf pengajar di berbagai Universitas termasuk Ankara University, University of Bonn, dan Harvard University. Tulisannya termasuk terjemahan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman dari karya-karya dalam bahasa Persia, Urdu, Arab dan Turki, serta orang-orang kudus studi Islam, tasawuf, dan literatur Islam. Bukunya Mystical Dimensions of Islam (1975) dianggap klasik di bidangnya. Profesor Annemarie Schimmel menyumbangkan kata pengantar untuk edisi terbaru mahakarya Frithjof Schuon,Understanding Islam. Dalam kata pengantar untuk Memahami Islam dia menulis: "buku Schuon menunjukkan esensi Islam, membandingkan dengan pandangan dunia Kristen dan sering membawa contoh-contoh dari tradisi-tradisi agama lain, yang semuanya terdiri dari pengetahuan yang luas. Gaya mengingatkan pekerjaan kadang-kadang pembaca melihat bentuk kristal murni, namun orang sering menemukan bagian-bagian yang menyentuh hati.”[3]
Dalam Tulisan Awal buku Terjemahan Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam yakni “Rahasia Wajah Suci Ilahi”, yang berjudul Fenomena Schimmel oleh Haidar Bagir. Yang has dari Profesor yang konon menguasai lebih dari 20 bahasa asing dan memiliki Photographic memory ini adalah bahwa sepanjang perkuliahannya matanya menatap ke langit-langit kelas tanpa sedetikpun menatap ratusan mahasiswa yang dengan antusias mengikuti kuliah-kuliahnya tentang Tasawwuf. Dan betapapun amat bersimpati kepada Islam, dia tidak pernah benar-benar mengaku sebagai seorang muslimah.
B.     Pengertian Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam
Menurut arti kamus (Lexical Meaning), yaitu salah satu fase awal pemaknaan yang ada dalam semantik,[4] dechipering (gerund: kata kerja yang dibendakan) merupakan derivasi dari kata dechiper yang berarti menemukan arti sesuatu yang tertulis dalam bentuk, kode, tanda-tanda, tulisan tangan jelek, atau steno dan sebagainya (find the meaning of something written in code, sign, bad hand writing, ect).[5] The (definite article), jika disandingkan dengan jabatan kata yang ada dalam tata Bahasa Arab, menempati posisi kata yang sama dengan lam al-ta’rif (ma’rifah: ال), dipakai untuk menunjukkan kejelasan sesuatu. Dalam hal ini, yaitu tanda-tanda (signs) atau simbol-simbol yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu,  yakni Tuhan (God). Dengan demikian, Dechipering The Signs of Godkurang lebih berarti menemukan makna atau apa (rahasia-rahasia) dibalik tanda-tanda Tuhan, baik yang tersurat (explicit) maupun yang tersirat (implicit), tanda-tanda yang tertulis sebagai teks yang kemudian dibacakan (wahyu mathluw) dan yang di luar teks (wahyu masyhud)[6]  secara fenomenologis.
Terlepas dari pemaknaan literal di atas, kajian ini tidak akan memfokuskan pembahasan untuk menyoroti objek studi lewat telaah bahasa (Linguistics) ataupun sastra (literature) secara utuh dan partikular, melainkan terlebih kepada keterlibatan pengarang dalam menemukan tanda-tanda kebesaran Tuhan melalui pendekatan fenomenologis. Hal ini tercermin dalam upaya konkrit penemuan obyek-obyek fenomena keberagamaan dalam Islam melalui hal-hal yang sakral dan esensi untuk memahami secara mendetail keagungan dan ketinggian nilai-nilai Ilahiah di bumi ini.
C.    Pendekatan Fenomenologi
Dalam studi tentang Agama, berbagai pendekatan dilakukan untuk mendapatkan formulasi Pemahaman yang utuh dan terintegral  terhadap agama dirasa perlu untuk dilengkapi dengan jenis pendekatan dan pemahaman mengenai Agama itu sendiri secara husus. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya agama tidak lagi dipahami secara parsial dan tidak lagi dipandang tidak memiliki nilai fungsional terutama bagi kalangan awam penganutnya. Supaya tidak sampai terjadi distorsi atau reduksi yang berlebihan terhadap fenomena keberagamaan manusia, maka pendekatan model applied sciences baik dalam bentuk sosiologi, sejarah maupun psikologi terhadap agama dirasa perlu untuk dilengkapi dengan jenis pendekatan dan pemahaman lain yang bersifat fenomenologis,[7] yaitu suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakikat atau esensi dari apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam kehidupan manusia di muka bumi. Secara Harfiah, fenomenologi berarti pelajaran mengenai gejala-gejala.[8] Dan Fenomenologi berkeyakinan bahwa setiap pengetahuan diri kita dan dunia mestilah dimulai dengan manusia yang paling personal. William James menyebutnya empirisme radikal. Yang real, menurut James, adalah yang dialami-murni dan tidak ditafsir-tafsirkan. Meski agak khas, pernyataan Corbin barangkali cukup jelas meringkas pendekatan ini:
“Fenomenologi adalah pemulihan fenomena, yakni menemui fenomena dimana mereka berlangsung dan di mana mereka mengambil tempat-tempat mereka. Sehubungan dengan ilmu-ilmu keagamaan, ini berarti menemui mereka dalam jiwa-jiwa orang-orang beriman ketimbang dalam monumen-monumen pencermatan kritis atau pemeriksaan-pemeriksaan mendetail; tujuannya, adalah untuk memaparkan apa yang telah menampakkan dirinya kepada jiwa-jiwa itu atau, dengan kata lain, fakta keagamaan”. Fenomenologi agama-seperti halnya fenomenologi pada umumnya menuntut penyisian sikap menilai (Judgement) oleh peneliti terhadap objek yang ditelitinya. Pada saat yang sama ia merupakan pemberontakan terhadap meruyaknya metode-metode penelitian yang dihasilkan dari sains-sains teoretis, khususnya sosiologi dan sejarah (baca:historisisme).
