PENDEKATAN FENOMENOLOGI: KAJIAN ATAS KARYA
ANNEMARIE SCHIMMEL, DECIPHERING THE SIGNS OF GOD: A PHENOMENOLOGICAL APROACH TO
ISLAM.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan
penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai penyempurna, tentu saja terdapat
beberapa ajaran Islam yang sebenarnya telah ada pada agama-agama samawi
lainnya. Namun demikian, di waktu bersamaan, Islam juga meluruskan beberapa
ajaran agama samawi sebelumnya yang diselewengkan oleh para pemeluknya. Inilah
kiranya yang mendorong banyak orang untuk mengkaji dan meneliti Islam lebih
dalam lagi, tak terkecuali adalah orang-orang non muslim yang lebih dikenal sebagai
orientalist.[1]
Namun Islam sering
dipahami secara tidak objektif oleh para orientalist. Dari sini kalangan
ilmuwan, peneliti-peneliti agama telah melakukan upaya pendekatan terhadap
fenomena agama yang dianggap cukup strategis ketika sebuah ajaran agama ingin
dicari nilai-nilai kebenarannya. Tradisi-tradisi keberagamaan, yang bisa jadi
selama ini hanya sebatas fenomena ritualitas pemeluknya tanpa mengetahui apa
makna dan maksud yang tersembunyi dari perintah maupun larangan Allah SWT. Maka
Islam perlu dipahami secara fenomenologis dalam menangkap pesan yang
disampaikan dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah. Fenomenologi adalah suatu bentuk pendekatan keilmuan yang
berusaha mencari hakekat dari apa yang
ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam
kehidupan manusia di bumi.[2]
Di antara tokoh
orientalis yang mengkaji Islam adalah Annemarie Schimmel. Ia menawarkan
pendekatan fenomenologis dalam karya besarnya Deciphering the Signs of God: a
Phenomenological Approach to Islam merupakan salah satu cara dalam upaya
pendekatan pemahaman terhadap Islam melalui pendekatan Fenomenologi.
Dechipering The Signs of God yang berarti menemukan makna atau apa
(rahasia-rahasia) dibalik tanda-tanda Tuhan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan diskripsi
diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan
batasan yang akan kami bahas dalam makalah ini. Antara lain sebagai barikut :
1. Bagaimana biografi annemarie schimmel?
2. Apa metode yang ditawarkan annemarie schimmel dalam mengkaji islam?
3. Bagaimana hasil pemikiran annemarie schimmel?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana biografi annemarie schimmel?
2. Untuk mengetahui apa metode yang ditawarkan annemarie schimmel dalam
mengkaji islam?
3. Untuk mengetahui bagaimana hasil pemikiran annemarie schimmel?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Annemarie Schimmel
Annemarie
Schimmel lahir pada 7 April 1922 di Jerman ia menjadi terkenal dan berpengaruh
sebagai Iranologist, sebagai sejarawan dan penulis produktif tentang Islam dan
tasawuf sampai ia meninggal pada 26 Januari 2003. Schimmel belajar di
Universitas Berlin dan menerima gelar doktor dalam bahasa dan peradaban Islam
pada usia sembilan belas. Beliau kemudian menjadi profesor bahasa Arab di
Universitas Marburg pada tahun 1946. Sementara di sana, ia meraih gelar doktor
kedua pada tahun 1954, kali ini dalam sejarah agama. Pada tahun yang sama, ia
menjadi profesor sejarah agama di Universitas Ankara di Turki. Beliau menghabiskan
lima tahun di sana, mengajar di Turki dan menyerap budaya dan agama melingkupi
daerah. Dari 1967 hingga 1992, Beliau mengajar di Harvard University dan menjadi
profesor emeritus Indo-budaya Muslim.
Beliau juga
seorang profesor kehormatan Universitas Bonn, menerbitkan lebih dari seratus
buku-buku tentang sastra Islam, mistisisme dan budaya dan diterjemahkan
tambahan berbagai puisi Islam untuk bahasa Inggris dan Jerman dari
bahasa-bahasa seperti Persia, Urdu, Arab, Sindhi dan Turki . Pemerintah
Pakistan menganugerahkan gelar kehormatan dengan ketertiban sipil
tertinggi yang dikenal sebagai Hilal-e-Imtiaz atau 'Bulan Sabit of
Excellence'. Beliau menerima banyak penghargaan lainnya dari banyak negara
lain, termasuk Hadiah Perdamaian dari Perdagangan Buku Jerman pada tahun 1995,
yang terbukti kontroversial karena dirinya dianggap mendukung dijatuhkannya
hukuman mati terhadap Salman Rushdie seorang penghujat Nabi SAW.
Annemarie
Schimmel, (1922-2003) adalah salah satu pakar terkemuka sastra Islam dan
mistisisme (tasawuf) di dunia. Ia menulis lebih dari 80 buku dan esai,
dan memberikan kuliah di universitas dan konferensi di seluruh dunia. Profesor
Schimmel merupakan staf pengajar di berbagai Universitas termasuk Ankara
University, University of Bonn, dan Harvard University. Tulisannya termasuk
terjemahan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman dari karya-karya dalam bahasa
Persia, Urdu, Arab dan Turki, serta orang-orang kudus studi Islam, tasawuf, dan
literatur Islam. Bukunya Mystical Dimensions of Islam (1975) dianggap klasik di
bidangnya. Profesor Annemarie Schimmel menyumbangkan kata pengantar untuk edisi
terbaru mahakarya Frithjof Schuon,Understanding Islam. Dalam kata pengantar
untuk Memahami Islam dia menulis: "buku Schuon menunjukkan esensi Islam,
membandingkan dengan pandangan dunia Kristen dan sering membawa contoh-contoh
dari tradisi-tradisi agama lain, yang semuanya terdiri dari pengetahuan yang luas.
Gaya mengingatkan pekerjaan kadang-kadang pembaca melihat bentuk kristal murni,
namun orang sering menemukan bagian-bagian yang menyentuh hati.”[3]
Dalam Tulisan
Awal buku Terjemahan Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach
to Islam yakni “Rahasia Wajah Suci Ilahi”, yang berjudul Fenomena Schimmel oleh
Haidar Bagir. Yang has dari Profesor yang konon menguasai lebih dari 20 bahasa
asing dan memiliki Photographic memory ini adalah bahwa
sepanjang perkuliahannya matanya menatap ke langit-langit kelas tanpa
sedetikpun menatap ratusan mahasiswa yang dengan antusias mengikuti
kuliah-kuliahnya tentang Tasawwuf. Dan betapapun amat bersimpati kepada Islam,
dia tidak pernah benar-benar mengaku sebagai seorang muslimah.
B. Pengertian
Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam
Menurut arti
kamus (Lexical Meaning), yaitu salah satu fase awal pemaknaan yang ada dalam
semantik,[4]
dechipering (gerund: kata kerja yang dibendakan) merupakan derivasi dari kata
dechiper yang berarti menemukan arti sesuatu yang tertulis dalam bentuk, kode,
tanda-tanda, tulisan tangan jelek, atau steno dan sebagainya (find the meaning
of something written in code, sign, bad hand writing, ect).[5] The
(definite article), jika disandingkan dengan jabatan kata yang ada dalam tata
Bahasa Arab, menempati posisi kata yang sama dengan lam al-ta’rif
(ma’rifah: ال), dipakai untuk
menunjukkan kejelasan sesuatu. Dalam hal ini, yaitu tanda-tanda (signs) atau
simbol-simbol yang digunakan untuk mempresentasikan sesuatu, yakni Tuhan (God). Dengan demikian, Dechipering
The Signs of Godkurang lebih berarti menemukan makna atau apa
(rahasia-rahasia) dibalik tanda-tanda Tuhan, baik yang tersurat (explicit)
maupun yang tersirat (implicit), tanda-tanda yang tertulis sebagai teks yang
kemudian dibacakan (wahyu mathluw) dan yang di luar teks (wahyu masyhud)[6] secara fenomenologis.
Terlepas dari
pemaknaan literal di atas, kajian ini tidak akan memfokuskan pembahasan untuk
menyoroti objek studi lewat telaah bahasa (Linguistics) ataupun sastra
(literature) secara utuh dan partikular, melainkan terlebih kepada keterlibatan
pengarang dalam menemukan tanda-tanda kebesaran Tuhan melalui pendekatan
fenomenologis. Hal ini tercermin dalam upaya konkrit penemuan obyek-obyek
fenomena keberagamaan dalam Islam melalui hal-hal yang sakral dan esensi untuk
memahami secara mendetail keagungan dan ketinggian nilai-nilai Ilahiah di bumi
ini.
C. Pendekatan
Fenomenologi
Dalam studi
tentang Agama, berbagai pendekatan dilakukan untuk mendapatkan formulasi
Pemahaman yang utuh dan terintegral terhadap agama dirasa perlu
untuk dilengkapi dengan jenis pendekatan dan pemahaman mengenai Agama itu
sendiri secara husus. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya agama tidak lagi
dipahami secara parsial dan tidak lagi dipandang tidak memiliki nilai
fungsional terutama bagi kalangan awam penganutnya. Supaya tidak sampai terjadi
distorsi atau reduksi yang berlebihan terhadap fenomena keberagamaan manusia,
maka pendekatan model applied sciences baik dalam bentuk sosiologi,
sejarah maupun psikologi terhadap agama dirasa perlu untuk dilengkapi dengan
jenis pendekatan dan pemahaman lain yang bersifat fenomenologis,[7]
yaitu suatu bentuk pendekatan keilmuan yang berusaha mencari hakikat atau
esensi dari apa yang ada di balik segala macam bentuk manifestasi agama dalam
kehidupan manusia di muka bumi. Secara Harfiah, fenomenologi berarti
pelajaran mengenai gejala-gejala.[8] Dan
Fenomenologi berkeyakinan bahwa setiap pengetahuan diri kita dan dunia mestilah
dimulai dengan manusia yang paling personal. William James menyebutnya empirisme
radikal. Yang real, menurut James, adalah yang dialami-murni dan tidak
ditafsir-tafsirkan. Meski agak khas, pernyataan Corbin barangkali cukup jelas
meringkas pendekatan ini:
“Fenomenologi
adalah pemulihan fenomena, yakni menemui fenomena dimana mereka berlangsung dan
di mana mereka mengambil tempat-tempat mereka. Sehubungan dengan ilmu-ilmu
keagamaan, ini berarti menemui mereka dalam jiwa-jiwa orang-orang beriman
ketimbang dalam monumen-monumen pencermatan kritis atau pemeriksaan-pemeriksaan
mendetail; tujuannya, adalah untuk memaparkan apa yang telah menampakkan
dirinya kepada jiwa-jiwa itu atau, dengan kata lain, fakta keagamaan”. Fenomenologi
agama-seperti halnya fenomenologi pada umumnya menuntut penyisian sikap menilai
(Judgement) oleh peneliti terhadap objek yang ditelitinya. Pada saat
yang sama ia merupakan pemberontakan terhadap meruyaknya metode-metode
penelitian yang dihasilkan dari sains-sains teoretis, khususnya sosiologi dan
sejarah (baca:historisisme).
Menurut
Schimmel, satu-satunya metode yang sah dalam mempelajari dan mengungkapakan
Islam adalah Fenomenologi. Islam harus dilihat dan dipahami sebagaimana orang
Islam memahaminya.[9]
Sebuah karya fenomenal “Dechipering The Signs of God: A Phenomenological
Approach to Islam (1994) oleh Annemarie Schimmel merupakan salah satu
literatur dalam upaya pendekatan pemahaman terhadap Islam melalui pendekatan
Fenomenologis. Kemudian karya ini diterjemahkan oleh Rahmani Astuti (1996) dan
berganti judul menjadi “Rahasia Wajah Suci Ilahi”, dimana Annemarie mengkaji
hal-hal yang suci dalam Islam; alam dan kebudayaan yang suci, ruang dan waktu
yang suci, tindakan yang suci, firman dan kitab suci, individu dan masyarakat,
Tuhan dan ciptaan-Nya.[10]
Sejak zaman Edmund Husserl, arti
fenomenologi telah menjadi filsafat dan menjadi metodologi berpikir. Sebagai
sebuah aliran filsafat, Edmund Hussrel dianggap sebagai pendirinya. Dalam
konteks studi agama, pendekatan fenomenologi tidak bermaksud untuk
memperbandingkan agama-agama sebagai satuan-satuan besar, melainkan menarik
fakta dan fenomena yang sama yang dijumpai dalam agama yang berlainan,
mengumpulkan dan mempelajarinya per kelompok. Pada intinya ada tiga tugas yang
harus dipikul oleh fenomenologi agama, yatu: mencari hakikat ketuhanan,
menjelaskan teori wahyu dan meneliti tingkah laku keagamaan.[11] Sedangkan tujuan dari fenomologi adalah :
1.