Menurut Schimmel, satu-satunya metode yang sah dalam mempelajari dan mengungkapakan Islam adalah Fenomenologi. Islam harus dilihat dan dipahami sebagaimana orang Islam memahaminya.[9] Sebuah karya fenomenal “Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam (1994) oleh Annemarie Schimmel merupakan salah satu literatur dalam upaya pendekatan pemahaman terhadap Islam melalui pendekatan Fenomenologis. Kemudian karya ini diterjemahkan oleh Rahmani Astuti (1996) dan berganti judul menjadi “Rahasia Wajah Suci Ilahi”, dimana Annemarie mengkaji hal-hal yang suci dalam Islam; alam dan kebudayaan yang suci, ruang dan waktu yang suci, tindakan yang suci, firman dan kitab suci, individu dan masyarakat, Tuhan dan ciptaan-Nya.[10]
Sejak zaman Edmund Husserl, arti fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Sebagai sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya. Dalam konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan, mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok. Pada intinya ada tiga tugas yang harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: mencari hakikat ketuhanan, menjelaskan teori wahyu dan meneliti tingkah laku keagamaan.[11] Sedangkan tujuan dari fenomologi adalah :
1.      Mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan, tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.[12]
2.      Memahami pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami islam. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.
D.    Tujuan Pendekatan Fenomenologis
Dalam konteks ilmiah, pendekatan (approach) memiliki beberapa arti:
1.      cara pandang dalam  suatu obyek
2.      cara atau langkah yang diambil untuk melaksanakan tugas dalam  mengatasi masalah
3.      cara pandang yang digunakan untuk menjelaskan suatu data yang dihasilkan dalam penelitian
4.      pisau analisis yang didasarkan pada ciri pokok sesuai dengan disiplin tertentu.[13]
Sementara itu fenomenologi merupakan sebuah istilah yang telah luas dipakai dalam hazanah filsafat modern untuk menunjuk pada pengetahuan tentang fenomena. Sebagai sebuah disiplin ilmu, fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh Johan Heinrich Lambert dan Immanuel Kant. Fenomenologi kemudian dikembangkan lebih dalam lagi oleh G.W.F. Hegel dalam karya monumentalnya Phenomenology of the Spirit (1807), yang kemudian diteruskan oleh Husserl. Menurut Hegel, fenomenologi merupakan sains untuk mengetahui pikiran atau sesuatu yang yang tersembunyi dari sebuah objek melalui sesuatu yang tampak dari objek tersebut.
Hegel menjelaskan bahwa fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist atau spirit). Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[14]
Melihat bahwa fenomenologi merupakan sebuah kajian tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari sana Ia kemudian memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.” Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan kepada objek-objek yang non-eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak menganggap bahwa sesuatu itu ada, melainkan terdapat “pengurangan sebuah keberadaan,” yaitu dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang riil dari objek yang dipikirkan. Berangkat dari asumsi tersebut Husserl kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi landasan utama dalam kajian fenomenologi. Dua konsep tersebut adalah:[15]
a.       epochè (menunda semua penilaian) yang berarti bahwa fenomena yang tampak adalah natural tanda ada presupposisi pengamat.
b.       vision yang berarti pengandaian terhadap epochè yang merujuk pada pemahaman kognitif tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu fenomena.
Dari pendapat beberapa tokoh di atas dapat diketahui, bahwa feneomenologi berusaha menangkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri (views itself). Menurut Elliston, “phenomenology then means… to let what shows itself be seen by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and from itself.” Maka bisa dimaklumi jika Schimmel melihat bahwa pendekatan fenomenologi sangat cocok dipakai untuk memahami Islam. Karena dalam Islam, “Everything can become an eye, a sign, not only the verse of the Qur’an.” Pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa. Dan tentu saja pada gilirannya akan sampai pada The Essence of God yang transcendental universal.
E.     Aspek-aspek Fenomena Kajian “Dechipering The Signs of God; A Phenomenological Approach to Islam”
Bagi seorang muslim, segala sesuatu dapat menjadi ayat, tanda dari Tuhan. Al-Qur’an mengulang-ulang kebenaran ini berkali-kali, memperingatkan mereka yang tidak percaya pada tanda-tanda Tuhan atau yang mengingkarinya. Semua makhluk adalah tanda-tanda, perubahan antara siang dan malam adalah suatu tanda, begitu juga pertemuan yang disertai cinta-kasih antara suami istri; dan mukjizat-mukjizat itupun merupakan tanda-tanda (QS 30: 19-25): mereka semua membuktikan bahwa ada satu Tuhan yang tetap hidup, yang merupakan asal dari segalanya. Alam sesungguhnya adalah sebuah buku besar di mana mereka yang mempunyai mata untuk melihat dan mempunyai telinga untuk mendengar dapat menemukan tanda-tanda Tuhan dan karenanya dituntun melalui perenungan mereka menuju Sang Pencipta itu sendiri.[16]
Dengan memahami dan menafsirkan tanda-tanda tersebut kita mungkin dapat memahami kebijaksanaan dan kekuasaan Ilahi. Kita juga akan memahami bahwa, Tuhan memberi pelajaran melalui perbandingan-perbandingan, perumpamaan-perumpamaan, dan persamaan-persamaan untuk menarik hati manusia di luar paras-paras penciptaan lahiriah. Harus selalu diingat bahwa aspek-aspek ruhaniah dari kehidupan hanya dapat diungkapkan melalui aspek-aspek yang terinderai seperti angin hanya dapat dilihat melalui gerakan rumput atau daun yang digerakkan angin. Sebagaimana didendangkan oleh penyair Indo-Muslim abad ke sembilan belas, Ghalib, debu yang dapat kita lihat dari jauh di gurun pasir menyembunyikan penunggang kuda yang mengepulkannya; dan lapisan-lapisan busa di permukaan samudera menunjuk pada jurang yang tak terukur dalamnya. Tanda-tanda ini penting, sebab hati manusia ingin sekali menangkap kilasan Ilahi (meskipun Tuhan itu tidak terjangkau oleh segala bentuk dan imajinasi) namun kita tetap berharap dapat menyentuh kekuatan sang Ilah dengan satu atau lain cara.[17]
Hal yang lain seperti tugas penyembahan, juga dapat ditafsirkan di luar makna penting lahiriah mereka sebagai tanda-tanda bagi sesuatu yang lebih tinggi:Shalat adalah hilangnya diri seseorang yang kecil dalam penyatuan dengan yang suci, atau pengorbanan jiwa seseorang di hadapan Tuhan yang dicintai dan menguasai; perjalanan Haji menunjuk pada perjalanan tanpa henti dari jiwa menuju Tuhan;puasa mengajarkan seseorang untuk hidup dengan cahaya dan peribadatan. Oleh karena itu setiap bentuk ritual lahiriah dapat menjadi tanda pengalaman ruhaniah. Demikian pula, tindakan-tindakan simbolis dapat digunakan untuk menjelaskan aspekaspek ruhaniah tertentu dalam Islam, ketika Nabi melemparkan pasir dan batu kerikil ke arah musuh-musuhnya dalam perang Badr (624) seperti yang diwahyukan dalam QS 8:17 (Waktu kamu melempar itu sebenarnya bukan kamu yang melakukan...’), hal itu menunjukkan bahwa seseorang yang telah mutlak patuh kepada Tuhan dapat bertindak, begitu dikatakan, melalui kekuatan Tuhan.