Mengungkapkan atau mendeskripsikan makna
sebagaimana yang ada dalam data (gejala) dalam bentuk kegiatan-kegiatan,
tradisi-tradisi, dan simbol keagamaan.[12]
2. Memahami
pemikiran, tingkah laku, dan lembaga-lembaga keagamaan tanpa mengikuti salah
satu teori filsafat, teologi, metafisika, ataupun psikologi untuk memahami
islam. Karena pada dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya
dengan caranya masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat
dengan kacamata agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa.
D. Tujuan
Pendekatan Fenomenologis
Dalam konteks ilmiah, pendekatan (approach) memiliki beberapa arti:
1. cara pandang dalam suatu obyek
2.
cara
atau langkah yang diambil untuk melaksanakan tugas dalam mengatasi masalah
3.
cara
pandang yang digunakan untuk menjelaskan suatu data yang dihasilkan dalam
penelitian
4.
pisau
analisis yang didasarkan pada ciri pokok sesuai dengan disiplin tertentu.[13]
Sementara itu fenomenologi merupakan sebuah
istilah yang telah luas dipakai dalam hazanah filsafat modern untuk menunjuk
pada pengetahuan tentang fenomena. Sebagai sebuah disiplin ilmu, fenomenologi
pertama kali diperkenalkan oleh Johan Heinrich Lambert dan Immanuel Kant.
Fenomenologi kemudian dikembangkan lebih dalam lagi oleh G.W.F. Hegel dalam
karya monumentalnya Phenomenology of the Spirit (1807),
yang kemudian diteruskan oleh Husserl. Menurut Hegel, fenomenologi merupakan
sains untuk mengetahui pikiran atau sesuatu yang yang tersembunyi dari sebuah
objek melalui sesuatu yang tampak dari objek tersebut.
Hegel menjelaskan bahwa fenomenologi berkaitan
dengan pengetahuan sebagaimana tampak kepada kesadaran, sebuah ilmu yang
menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh seseorang dalam
kesadaran dan pengalamannya pada saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada
perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan
yang absolut.” Hegel mengembangkan pemahaman bahwa esensi (wesen)
dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan atau
manifestasi (erschinugnen). Ia menunjukkan
bagaimana hal itu mengantarkan kepada satu pemahaman bahwa semua fenomena dalam
keberagamannya, berakar pada esensi atau kesatuan mendasar (geist
atau spirit).
Hubungan antara esensi dan manifestasi tersebut memberikan pemahaman bahwa
agama dan keagamaan merupakan sesuatu yang berbeda.[14]
Melihat bahwa fenomenologi merupakan sebuah
kajian tentang struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran
tersebut menunjuk kepada objek-objek diluar dirinya. Dari sana Ia kemudian
memunculkan istilah “reduksi fenomenologis.” Bahwa suatu pikiran bisa diarahkan
kepada objek-objek yang non-eksis dan riil. Reduksi fenomenologis tidak
menganggap bahwa sesuatu itu ada, melainkan terdapat “pengurangan sebuah
keberadaan,” yaitu dengan mengesampingkan pertanyaan tentang keberadaan yang
riil dari objek yang dipikirkan. Berangkat dari asumsi tersebut Husserl
kemudian merumuskan dua konsep yang kemudian menjadi landasan utama dalam
kajian fenomenologi. Dua konsep tersebut adalah:[15]
a.
epochè
(menunda semua penilaian) yang berarti bahwa fenomena yang tampak adalah
natural tanda ada presupposisi pengamat.
b.
vision yang
berarti pengandaian terhadap epochè yang merujuk pada pemahaman
kognitif tentang esensi, ciri-ciri yang penting dan tidak berubah dari satu
fenomena.
Dari pendapat beberapa tokoh di atas dapat
diketahui, bahwa feneomenologi berusaha menangkap fenomena sebagaimana adanya (to show
itself) atau menurut penampakannya sendiri (views
itself). Menurut Elliston, “phenomenology then means… to let what shows
itself be seen by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and
from itself.” Maka bisa dimaklumi jika Schimmel melihat bahwa
pendekatan fenomenologi sangat cocok dipakai untuk memahami Islam. Karena dalam
Islam, “Everything
can become an eye, a sign, not only the verse of the Qur’an.” Pada
dasarnya semua ciptaan Tuhan itu mengagungkan kebesaran-Nya dengan caranya
masing-masing. Jadi, semua yang ada di alam ini bisa dilihat dengan kacamata
agama untuk mengantarkan pada pemahaman terhadap Yang Maha Esa. Dan tentu saja
pada gilirannya akan sampai pada The Essence of God yang
transcendental universal.
E. Aspek-aspek Fenomena Kajian “Dechipering
The Signs of God; A Phenomenological Approach to Islam”
Bagi seorang muslim, segala sesuatu dapat
menjadi ayat, tanda dari Tuhan. Al-Qur’an mengulang-ulang kebenaran ini
berkali-kali, memperingatkan mereka yang tidak percaya pada tanda-tanda Tuhan
atau yang mengingkarinya. Semua makhluk adalah tanda-tanda, perubahan antara
siang dan malam adalah suatu tanda, begitu juga pertemuan yang disertai
cinta-kasih antara suami istri; dan mukjizat-mukjizat itupun merupakan
tanda-tanda (QS 30: 19-25): mereka semua membuktikan bahwa ada satu Tuhan yang
tetap hidup, yang merupakan asal dari segalanya. Alam sesungguhnya adalah
sebuah buku besar di mana mereka yang mempunyai mata untuk melihat dan
mempunyai telinga untuk mendengar dapat menemukan tanda-tanda Tuhan dan
karenanya dituntun melalui perenungan mereka menuju Sang Pencipta itu sendiri.[16]
Dengan memahami
dan menafsirkan tanda-tanda tersebut kita mungkin dapat memahami kebijaksanaan
dan kekuasaan Ilahi. Kita juga akan memahami bahwa, Tuhan memberi pelajaran
melalui perbandingan-perbandingan, perumpamaan-perumpamaan, dan
persamaan-persamaan untuk menarik hati manusia di luar paras-paras penciptaan
lahiriah. Harus selalu diingat bahwa aspek-aspek ruhaniah dari kehidupan hanya
dapat diungkapkan melalui aspek-aspek yang terinderai seperti angin hanya dapat
dilihat melalui gerakan rumput atau daun yang digerakkan angin. Sebagaimana
didendangkan oleh penyair Indo-Muslim abad ke sembilan belas, Ghalib, debu yang
dapat kita lihat dari jauh di gurun pasir menyembunyikan penunggang kuda yang
mengepulkannya; dan lapisan-lapisan busa di permukaan samudera menunjuk pada
jurang yang tak terukur dalamnya. Tanda-tanda ini penting, sebab hati manusia
ingin sekali menangkap kilasan Ilahi (meskipun Tuhan itu tidak terjangkau oleh
segala bentuk dan imajinasi) namun kita tetap berharap dapat
menyentuh kekuatan sang Ilah dengan satu atau lain cara.[17]
Hal yang lain
seperti tugas penyembahan, juga dapat ditafsirkan di luar makna penting
lahiriah mereka sebagai tanda-tanda bagi sesuatu yang lebih tinggi:Shalat
adalah hilangnya diri seseorang yang kecil dalam penyatuan dengan yang suci,
atau pengorbanan jiwa seseorang di hadapan Tuhan yang dicintai dan menguasai;
perjalanan Haji menunjuk pada perjalanan tanpa henti dari jiwa menuju
Tuhan;puasa mengajarkan seseorang untuk hidup dengan cahaya dan peribadatan.
Oleh karena itu setiap bentuk ritual lahiriah dapat menjadi tanda pengalaman
ruhaniah. Demikian pula, tindakan-tindakan simbolis dapat digunakan untuk
menjelaskan aspekaspek ruhaniah tertentu dalam Islam, ketika Nabi melemparkan
pasir dan batu kerikil ke arah musuh-musuhnya dalam perang Badr (624) seperti
yang diwahyukan dalam QS 8:17 (Waktu kamu melempar itu sebenarnya bukan kamu
yang melakukan...’), hal itu menunjukkan bahwa seseorang yang telah mutlak
patuh kepada Tuhan dapat bertindak, begitu dikatakan, melalui kekuatan Tuhan.
Dalam buku Dechipering
The Signs of God: a Phenomenological Approach to Islam, diuraikan
banyak hal-hal yang bersifat suci dalam agama Islam baik itu berupa benda-benda
maupun rumusan ajaran-ajarannya untuk menuntun keyakinan dan memberikan
pemahaman lebih tegas atas tanda-tanda Allah di dalam Alam semesta ini. Untuk
lebih jelasnya, berikut aspek-aspek umum kajian bukunya:
1.
Aspek-aspek Suci, Alam dan Kebudayaan
a.
Alam Tak Bernyawa
Batu: dalam
Fenomena Islam diketahui ada Ka’bah di Mekkah yang tidak lain adalah sebuah
batu yang merupakan pusat atau titik kemana orang-orang beriman berpaling
ketika shalat. Gunung; yang diyakini sebagai penyangga bumi. Bumi;
Air; yang tidak lain untuk berwudlu,begitu juga ada air Zam-zam merupakan
fenomena yang luar biasa dalam Islam dan memiliki sejarah yang cukup sakral.Air
juga bisa berupa Lautan, samudera, hujan dan sungai. Api; dimana syaitan dan
jin diciptakan darinya. Angin; Kilat; Petir;Cahaya; dikatakan di dalam QS 24:35
Tuhan adalah cahaya dari langit dan bumi, kemudian Matahari; perwujudan yang
paling jelas dari cahaya yang mencakup dan menembus segalanya, Bulan; Bintang;
Langit; dalam Astrologi yang menawarkan bukti lain bagi orang beriman bahwa
segala sesuatu adalah bagian dari keselarasan kosmik asalkan kita mampu membaca
tanda-tandanya, namun jika sudah sampai ke langit itu sendiri, maka ia jelas
merupakan simbol yang menunjuk pada transedensi Ilahi, sebab ia yang
menciptakan tujuh langit dan bumi sebagaimana dalam Ayat Kursi (QS 2:255).[18]
b.
Tumbuh-tumbuhan dan Hewan-hewan
Pohon; banyak
sekali disebutkan dalam konsepsi-konsepsi tentang manusia dalam hubungannya
dengan alam. Karena pohon yang mendatangkan buah untuk dimakan manusia sebagai
sumber kehidupannya. Kaitan erat antara pohon dan kehidupan terutama kehidupan
ruhania, diungkapkan secara indah dalam hadits yang menyatakan bahwa orang yang
berzikir, mengingat Tuhan adalah laksana sebatang pohon hijau di tengah
pepohonan yang gersang. Hewan; bukan hanya tumbuhan, hewanpun menyembah Tuhan,
masin-masing dengan cara-caranya sendiri. Adapun hewan-hewan yang pernah
memiliki andil maupun hewan yang hanya muncul dalam sebuah kisah baik dalam al
Qur’an al Hadits,maupun riwayat para sahabat dan orang-orang saleh adalah:
lebah, semut, laba-laba, singa, kucing, anjing, landak besar, buroq, ular,
burung; merpati,bangau,ayam jago, merak, nuri, dan angsa.[19]
c.
Objek-objek Buatan Manusia
Senjata; dari
zaman dahulu sampai sekarang senjata memiliki peran yang cukup besar, mengingat
peperangan-peperangan terhadap kaum kafir untuk menegakkan syariat oleh nabi
SAW mempergunakan senjata seperti pedang. Tongkat; tongkat memilki nilai
historis karena mengingat Mukjizat nabi Musa berupa tongkat. Bendera atau
panji-panji; konsep terpenting dalam tradisi Muslim umum adalah konsep ‘liwa’
al-hamd,’ panji-panji pujian yang akan di bawa Muhammad di Hari Kiamat. Cermin;
adalah salah satu objek paling menarik dalam sejarah agama, sejak cerita zaman
kuno sampai ungkapan Al Qur’an QS 83:14 ’Apa yang mereka kerjakan itu
membayangi hati mereka’,dapat dengan mudah diterapkan pada cermin hati yang
ditutupi oleh karat dari perbuatan-perbuatan tercela,dan tidak dapat lagi
merefleksikan cahaya Ilahi. Berhala;sejak Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad SAW
memiliki kisah berkenaan dengan berhala. Koin, Lukisan; Pakaian; objek
terpenting dari objek-objek buatan manusia. Islam mengembangkan aturan
berpakaian yang sangat ketat. Bagi laki-laki ia wajib berpakaian mneutup aurat
dari pusar sampai lutut, namun perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan
kedua telapak tangan.[20]
2.
Ruang dan waktu yang suci
a.
Ruang yang Suci
Dalam konteks
ini Schimmel mengkaji ruang dan tempat-tempat seperti Gua, Rumah, Masjid,
Kuburan, Makkah dan Madinah (al Haramain), Ka’bah. Yang mana
tempat-tempat ini memiliki nilai sejarah dan barakah tersendiri.[21]
b.