Dalam buku Dechipering The Signs of God: a Phenomenological Approach to Islam, diuraikan banyak hal-hal yang bersifat suci dalam agama Islam baik itu berupa benda-benda maupun rumusan ajaran-ajarannya untuk menuntun keyakinan dan memberikan pemahaman lebih tegas atas tanda-tanda Allah di dalam Alam semesta ini. Untuk lebih jelasnya, berikut aspek-aspek umum kajian bukunya:
1.      Aspek-aspek Suci, Alam dan Kebudayaan
a.       Alam Tak Bernyawa
Batu: dalam Fenomena Islam diketahui ada Ka’bah di Mekkah yang tidak lain adalah sebuah batu yang merupakan pusat atau titik kemana orang-orang beriman berpaling ketika shalat. Gunung;  yang diyakini sebagai penyangga bumi. Bumi; Air; yang tidak lain untuk berwudlu,begitu juga ada air Zam-zam merupakan fenomena yang luar biasa dalam Islam dan memiliki sejarah yang cukup sakral.Air juga bisa berupa Lautan, samudera, hujan dan sungai. Api; dimana syaitan dan jin diciptakan darinya. Angin; Kilat; Petir;Cahaya; dikatakan di dalam QS 24:35 Tuhan adalah cahaya dari langit dan bumi, kemudian Matahari; perwujudan yang paling jelas dari cahaya yang mencakup dan menembus segalanya, Bulan; Bintang; Langit; dalam Astrologi yang menawarkan bukti lain bagi orang beriman bahwa segala sesuatu adalah bagian dari keselarasan kosmik asalkan kita mampu membaca tanda-tandanya, namun jika sudah sampai ke langit itu sendiri, maka ia jelas merupakan simbol yang menunjuk pada transedensi Ilahi, sebab ia yang menciptakan tujuh langit dan bumi sebagaimana dalam Ayat Kursi (QS 2:255).[18]
b.      Tumbuh-tumbuhan dan Hewan-hewan
Pohon; banyak sekali disebutkan dalam konsepsi-konsepsi tentang manusia dalam hubungannya dengan alam. Karena pohon yang mendatangkan buah untuk dimakan manusia sebagai sumber kehidupannya. Kaitan erat antara pohon dan kehidupan terutama kehidupan ruhania, diungkapkan secara indah dalam hadits yang menyatakan bahwa orang yang berzikir, mengingat Tuhan adalah laksana sebatang pohon hijau di tengah pepohonan yang gersang. Hewan; bukan hanya tumbuhan, hewanpun menyembah Tuhan, masin-masing dengan cara-caranya sendiri. Adapun hewan-hewan yang pernah memiliki andil maupun hewan yang hanya muncul dalam sebuah kisah baik dalam al Qur’an al Hadits,maupun riwayat para sahabat dan orang-orang saleh adalah: lebah, semut, laba-laba, singa, kucing, anjing, landak besar, buroq, ular, burung; merpati,bangau,ayam jago, merak, nuri, dan angsa.[19]

c.       Objek-objek Buatan Manusia
Senjata; dari zaman dahulu sampai sekarang senjata memiliki peran yang cukup besar, mengingat peperangan-peperangan terhadap kaum kafir untuk menegakkan syariat oleh nabi SAW mempergunakan senjata seperti pedang. Tongkat; tongkat memilki nilai historis karena mengingat Mukjizat nabi Musa berupa tongkat. Bendera atau panji-panji; konsep terpenting dalam tradisi Muslim umum adalah konsep ‘liwa’ al-hamd,’ panji-panji pujian yang akan di bawa Muhammad di Hari Kiamat. Cermin; adalah salah satu objek paling menarik dalam sejarah agama, sejak cerita zaman kuno sampai ungkapan Al Qur’an QS 83:14 ’Apa yang mereka kerjakan itu membayangi hati mereka’,dapat dengan mudah diterapkan pada cermin hati yang ditutupi oleh karat dari perbuatan-perbuatan tercela,dan tidak dapat lagi merefleksikan cahaya Ilahi. Berhala;sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad SAW memiliki kisah berkenaan dengan berhala. Koin, Lukisan; Pakaian; objek terpenting dari objek-objek buatan manusia. Islam mengembangkan aturan berpakaian yang sangat ketat. Bagi laki-laki ia wajib berpakaian mneutup aurat dari pusar sampai lutut, namun perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan.[20]
2.      Ruang dan waktu yang suci
a.       Ruang yang Suci
Dalam konteks ini Schimmel mengkaji ruang dan tempat-tempat seperti Gua, Rumah, Masjid, Kuburan, Makkah dan Madinah (al Haramain), Ka’bah. Yang  mana tempat-tempat ini memiliki nilai sejarah dan barakah tersendiri.[21]
b.      Waktu yang Suci
Waktu mengukur kehidupan kita, dan setiap agama mempunyai waktu sucinya sendiri-sendiri. Secara historis, kesadaran waktu Muslim dimulai dengan hijrah yang berarti realisasi praktis konsep-konsep wahyu. Suatu awal baru yang penting dibuat dengan diperkenalkannya tahun Komariyyah; Ramadhan; adalah bulan yang paling suci dari semua bulan. Karena di dalamnya Muslim wajib berpuasa, waktu diturunkannya al Qur’an dan di dalamnya terdapat Lailatul qadr’ yang lebih baik dari seribu bulan (QS 97). Dua hari raya (‘idain); ‘Idul Fithri pada 1 Syawal dan ‘Idul ‘Adlha di bulan Dzul Hijjah sekaligus sebagai waktu untuk Ibadah Hajji yang penuh rahmat. Maulid Nabi SAW; pada 12 Rabi’ul Awwal. Rajab; bulan ke tujuh komariyah, dikaitkan dengan Isra’ Mi’raj pada tanggal 27. Sya’ban; bulan laylatul bara’ah, disunnatkan memperbanyak ibadah di dalamnya, terutama puasa sebagai persiapan memasuki bulan Ramadhan. Pada hakikatnya setiap hari memiliki keistimewaan tersendiri disesuaikan dengan nilai historisnya sesuai dengan petunjuk al Qur’an. Waktu disadari bersifat linier, dimulai dengan Penciptaan, Hari kemarin, menuju Hari Penghakiman.[22]