Waktu yang Suci
Waktu mengukur
kehidupan kita, dan setiap agama mempunyai waktu sucinya sendiri-sendiri.
Secara historis, kesadaran waktu Muslim dimulai dengan hijrah yang berarti
realisasi praktis konsep-konsep wahyu. Suatu awal baru yang penting dibuat
dengan diperkenalkannya tahun Komariyyah; Ramadhan; adalah bulan yang paling
suci dari semua bulan. Karena di dalamnya Muslim wajib berpuasa, waktu
diturunkannya al Qur’an dan di dalamnya terdapat Lailatul qadr’ yang lebih baik
dari seribu bulan (QS 97). Dua hari raya (‘idain); ‘Idul Fithri pada 1 Syawal
dan ‘Idul ‘Adlha di bulan Dzul Hijjah sekaligus sebagai waktu untuk Ibadah
Hajji yang penuh rahmat. Maulid Nabi SAW; pada 12 Rabi’ul Awwal. Rajab; bulan
ke tujuh komariyah, dikaitkan dengan Isra’ Mi’raj pada tanggal 27. Sya’ban; bulan
laylatul bara’ah, disunnatkan memperbanyak ibadah di dalamnya, terutama
puasa sebagai persiapan memasuki bulan Ramadhan. Pada hakikatnya setiap hari
memiliki keistimewaan tersendiri disesuaikan dengan nilai historisnya sesuai
dengan petunjuk al Qur’an. Waktu disadari bersifat linier, dimulai dengan
Penciptaan, Hari kemarin, menuju Hari Penghakiman.[22]
c.
Angka-angka Suci
Islam seperti
semua agama menekankan makna penting dari angka-angka tertentu, seperti angka
Satu yang memilki penegasan kuat bahwa Tuhan itu Satu. Begitupula rahasia angka
2,3,4 dan seterusnya sampai angka 99 dan 1001 memiliki misteri dan keterkaitan
yang kuat dengan rahasia-rahasia Allah dibalik penciptaanNya.[23]
3.
Tindakan yang Suci
Al Qur’an
menekankan perbuatan yang baik dan tindakan yang bermanfaat, dan agar bersandar
pada Sunnah Nabi SAW serta para pemimpin Ummat yang terdahulu (salaf). [24]Annemarie
membagi tindakan yang suci menjadi tiga, yaitu:
a.
Via Purgativa
Terdiri atas
car-cara untuk menyucikan diri sendiri dalam usaha untuk berhubungan dengan
yang suci.Seperti berwuldu sebelum shalat, berpuasa untuk memohon ampunan dan menyucikan
diri.[25]
b.
Via Illuminativa
Contoh konkritnya
adalah Niat, karena batas tertentu antara yang profan yang tidak termasuk dalam
tindakan Penyucian, dan yang ritual adalah niyyat, contoh lainnya adalah bay’ah
(bai’at) mengambil sumpah untuk terlaksananya sesuatu.[26]
c.
Via Unitiva
Upaya penyatuan
fisik (jiwa kasar Manusia) yang imanen dengan Tuhan yang transenden. Konsep
tentang Cinta kepada Allah adalah contoh konkritnya. Gambaran-gambaran al
Qur’an mengenai surga dengan kenikmatannya dapat ditafsirkan sebagai isyarat
kebahagiaan tertinggi penyatuan ruhaniah yang tidak dapat diungkapkan dalam
istilah-istilah lain.[27]
4.
Firman dan Kitab Suci
a.
Firman (Mengenai Tuhan dan dari Tuhan)
Firman, karena
ia berasal dari Tuhan dan mengungkapkan diriNya serta kehendakNya, sangat
sentral dalam Islam. Tetapi secara umum, firman suci terlindung dari hiruk
pikuk kehidupan sehari-hari melalui suatu cara pembacaan khusus yang menekankan
ciri kesuciannya. Ada suara-suara primordial, ‘Urlaute’ Ilahiah, yang
bila didengar orang akan memahami mengapa ‘suara’ dapat dianggap sebagai
Kekuatan Kreatif, sehingga tidak heran jika dalam budaya Islam terutama
kelompok sufi tertentu masih ada terapi musik dengan suara-suara keramat yang
penuh berkah. Dalam mengumandangkan firman Allah SWT dituntut supaya
memperhatikan pola-pola suara yang benar, dan pembacaan yang sesuai dengan
kaidah dalam ilmu tajwid atau tartil, tilawat dan
lain sebagainya.[28]
Bukti bahwa
Firman itu berasal dari Tuhan tidak lain karena kemukjizatan yang dikandungnya,
tata bahasa yang indah yakni dari Bahasa Arab Fasih yang tidak dapat ditiru
oleh penyair manapun. Firman ini juga sebagai bahasa pujian, disamping
merupakan bahasa hati, karena cara lain untuk menyebarkan isi wahyu adalah glossolalia,
atau berbicara dalam berbagai bahasa.
Kaum muslim tau
bahwa wahyu yang sesungguhnya selalu penuh misteri: orang tidak pernah dapat
mengerti sepenuhnya dan memahaminya, meskipun makna dan urutan kata-katanya
sangat jelas. Sebuah wahyu yang dipahami sepenuhnya tidak akan menjadi wahyu
sejati dari zat Ilahi yang tak dapat diperkirakan.[29] Wahyu
Ilahi yang bersinar melalui para Nabi dinamakan wahyu, sementara Ilham pada
umumnya diperoleh oleh manusia, ahli pikir,pe, nyair. Dan suatu usaha untuk
lebih mendekati misteri wahyu merupakan usaha untuk memberikan pada Tuhan,
yaitu asal-usulnya sebuah nama. Karena Tuhan menyebut diriNya sendiri Allah dalam
Al Qur’an, nama ‘personalNya’ tidak diketahui.
b.
Kata Untuk Tuhan
Kata mempunyai
kekuatan realisasi, karena datang dari Tuhan pada awalnya (sebagaimana segala
sesuatu). Bangsa-bangsa kuno (dan sampai batas tertentu manusia modern pula)
mengenal kekuatan magis dari kata, yang dapat direalisasikan dalam
pengaruh-pengaruh dari rahmat dan kutukan, salam dan perintah: mengucapkan kata
itu dapat menyembuhkan sekaligus menyakiti. Itu sebabnya rumusan salam amat
penting, Al Qur’an memerintahkan orang mukmin untuk menyalami satu sama
lain.Selain salam ada Tashliyah, dapat menguatkan nilai suatu
permohonan atau menuntun pada pengampunan dosa-dosa. Kutukan, sumpah, janji,
Istighfar, suara adzan, baru kemudian Shalat, Doa, pujian, Zikir merupakan
bahasa-bahasa yang bersumber dari Allah dan untukNyapun diucapkan.[30]
c.
Kitab Suci,
Yakni Al Qur’an
yang berisi kisah-kisah umat dan Nabi terdahulu, peringatan, Tauhid, perintah
dan larangan, hukum-hukum dan lain sebagainya berupa rumusan petunjuk bagi
kehidupan manusia. Membaca, belajar dan mengajarkannya lalu mengamalkannya
adalah pahala yang besar di sisi Allah SWT.[31]
5.
Individu dan Masyarakat.
a.
Manusia,
fenomena yang
paling nyata di alam ini adalah adanya manusia, sebagai hamba (abd);
yang menyembah, sebagai khalifah; wakil Tuhan di bumi yang bertugas memakmurkan
Bumi dan isinya supaya bisa mempertanggungjawabkan tugasnya kelak di akhirat,
sebagai insanunnhathiq yang diberi kelebihan-kelebihan tertentu dibandingkan
mahluk lainnya terutama akal. Dari segi penciptaannya, manusia diciptakan dari
debu dan selanjutnya menjadi ‘alaq (QS 96:1). Sebagaimanaan
yang dapat dipahami dari kisah penciptaan, manusia itu terdiri dari badan dan
jiwa. Ruh dan Nafs sangat penting sebagai aspek-aspek ruhaniah
sejati yang membuat manusia tetap berhubungan dengan realitas-realitas yang
lebih tinggi, tetapi badan sangat diperlukan bagi kehidupan ini. [32]
Organ-organ
tubuh yang dimilki manusia sangat sempurna dan memilki
keistimewaan-keistimewaan tersendiri, mulai dari rambut, kepala, jenggot, kuku,
nafas, keringat, darah, kaki, tangan dan sebagainya, semua memilki nilai
kesucian dan faedah yang bervariatif. Manusia ada yang laki-laki dan perempuan,
memilki peran dan tanggungjawab masing-masing.
b.
Masyarakat,
Masyarakat
Islam yang ideal, menurut Louis Massignon dan sebagai pengikutnya Louis Gardet,
adalah suatu teokrasi egaliter dari para anggota awam. Komunitas kaum beriman
sangat penting dalam pemikiran Muslim normatif, sehingga timbullah keengganan
sebagai Muslim terhadap minat Barat pada tokoh-tokoh eksotik seperti para sufi
dan yang semacamnya, sebab mereka tidak mewakili norma-norma dan cita-cita dari
umat sebab ummat dibangun sesuai dengan visi Nabi yang merupakan hasil dari
Ilham Ilahi mengenai masyarakat yang sempurna.[33] Kehidupan
yang baik,’kehidupan seorang Muslim yang akan membawanya menuju kebahagiaan di
dunia dan di Akhirat, harus ditata hingga rincian yang paling kecil sesuai
dengan aturan-aturan wahyu sebagaimana yang ditafsirkan oleh ahli-ahli yang
kompeten.[34]
Al-Qur’an
menggambarkan komunitas Muslim sebagai Ummatan wustha(QS 2: 143),
yaitu komunitas tengah, segolongan manusia yang mengambil jalan tengah antara
kedua ekstrem, sebagaimana Nabi sering tampil sebagai tokoh yang menghindari
legalisme yang kaku dan keras dari Musa dan kelembutan yang berlebihan dari
Isa. Landasan utama terbentuknya masyarakat Muslim adalah sunnah Nabi SAW yang
banyak memberikan gambaran bahwa muslim yang satu dengan yang lain adalah satu
jiwa, karenanya mereka berkewajiban untuk mendukung satu sama lain di jalan
keselamatan dengan memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan, amr
bi al-ma’ruf wa nahyi an al-munkar.
6.
Tuhan dan CiptaanNya, Eskatologi
Schimmel dalam
konsep ini menjelaskan bahwa Tuhan digambarkan sebagai wajib al-wujub,’Dia
yang eksistensi-Nya mutlak wajib’ dan yang kepadaNya segala sesuatu bergantung.
Tuhan adalah Prima causa, dan tidak ada penyebab sekunder.
Peristiwa-peristiwa di dalam dunia ciptaan merupakan pengaruh dari keterlibatan
langsung sang pencipta:apapun yang terjadi bukan akibat dari kausalitas
melainkan karena sunnat Allah.[35]
7.
Cara Pendekatan terhadap Islam
Adalah uraian
pamungkas dari buku ini, menegaskan perlunya pendekatan yang sesuai dan
obyektif terhadap Islam. Untuk menegaskan eksistensi kebenaran ajarannya.[36]
F.
Objek Kajian
Objek kajian Schimmel dalam memahami Islam dengan menggunakan
pendekatan fenomenologis adalah seluruh apa yang terdapat di alam ini yang
terdiri dari sesuatu yang tampak dan yang tidak tampak. Ia lantas membaginya ke
dalam empat lapisan.
1.
Lapisan
terluar, the
world of outer manifestations, yang terdiri dari tiga bagian yaitu:
a.
objek
yang suci, ruang yang suci di mana tinggal di dalamnya tata cara memuja Tuhan,
waktu yang suci di mana dilaksanakan ritual keagamaan, angka suci yang
dengannya diukur kesucian objek, ruang, waktu, kata-kata, manusia, dan
perbuatan yang suci.
b.
kata-kata
yang suci, yaitu kata-kata yang diucapkan (firman Tuhan, doa, nama-nama Tuhan,
sabda-sabda, mitos, legenda, ramalan, ajaran, doktrin, penebusan dosa, pujian,
rasa syukur, permohonan, penyerahan), dan kata-kata yang tertulis yaitu teks
kitab suci.
c.
manusia
yang suci dan masyarakat yang suci.[37]
Dalam
pandangan Schimmel, ketiganya merupakan sesuatu yang bisa diobservasi, bisa
dilihat, didengarkan, disentuh. Agama menurutnya bukanlah sesuatu yang tak
nyata tapi merupakan sebuah komunikasi fisik dengan sang Tuhan.
2.
Lapisan
berikutnya adalah lapisan dalam yang pertama. Schimmel menyebutnya sebagai the
world of religious imagination yang terdiri dari:
a.
konsep
ketuhanan,
b.
konsep
penciptaan (kosmologi dan antropologi),
c.
konsep
wahyu,
d.
konsep
penebusan dosa/penyelamatan, dan
e.
konsep
tentang hari akhir (eschatology).