c.       Angka-angka Suci
Islam seperti semua agama menekankan makna penting dari angka-angka tertentu, seperti angka Satu yang memilki penegasan kuat bahwa Tuhan itu Satu. Begitupula rahasia angka 2,3,4 dan seterusnya sampai angka 99 dan 1001 memiliki misteri dan keterkaitan yang kuat dengan rahasia-rahasia Allah dibalik penciptaanNya.[23]
3.      Tindakan yang Suci
Al Qur’an menekankan perbuatan yang baik dan tindakan yang bermanfaat, dan agar bersandar pada Sunnah Nabi SAW serta para pemimpin Ummat yang terdahulu (salaf). [24]Annemarie membagi tindakan yang suci menjadi tiga, yaitu:
a.       Via Purgativa
Terdiri atas car-cara untuk menyucikan diri sendiri dalam usaha untuk berhubungan dengan yang suci.Seperti berwuldu sebelum shalat, berpuasa untuk memohon ampunan dan menyucikan diri.[25]

b.      Via Illuminativa
Contoh konkritnya adalah Niat, karena batas tertentu antara yang profan yang tidak termasuk dalam tindakan Penyucian, dan yang ritual adalah niyyat, contoh lainnya adalah bay’ah (bai’at) mengambil sumpah untuk terlaksananya sesuatu.[26]
c.       Via Unitiva
Upaya penyatuan fisik (jiwa kasar Manusia) yang imanen dengan Tuhan yang transenden. Konsep tentang Cinta kepada Allah adalah contoh konkritnya. Gambaran-gambaran al Qur’an mengenai surga dengan kenikmatannya dapat ditafsirkan sebagai isyarat kebahagiaan tertinggi penyatuan ruhaniah yang tidak dapat diungkapkan dalam istilah-istilah lain.[27]
4.      Firman dan Kitab Suci
a.       Firman (Mengenai Tuhan dan dari Tuhan)
Firman, karena ia berasal dari Tuhan dan mengungkapkan diriNya serta kehendakNya, sangat sentral dalam Islam. Tetapi secara umum, firman suci terlindung dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari melalui suatu cara pembacaan khusus yang menekankan ciri kesuciannya. Ada suara-suara primordial, ‘Urlaute’ Ilahiah, yang bila didengar orang akan memahami mengapa ‘suara’ dapat dianggap sebagai Kekuatan Kreatif, sehingga tidak heran jika dalam budaya Islam terutama kelompok sufi tertentu masih ada terapi musik dengan suara-suara keramat yang penuh berkah. Dalam mengumandangkan firman Allah SWT dituntut supaya memperhatikan pola-pola suara yang benar, dan pembacaan yang sesuai dengan kaidah dalam ilmu tajwid atau tartiltilawat dan lain sebagainya.[28]
Bukti bahwa Firman itu berasal dari Tuhan tidak lain karena kemukjizatan yang dikandungnya, tata bahasa yang indah yakni dari Bahasa Arab Fasih yang tidak dapat ditiru oleh penyair manapun. Firman ini juga sebagai bahasa pujian, disamping merupakan bahasa hati, karena cara lain untuk menyebarkan isi wahyu adalah glossolalia, atau berbicara dalam berbagai bahasa.
Kaum muslim tau bahwa wahyu yang sesungguhnya selalu penuh misteri: orang tidak pernah dapat mengerti sepenuhnya dan memahaminya, meskipun makna dan urutan kata-katanya sangat jelas. Sebuah wahyu yang dipahami sepenuhnya tidak akan menjadi wahyu sejati dari zat Ilahi yang tak dapat diperkirakan.[29] Wahyu Ilahi yang bersinar melalui para Nabi dinamakan wahyu, sementara Ilham pada umumnya diperoleh oleh manusia, ahli pikir,pe, nyair. Dan suatu usaha untuk lebih mendekati misteri wahyu merupakan usaha untuk memberikan pada Tuhan, yaitu asal-usulnya sebuah nama. Karena Tuhan menyebut diriNya sendiri Allah dalam Al Qur’an, nama ‘personalNya’ tidak diketahui.
b.      Kata Untuk Tuhan
Kata mempunyai kekuatan realisasi, karena datang dari Tuhan pada awalnya (sebagaimana segala sesuatu). Bangsa-bangsa kuno (dan sampai batas tertentu manusia modern pula) mengenal kekuatan magis dari kata, yang dapat direalisasikan dalam pengaruh-pengaruh dari rahmat dan kutukan, salam dan perintah: mengucapkan kata itu dapat menyembuhkan sekaligus menyakiti. Itu sebabnya rumusan salam amat penting, Al Qur’an memerintahkan orang mukmin untuk menyalami satu sama lain.Selain salam ada Tashliyah, dapat menguatkan nilai suatu permohonan atau menuntun pada pengampunan dosa-dosa. Kutukan, sumpah, janji, Istighfar, suara adzan, baru kemudian Shalat, Doa, pujian, Zikir merupakan bahasa-bahasa yang bersumber dari Allah dan untukNyapun diucapkan.[30]
c.       Kitab Suci,
Yakni Al Qur’an yang berisi kisah-kisah umat dan Nabi terdahulu, peringatan, Tauhid, perintah dan larangan, hukum-hukum dan lain sebagainya berupa rumusan petunjuk bagi kehidupan manusia. Membaca, belajar dan mengajarkannya lalu mengamalkannya adalah pahala yang besar di sisi Allah SWT.[31]