3.
Selanjutnya
adalah lapisan dalam kedua yang oleh Schimmel disebut sebagai the
world of religious experience.
Wilayah
ini menjelaskan apa yang terjadi jauh dalam hati seseorang sebagai pandangan
rasional tentang Tuhan. Di sini terdapat nilai-nilai keagamaan yang di dalamnya
merupakan diri manusia yang suci, objek suci dan perbuatan yang suci seperti
penghormatan terhadap Tuhan, taqwa, iman, harapan, dan cinta kepada Tuhan.
4.
Lapisan
yang paling dalam adalah the objective world of religion
yang merupakan pusat dari lingkaran tersebut. Ini merupakan realitas ketuhanan
yang hanya bisa dipahami melalui seluruh manifestasi eksternal, pikiran dalam,
pengalaman hati, melalui dua pengertian, yaitu:
a.
Tuhan
sebagai Deus
revelatus. Yaitu wajah tuhan yang tampak dari sudut pandang manusia
sebagai Yang Maha Suci, Maha Benar, Maha Adil, Maha Cinta, Maha Pengasih, Sang
Penyelamat, yaitu Tuhan yang personal yang diekspresikan dengan kata KAU.
b.
sebagai Deus
ipse atau absconditus. Yaitu tuhan yang Maha
Agung yang diekspresikan sebagai DIA sebagai kesatuan yang absolute.
Dalam pandangan Schimmel, ada korelasi antara
beberapa segmen dalam lapisan-lapisan di atas. Ekspresi dalam bentuk fisik,
pikiran, perasaan, pada akhirnya akan berhubungan dengan realitas ketuhanan.
Meskipun realitas itu tidak akan pernah dapat diekspresikan secara sempurna
oleh manusia, namun menurut Schimmel terdapat hubungan tertentu dengan realitas
tersebut. Pola hubungan tersebut adalah analogia entis, yang berarti wujud
yang diciptakan berhubungan dengan wujud ketuhanan yang tidak diciptakan.
G.
Metode Yang
Dipakai
Pendekatan fenomenologis ala Schimmel ini
sebenarnya bukan asli dari pemikirannya sendiri, karena secara jujur ia
mengakui bahwa karyanya banyak dipengaruhi oleh Friedrich Heiler. Ia
mengatakan, I believe that the phenomenological approach is
well suited to a better understanding of Islam, especially the model which
Friedrich Heiler developed in his comprehensive study ‘Erscheinungsformen und
Eesen der Religion (Stuttgart 1961),’ on whose structure I have modeled this
book. Schimmel melihat bahwa Heiler telah mencoba untuk memasuki
inti dari agama dengan memahami terlebih dahulu fenomena keberagamaan, lalu
lapisan lebih dalam lagi yang merupakan respon manusia terhadap dimensi
Ketuhanan, hingga akhirnya ia mencapai bagian tersuci dari setiap agama, yaitu
titik pusatnya yang noumenal atau meminjam istilah Heiler dues
absconditus, yaitu Dzat yang tidak bisa dicapai oleh logika.
Lebih dari itu, Schimmel juga mengakui bahwa
metodenya sebenarnya juga dipengaruhi oleh Abu’l-Husayn an-Nuri yang mengajukan
tesis circular
form dalam pengalaman keberagamaan. Model tersebut sebenarnya juga
mirip dengan ide yang dikemukakan oleh Friedrich Heiler. Dalam pandangan
Schimmel, seluruh manifestasi dan bentuk-bentuk berbeda dari wahyu yang berupa
alam dan seisinya, budaya, ruang dan waktu, perbuatan, kata/teks, masyarakat,
semuanya hanyalah tanda dari kebesaran Sang Maha Abadi. Lebih lanjut Schimmel
menegaskan “The
plurality of signs is necessary to veil the eternal One who is transcendent and
yet ‘closer than the neck vein’ (QS 50:16);
The signs show the way into His presence, where the believer may finally
leave the images behind.”
H.
Memahami
Islam Secara Fenomenologis Menurut Schimmel
William C. Chittick menyatakan bahwa Dechipering
the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, adalah suatu
karya penting Schimmel yang memberi pencerahan pemahaman Islam sepanjang masa.
Lebih penting lagi, pemilihan pendekatan fenomenologisnya sebagai kerangka
berfikir yang sangat mungkin akan banyak diapresiasi oleh tradisi keagamaan
lain.
Schimmel berusaha mengungkap apa sebenarnya yang terdapat
di balik kepercayaan yang menyebar di kalangan kaum Muslim bahwa suatu benda,
tempat, waktu atau tindakan mengandung barakah tertentu serta cara pendekatan
terhadap Islam.[38]
Dia (Schimmel)
menyimpulkan dengan teliti tiap-tiap respon terhadap misteri Ilahi. Berdasarkan
sumber orisinil, baik literatur klasik maupun modern, dan pengalaman pribadi
yang bisa dipertimbangkan kebenarannya, Dechipering The Signs of God: A
Phenomenological Approach to Islam bukan hanya menarik sebagai
penelitian praktik-praktik keislaman dan keyakinan Islam, tetapi juga merupakan
pandangan fenomenologis Islam yang terintegral.[39] Islam
memungkinkan untuk dilihat dari hal mendasarnya, yaitu normatif yang dibangun
sebagai acuan hukum di mana kehendak Tuhan terkuak, dapat dilihat.
Konsep lain
adalah pertemanan dengan Tuhan yang terjalin sedemikian rupa sehingga agama
yang akhir-akhir ini sering dimaknai sebagai keterlibatan seseorang, dapat
dibangun dengan landasan pertemanan, menjadi teman Tuhan (God’s friend). Islam
dalam konteks fenomenologis Schimmel ini pada hakikatnya adalah usaha memahami
Islam apa adanya sesuai dengan esensi ajaran, tanpa mengenyampingkan
peran-peran tradisi yang dipraktekkan sebagai wujud aktualisasi keimanan dan
ketakwaan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah. Meski tidak dapat
dipungkiri konsekuensi dari semua ini munculnya fakta mistis dalam aspek-aspek
kajian ini.