5.      Individu dan Masyarakat.
a.       Manusia,
fenomena yang paling nyata di alam ini adalah adanya manusia, sebagai hamba (abd); yang menyembah, sebagai khalifah; wakil Tuhan di bumi yang bertugas memakmurkan Bumi dan isinya supaya bisa mempertanggungjawabkan tugasnya kelak di akhirat, sebagai insanunnhathiq yang diberi kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan mahluk lainnya terutama akal. Dari segi penciptaannya, manusia diciptakan dari debu dan selanjutnya menjadi ‘alaq (QS 96:1). Sebagaimanaan yang dapat dipahami dari kisah penciptaan, manusia itu terdiri dari badan dan jiwa. Ruh dan Nafs sangat penting sebagai aspek-aspek ruhaniah sejati yang membuat manusia tetap berhubungan dengan realitas-realitas yang lebih tinggi, tetapi badan sangat diperlukan bagi kehidupan ini. [32]
Organ-organ tubuh yang dimilki manusia sangat sempurna dan memilki keistimewaan-keistimewaan tersendiri, mulai dari rambut, kepala, jenggot, kuku, nafas, keringat, darah, kaki, tangan dan sebagainya, semua memilki nilai kesucian dan faedah yang bervariatif. Manusia ada yang laki-laki dan perempuan, memilki peran dan tanggungjawab masing-masing.
b.      Masyarakat,
Masyarakat Islam yang ideal, menurut Louis Massignon dan sebagai pengikutnya Louis Gardet, adalah suatu teokrasi egaliter dari para anggota awam. Komunitas kaum beriman sangat penting dalam pemikiran Muslim normatif, sehingga timbullah keengganan sebagai Muslim terhadap minat Barat pada tokoh-tokoh eksotik seperti para sufi dan yang semacamnya, sebab mereka tidak mewakili norma-norma dan cita-cita dari umat sebab ummat dibangun sesuai dengan visi Nabi yang merupakan hasil dari Ilham Ilahi mengenai masyarakat yang sempurna.[33] Kehidupan yang baik,’kehidupan seorang Muslim yang akan membawanya menuju kebahagiaan di dunia dan di Akhirat, harus ditata hingga rincian yang paling kecil sesuai dengan aturan-aturan wahyu sebagaimana yang ditafsirkan oleh ahli-ahli yang kompeten.[34]
Al-Qur’an menggambarkan komunitas Muslim sebagai Ummatan wustha(QS 2: 143), yaitu komunitas tengah, segolongan manusia yang mengambil jalan tengah antara kedua ekstrem, sebagaimana Nabi sering tampil sebagai tokoh yang menghindari legalisme yang kaku dan keras dari Musa dan kelembutan yang berlebihan dari Isa. Landasan utama terbentuknya masyarakat Muslim adalah sunnah Nabi SAW yang banyak memberikan gambaran bahwa muslim yang satu dengan yang lain adalah satu jiwa, karenanya mereka berkewajiban untuk mendukung satu sama lain di jalan keselamatan dengan memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan, amr bi al-ma’ruf wa nahyi an al-munkar.
6.      Tuhan dan CiptaanNya, Eskatologi
Schimmel dalam konsep ini menjelaskan bahwa Tuhan digambarkan sebagai wajib al-wujub,’Dia yang eksistensi-Nya mutlak wajib’ dan yang kepadaNya segala sesuatu bergantung. Tuhan adalah Prima causa, dan tidak ada penyebab sekunder. Peristiwa-peristiwa di dalam dunia ciptaan merupakan pengaruh dari keterlibatan langsung sang pencipta:apapun yang terjadi bukan akibat dari kausalitas melainkan karena sunnat Allah.[35]
7.      Cara Pendekatan terhadap Islam
Adalah uraian pamungkas dari buku ini, menegaskan perlunya pendekatan yang sesuai dan obyektif terhadap Islam. Untuk menegaskan eksistensi kebenaran ajarannya.[36]

F.     Objek Kajian
Objek kajian Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam ini yang terdiri dari sesuatu yang tampak dan yang tidak tampak. Ia lantas membaginya ke dalam empat lapisan.
1.      Lapisan terluar, the world of outer manifestations, yang terdiri dari tiga bagian yaitu:
a.       objek yang suci, ruang yang suci di mana tinggal di dalamnya tata cara memuja Tuhan, waktu yang suci di mana dilaksanakan ritual keagamaan, angka suci yang dengannya diukur kesucian objek, ruang, waktu, kata-kata, manusia, dan perbuatan yang suci.
b.      kata-kata yang suci, yaitu kata-kata yang diucapkan (firman Tuhan, doa, nama-nama Tuhan, sabda-sabda, mitos, legenda, ramalan, ajaran, doktrin, penebusan dosa, pujian, rasa syukur, permohonan, penyerahan), dan kata-kata yang tertulis yaitu teks kitab suci.
c.       manusia yang suci dan masyarakat yang suci.[37]
Dalam pandangan Schimmel, ketiganya merupakan sesuatu yang bisa diobservasi, bisa dilihat, didengarkan, disentuh. Agama menurutnya bukanlah sesuatu yang tak nyata tapi merupakan sebuah komunikasi fisik dengan sang Tuhan.
2.      Lapisan berikutnya adalah lapisan dalam yang pertama. Schimmel menyebutnya sebagai the world of religious imagination yang terdiri dari:
a.       konsep ketuhanan,
b.      konsep penciptaan (kosmologi dan antropologi),
c.       konsep wahyu,
d.      konsep penebusan dosa/penyelamatan, dan
e.       konsep tentang hari akhir (eschatology).
3.      Selanjutnya adalah lapisan dalam kedua yang oleh Schimmel disebut sebagai the world of religious experience.
Wilayah ini menjelaskan apa yang terjadi jauh dalam hati seseorang sebagai pandangan rasional tentang Tuhan. Di sini terdapat nilai-nilai keagamaan yang di dalamnya merupakan diri manusia yang suci, objek suci dan perbuatan yang suci seperti penghormatan terhadap Tuhan, taqwa, iman, harapan, dan cinta kepada Tuhan.
4.      Lapisan yang paling dalam adalah the objective world of religion yang merupakan pusat dari lingkaran tersebut. Ini merupakan realitas ketuhanan yang hanya bisa dipahami melalui seluruh manifestasi eksternal, pikiran dalam, pengalaman hati, melalui dua pengertian, yaitu:
a.       Tuhan sebagai Deus revelatus. Yaitu wajah tuhan yang tampak dari sudut pandang manusia sebagai Yang Maha Suci, Maha Benar, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Pengasih, Sang Penyelamat, yaitu Tuhan yang personal yang diekspresikan dengan kata KAU.
b.      sebagai Deus ipse atau absconditus. Yaitu tuhan yang Maha Agung yang diekspresikan sebagai DIA sebagai kesatuan yang absolute.
Dalam pandangan Schimmel, ada korelasi antara beberapa segmen dalam lapisan-lapisan di atas. Ekspresi dalam bentuk fisik, pikiran, perasaan, pada akhirnya akan berhubungan dengan realitas ketuhanan. Meskipun realitas itu tidak akan pernah dapat diekspresikan secara sempurna oleh manusia, namun menurut Schimmel terdapat hubungan tertentu dengan realitas tersebut. Pola hubungan tersebut adalah analogia entis, yang berarti wujud yang diciptakan berhubungan dengan wujud ketuhanan yang tidak diciptakan.
G.    Metode Yang Dipakai
Pendekatan fenomenologis ala Schimmel ini sebenarnya bukan asli dari pemikirannya sendiri, karena secara jujur ia mengakui bahwa karyanya banyak dipengaruhi oleh Friedrich Heiler. Ia mengatakan, I believe that the phenomenological approach is well suited to a better understanding of Islam, especially the model which Friedrich Heiler developed in his comprehensive study ‘Erscheinungsformen und Eesen der Religion (Stuttgart 1961),’ on whose structure I have modeled this book. Schimmel melihat bahwa Heiler telah mencoba untuk memasuki inti dari agama dengan memahami terlebih dahulu fenomena keberagamaan, lalu lapisan lebih dalam lagi yang merupakan respon manusia terhadap dimensi Ketuhanan, hingga akhirnya ia mencapai bagian tersuci dari setiap agama, yaitu titik pusatnya yang noumenal atau meminjam istilah Heiler dues absconditus, yaitu Dzat yang tidak bisa dicapai oleh logika.
Lebih dari itu, Schimmel juga mengakui bahwa metodenya sebenarnya juga dipengaruhi oleh Abu’l-Husayn an-Nuri yang mengajukan tesis circular form dalam pengalaman keberagamaan. Model tersebut sebenarnya juga mirip dengan ide yang dikemukakan oleh Friedrich Heiler. Dalam pandangan Schimmel, seluruh manifestasi dan bentuk-bentuk berbeda dari wahyu yang berupa alam dan seisinya, budaya, ruang dan waktu, perbuatan, kata/teks, masyarakat, semuanya hanyalah tanda dari kebesaran Sang Maha Abadi. Lebih lanjut Schimmel menegaskan “The plurality of signs is necessary to veil the eternal One who is transcendent and yet ‘closer than the neck vein’ (QS 50:16);  The signs show the way into His presence, where the believer may finally leave the images behind.”

H.    Memahami Islam Secara Fenomenologis Menurut Schimmel
William C. Chittick menyatakan bahwa Dechipering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, adalah suatu karya penting Schimmel yang memberi pencerahan pemahaman Islam sepanjang masa. Lebih penting lagi, pemilihan pendekatan fenomenologisnya sebagai kerangka berfikir yang sangat mungkin akan banyak diapresiasi oleh tradisi keagamaan lain.
Schimmel berusaha mengungkap apa sebenarnya yang terdapat di balik kepercayaan yang menyebar di kalangan kaum Muslim bahwa suatu benda, tempat, waktu atau tindakan mengandung barakah tertentu serta cara pendekatan terhadap Islam.[38] Dia (Schimmel) menyimpulkan dengan teliti tiap-tiap respon terhadap misteri Ilahi. Berdasarkan sumber orisinil, baik literatur klasik maupun modern, dan pengalaman pribadi yang bisa dipertimbangkan kebenarannya, Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam bukan hanya menarik sebagai penelitian praktik-praktik keislaman dan keyakinan Islam, tetapi juga merupakan pandangan fenomenologis Islam yang terintegral.[39] Islam memungkinkan untuk dilihat dari hal mendasarnya, yaitu normatif yang dibangun sebagai acuan hukum di mana kehendak Tuhan terkuak, dapat dilihat.
Konsep lain adalah pertemanan dengan Tuhan yang terjalin sedemikian rupa sehingga agama yang akhir-akhir ini sering dimaknai sebagai keterlibatan seseorang, dapat dibangun dengan landasan pertemanan, menjadi teman Tuhan (God’s friend). Islam dalam konteks fenomenologis Schimmel ini pada hakikatnya adalah usaha memahami Islam apa adanya sesuai dengan esensi ajaran, tanpa mengenyampingkan peran-peran tradisi yang dipraktekkan sebagai wujud aktualisasi keimanan dan ketakwaan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah. Meski tidak dapat dipungkiri konsekuensi dari semua ini munculnya fakta mistis dalam aspek-aspek kajian ini.
Dalam perspektif ini, penafsiran-penafsiran dan anggapan yang subyektif dari penganut Islam sendiri tidak dapat dihindari karena obyek kajiannya adalah hal yang paling sensitif dan fundamen dalam ajaran ini, meski tetap memiliki keunggulan tersendiri, baik itu bagi pemeluknya secara spesifik maupun bagi pemerhati studi agama-agama secara general. Kajian fenomenologis ini, dimaksudkan supaya agama tetap ditempatkan pada sebuah lokus spiritual, dinamika dan gejala sosial, sumber intelektual, sehingga manifestasi dari fenomena keberagamaan memiliki corak dan warna dalam membentuk pemahaman sekaligus karakter yang kokoh, tidak hanya bagi pemeluknya melainkan bagi siapa saja yang memiliki respek untuk mengkajinya. Hal ini dimungkinkan untuk meminimalisir pandangan sentimen yang terlalu ekstrim terhadap Islam. 
I.       Hasil Kajian Schimmel
Annemarie Schimmel melalui karyanya “Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam” menjelaskan bahwa terdapat hal-hal yang bersifat suci dan sakral dalam agama Islam. Dalam pandangan Schimmel, aspek-aspek yang suci tersebut terdapat pada alam dan budaya, ruang dan waktu, perbuatan, firman Tuhan dan kitab, individu dan masyarakat, serta Tuhan dan ciptaan-Nya. Menurut William C. Chittick, karya Schimmel memberikan pencerahan pemahaman Islam sepanjang masa. Lebih penting lagi, pemilihan pendekatan fenomenologisnya sebagai kerangka berpikir, memungkinkan apresiasi oleh tradisi keagamaan yang lain.