Dalam
perspektif ini, penafsiran-penafsiran dan anggapan yang subyektif dari penganut
Islam sendiri tidak dapat dihindari karena obyek kajiannya adalah hal yang
paling sensitif dan fundamen dalam ajaran ini, meski tetap memiliki keunggulan
tersendiri, baik itu bagi pemeluknya secara spesifik maupun bagi pemerhati
studi agama-agama secara general. Kajian fenomenologis ini, dimaksudkan supaya
agama tetap ditempatkan pada sebuah lokus spiritual, dinamika dan gejala sosial,
sumber intelektual, sehingga manifestasi dari fenomena keberagamaan memiliki
corak dan warna dalam membentuk pemahaman sekaligus karakter yang kokoh, tidak
hanya bagi pemeluknya melainkan bagi siapa saja yang memiliki respek untuk
mengkajinya. Hal ini dimungkinkan untuk meminimalisir pandangan sentimen yang
terlalu ekstrim terhadap Islam.
I.
Hasil Kajian Schimmel
Annemarie Schimmel melalui karyanya “Deciphering the Signs of God: A
Phenomenological Approach to Islam” menjelaskan bahwa terdapat
hal-hal yang bersifat suci dan sakral dalam agama Islam. Dalam pandangan
Schimmel, aspek-aspek yang suci tersebut terdapat pada alam dan budaya, ruang
dan waktu, perbuatan, firman Tuhan dan kitab, individu dan masyarakat, serta
Tuhan dan ciptaan-Nya. Menurut William C. Chittick, karya Schimmel memberikan
pencerahan pemahaman Islam sepanjang masa. Lebih penting lagi, pemilihan
pendekatan fenomenologisnya sebagai kerangka berpikir, memungkinkan apresiasi
oleh tradisi keagamaan yang lain.
Dalam karyanya, Schimmel berusaha mengungkap apa sebenarnya yang
terdapat di balik kepercayaan yang menyebar di kalangan kaum muslim bahwa
setiap benda, tempat, waktu, atau tindakan mengandung hikmah tertentu serta
dapat dijadikan fondasi dalam melakukan pendekatan terhadap Islam. Ia menyimpulkan
dengan teliti setiap respon terhadap misteri ilahi berdasarkan sumber orisinil,
baik literature klasik maupun modern, dan pengalaman pribadi yang bisa
dipertimbangkan kebenarannya. Karya Schimmel ini bukan hanya menarik sebagai
penelitian praktik-praktik keislaman dan keyakinan Islam, tetapi juga merupakan
pandangan fenomenologis Islam yang integral. Sebuah upaya untuk memahami dan
mencapai keagungan Tuhan yang tidak gampang untuk melakukannya.
Menurut Schimmel, mungkin Rumi bisa menjawab pertanyaan manusia
tentang bagaimana mencapai Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Kuasa, Dzat yang
Awal dan Akhir, Dzat yang menunjukkan kekuasaannya melalui tanda-tanda tapi
tidak pernah bisa dipahami. Dan sebagai penutup bukunya, Schimmel mengutip
pernyataan rumi:[40]
Akal adalah sesuatu yang selalu, baik siang maupun malam, merasa
gelisah dan tidak kenal damai, berpikir dan berkhawatir dan berusaha untuk
memahami tuhan, meskipun tuhan itu tidak dapat dipahami dan berada di luar
pemahaman kita. Akal itu seperti seekor ngengat, dan sang kekasih adalah
lilinnya. Setiap kali ngengat itu mendekatkan dirinya pada lilin, ia terbakar
dan hancur, namun ngengat yang sejati adalah hewan yang tidak dapat hidup tanpa
cahaya lilin. Sebagaimana ia dapat menderita sakit akibat pengorbanan dan
pembakaran dirinya. Jika ada hewan lain seperti ngengat dan dapat hidup tanpa
cahaya lilin dan tidak akan melemparkan dirinya kepada cahaya itu, ia bukanlah
ngengat yang sejati, dan jika ngengat itu melemparkan dirinya kepada cahaya
lilin, dan lilin tidak membakarnya, maka ia bukanlah lilin yang sejti.
Oleh sebab itu, manusia yang dapat hidup tanpa tuhan dan tidak
melakukan usaha apapun bukanlah manusia sejati, tetapi jika orang dapat
memahami tuhan, maka itu pastilah bukan tuhan. Itulah manusia yang sejati,
orang yang tidak pernah berhenti berusaha dan yang berkelana tanpa henti dan
tanpa akhir diseputar cahaya keindahan dan keagungan tuhan. Dan tuhan adalah
dia yang mengorbankan si pencari dan membinasakannya, dan tidak ada akal yang
dapat memahaminya.[41]
Reason is that which always, day and night, is
restless and without peace, thinking and worrying and trying to comprehend God
eventhough God is incomprehensible and beyond our understanding. Reason is like
a moth, and the Beloved is like the candle. Whenever the moth casts itself into
the candle, it burns and is destroyed – yet the true moth is such that it could
not do without the light of the candle, as much as it may suffer from the pain
of immolation and burning. If there were any animal like the moth that could do
without the light of the candle and would not cast itself into this light, it
would not be a real moth, and if the moth should cast itself into the candle’s
light and the candle did not burn it, that would not be a true candle.
Therefore
the human being who can live without God and does not undertake any effort is
not a real human being; but if one could comprehend God, then that would not be
God. That is the true human being: the one who never rests from striving and
who wanders without rest and without end around the light of God’s beauty and
majesty. And God is the One who immolates the seeker and annihilates him, and
no reason can comprehend Him.[42]
Model Cincin Konsentris Annemarie Schimmel
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Merefleksi
karya yang memberikan begitu banyak gambaran, pemahaman, kontribusi pemikiran
dan pendidikan, tidak hanya bagi pemerhati studi agama melainkan bagi kalangan
awam maupun praktisi pendidikan keislaman, karena memang karya ini diulas dan
dikupas cukup luas dan mendalam, mencakup aspek-aspek esensial ajaran Islam
yang bagi sebagian pemeluknya masih terasa asing karena minimnya pemahaman
terhadap konsep mendasar ajarannya.
Dechipering The Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam ini tampil sebagai karya yang berusaha untuk memahami Islam.
Dalam kaitannya dengan pemahaman yang tidak seimbang, yang banyak dilakukan
oleh para orientalis, Schimmel dengan penuh empati berusaha memahamkan dunia
Barat tentang Islam yang ramah (Rahmatan li al-amin) dan penuh dengan
cinta. Islam dipahami melalui kajian pustaka (library research) secara
kualitatif dengan metode fenomenologi yang menitik tekankan pada aspek sosio
historis. Melalui metode ini, Schimmel berusaha memahami arti sebuah peristiwa
terkait erat dengan orang biasa dalam situasi tertentu