Dalam karyanya, Schimmel berusaha mengungkap apa sebenarnya yang terdapat di balik kepercayaan yang menyebar di kalangan kaum muslim bahwa setiap benda, tempat, waktu, atau tindakan mengandung hikmah tertentu serta dapat dijadikan fondasi dalam melakukan pendekatan terhadap Islam. Ia menyimpulkan dengan teliti setiap respon terhadap misteri ilahi berdasarkan sumber orisinil, baik literature klasik maupun modern, dan pengalaman pribadi yang bisa dipertimbangkan kebenarannya. Karya Schimmel ini bukan hanya menarik sebagai penelitian praktik-praktik keislaman dan keyakinan Islam, tetapi juga merupakan pandangan fenomenologis Islam yang integral. Sebuah upaya untuk memahami dan mencapai keagungan Tuhan yang tidak gampang untuk melakukannya.
Menurut Schimmel, mungkin Rumi bisa menjawab pertanyaan manusia tentang bagaimana mencapai Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Kuasa, Dzat yang Awal dan Akhir, Dzat yang menunjukkan kekuasaannya melalui tanda-tanda tapi tidak pernah bisa dipahami. Dan sebagai penutup bukunya, Schimmel mengutip pernyataan rumi:[40]
Akal adalah sesuatu yang selalu, baik siang maupun malam, merasa gelisah dan tidak kenal damai, berpikir dan berkhawatir dan berusaha untuk memahami tuhan, meskipun tuhan itu tidak dapat dipahami dan berada di luar pemahaman kita. Akal itu seperti seekor ngengat, dan sang kekasih adalah lilinnya. Setiap kali ngengat itu mendekatkan dirinya pada lilin, ia terbakar dan hancur, namun ngengat yang sejati adalah hewan yang tidak dapat hidup tanpa cahaya lilin. Sebagaimana ia dapat menderita sakit akibat pengorbanan dan pembakaran dirinya. Jika ada hewan lain seperti ngengat dan dapat hidup tanpa cahaya lilin dan tidak akan melemparkan dirinya kepada cahaya itu, ia bukanlah ngengat yang sejati, dan jika ngengat itu melemparkan dirinya kepada cahaya lilin, dan lilin tidak membakarnya, maka ia bukanlah lilin yang sejti.
Oleh sebab itu, manusia yang dapat hidup tanpa tuhan dan tidak melakukan usaha apapun bukanlah manusia sejati, tetapi jika orang dapat memahami tuhan, maka itu pastilah bukan tuhan. Itulah manusia yang sejati, orang yang tidak pernah berhenti berusaha dan yang berkelana tanpa henti dan tanpa akhir diseputar cahaya keindahan dan keagungan tuhan. Dan tuhan adalah dia yang mengorbankan si pencari dan membinasakannya, dan tidak ada akal yang dapat memahaminya.[41]
Reason is that which always, day and night, is restless and without peace, thinking and worrying and trying to comprehend God eventhough God is incomprehensible and beyond our understanding. Reason is like a moth, and the Beloved is like the candle. Whenever the moth casts itself into the candle, it burns and is destroyed – yet the true moth is such that it could not do without the light of the candle, as much as it may suffer from the pain of immolation and burning. If there were any animal like the moth that could do without the light of the candle and would not cast itself into this light, it would not be a real moth, and if the moth should cast itself into the candle’s light and the candle did not burn it, that would not be a true candle.
Therefore the human being who can live without God and does not undertake any effort is not a real human being; but if one could comprehend God, then that would not be God. That is the true human being: the one who never rests from striving and who wanders without rest and without end around the light of God’s beauty and majesty. And God is the One who immolates the seeker and annihilates him, and no reason can comprehend Him.[42]









Model Cincin Konsentris Annemarie Schimmel

         





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Merefleksi karya yang memberikan begitu banyak gambaran, pemahaman, kontribusi pemikiran dan pendidikan, tidak hanya bagi pemerhati studi agama melainkan bagi kalangan awam maupun praktisi pendidikan keislaman, karena memang karya ini diulas dan dikupas cukup luas dan mendalam, mencakup aspek-aspek esensial ajaran Islam yang bagi sebagian pemeluknya masih terasa asing karena minimnya pemahaman terhadap konsep mendasar ajarannya.
Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam ini tampil sebagai karya yang berusaha untuk memahami Islam. Dalam kaitannya dengan pemahaman yang tidak seimbang, yang banyak dilakukan oleh para orientalis, Schimmel dengan penuh empati berusaha memahamkan dunia Barat tentang Islam yang ramah (Rahmatan li al-amin) dan penuh dengan cinta. Islam dipahami melalui kajian pustaka (library research) secara kualitatif dengan metode fenomenologi yang menitik tekankan pada aspek sosio historis. Melalui metode ini, Schimmel berusaha memahami arti sebuah peristiwa terkait erat dengan orang biasa dalam situasi tertentu. Titik berat pada aspek sosio historis ini terletak pada pendekatan kesejarahan dengan mengaitkan mistik dan perilaku sufistik.
Dalam realitas penelitiannya, ia menggunakan studi literatur tanpa ada keterlibatan langsung dia sebagai author dalam jalannya sejarah agama, sebab Islam dan fenomena yang ada sebagai gejala keagamaan,[43] sebagaimana yang Schimmel sendiri soroti, yakni hal abstrak (‘ālam al-ghaib), Tuhan dan ciptaan-Nya: eskatologi serta kesucian individu: sufi, memberikan kejelasan masih adanya tirai pemisah antara realitas dengannya. Dengan kata lain Schimmel hanya mendapatkan data sekunder dari fenomena-fenomena yang ada dalam Islam, dari segi kesignifikansian suatu data memang perlu dipertanyakan. Meski demikian, usaha dan perannya menggunakan pendekatan Fenomenologis ini banyak membantu meredam sorotan dunia Barat terhadap asumsi-asumsi yang tidak selalu benar dalam Islam.
B.     Saran
Kajian buku ini memiliki banyak warna dalam sisi spiritual meski penulisnya sendiri bukanlah subyek dari ajaran agama itu sendiri, akan tetapi secara pribadi kami berharap kita selalu memiliki pandangan positif terhadap kekayaan intelektual dengan melihat sebuah realitas dan tanpa mengenyampingkan pentingnya sebuah keterlibatan langsung, penyatuan realitas pribadi dengan fenomena yang diteliti dan dipahami, nilai obyektifitas, orisinalitas dan otoritas sebuah ajaran agama, dalam hal ini agama Islam masih dipertahankan secara matang melalui pengetahuan Schimmel yang komprehensif dan terintegral terhadap Islam. Meski tidak dapat dipungkiri kajian fenomenologi seperti ini seharusnya melibatkan peneliti (author)nya dalam proses menemukan esensi yang tertinggi dari semua tanda-tanda Tuhan di bumi ini. Namun yang tidak kalah penting harus menjadi catatan kita bersama, bahwa fenomena keberagamaan itu seharusnya menjadi harta yang tak ternilai bagi kita ummat Islam, dan bisa menjadi referensi atau rujukan utama dalam meningkatkan  keimanan dan ketakwaan serta kajian-kajian atasnya harus menjadi wawasan dan acuan berkarya bagi penganutnya.
Dalam makalah singkat ini penulis berharap bahwa agama hendaknya ditempatkan sebagai sumber wawasan, sumber perilaku dan sumber penelitian yang tiada habisnya untuk dicari mutiara-mutiara yang tersembunyi di balik realitas pesan konkritnya. Oleh karena sebagian besar kita tertinggal jauh mengkaji fenomena agama sendiri dan membiarkan hazanah itu lenyap dan dikuasai oleh tangan orientalis yang tidak selalu ingin membangun melainkan sebaliknya ingin menghancurkan bahkan menumbuhkan keraguan yang lebih besar terhadap agama. Pendekatan fenomenologis hendaknya menjadi salah satu pilihan alat yang representatif bagi pemahaman agama yang lebih komprehensif, dan literatur “Dechipering The Sign of God”a Phenomenological Approach to Islam” harus jadi salah satu literatur penting dalam melihat setiap fenomena keagamaan yang dikaji dalam perspektif yang lebih mendalam.Selamat berkarya..





















DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdullah, M. Amin. “Studi Agama Normatifitas Atau Historisitas?”,Pustaka Pelajar Offset, 1996.
Erricker, Clive. Pendekatan Fenomenologis Dalam Peter Connolly (Eds), Aneka Pendekatan Studi Agama Terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 110.
Grunebaum, G.E. Von, Muhammedan Festivals, 1958.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Tradisi Baru Penelitian Agama, (Bandung: Nuansa, 2001), hlm.220.
Minhaji, Akh. Strategies For Social Rresearch: The Methodological Imagination In Islamic Studies, Yogyakarta: Suka Press, 2009.
Naim, Ngainun. Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Oxford: Dictionary Theasaurus & Wordpower Guide, New York: Oxford University Press, 2001.
Rahim, Abd.”Sejarah Perkembangan Orientalisme,”Jurnal Hunafa, 7 Desember, 2010.
Schimel, Annemarie. Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam , Terj. Rahmani Astuti, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Bandung: Mizan, 1996.
Semantics: Study Of The Meaning Of Words. Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New Edition, 1995.
Siddiqi, Muzammil H. Islamic Worlview: An Invitation To Proper Thought And Action.
Website:
Wikipedia: The Free Encyclopedia
Http://Filsufgaul.Wordpress.Com. Diakses tanggal 20 Desember 2015.
Http://Www.Worldwisdom.Com/Public/Authors/Annemarie-Schimmel.Aspx Diakses Pada 20 Desember 2015



[1] Abd. Rahim,”Sejarah Perkembangan Orientalisme,”Jurnal Hunafa, 7 (Desember, 2010), hlm.180
[2] M. Amin abdullah, Studi Agama, (yogyakarta: pustaka pelajar,1996), hlm. 27.
[3] Http://Www.Worldwisdom.Com/Public/Authors/Annemarie-Schimmel.Aspx Diakses Pada 20 Desember 2015
[4] Semantics: Study Of The Meaning Of Words. (Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New Edition, 1995:374)
[5] Semantics: Study Of, hlm, 374.
[6] Muzammil H. Siddiqi, Islamic Worlview: An Invitation To Proper Thought And Action,
[7] Dr. M. Amin Abdullah, “Studi Agama Normatifitas Atau Historisitas?”,(Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm.27
[8] Oxford: Dictionary Theasaurus & Wordpower Guide, (New York: Oxford University Press, 2001), hlm. 963.
[9] Annemarie Schimel, Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam , Terj. Rahmani Astuti, Rahasia Wajah Suci Ilahi, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.10-11
[10] Annemarie Schimel, Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam , Terj. Rahmani Astuti, Rahasia Wajah Suci Ilahi, (Bandung: Mizan, 1996)
[11] Ngainun Naim, Pendekatan Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 106.
[12] Ali Abdul Halim Mahmud, Tradisi Baru Penelitian Agama, (Bandung: Nuansa, 2001), hlm.220.
[13] Akh. Minhaji, Strategies For Social Rresearch: The Methodological Imagination In Islamic Studies, (Yogyakarta: Suka Press, 2009), hlm. 29.
[14] Clive Erricker, Pendekatan Fenomenologis Dalam Peter Connolly (Eds), Aneka Pendekatan Studi Agama Terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 110.
[15] Clive Erricker, Pendekatan, hlm. 111.
[16] Annemarie Schimel, Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam , Terj. Rahmani Astuti, Rahasia Wajah Suci Ilahi, (Bandung: Mizan, 1996)
[17] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.38
[18] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.34
[19] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.54
[20] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.72
[21] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.93
[22] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.119
[23] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.133
[24] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.141
[25] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.146
[26] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.163
[27] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.167
[28] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.177
[29] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.184
[30] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.208
[31] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.229
[32] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.259
[33] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.292
[34] G.E. Von Grunebaum (1958), Muhammedan Festivals, hlm. 5.
[35] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.311
[36] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.345
[37] Annemarie Schimel, Deciphering . hlm.27.
[38] Wikipedia: The Free Encyclopedia
[39] Annemarie Schimel, Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam , Terj. Rahmani Astuti, Rahasia Wajah Suci Ilahi, (Bandung: Mizan, 1996),
[40] Annemarie Schimel, Rahasia , hlm. 364.
[41] Annemarie Schimel, Rahasia , hlm. 365.
[42] Annemarie Schimel, Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam ,
[43] Http://Filsufgaul.Wordpress.Com. Diakses tanggal 20 Desember 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar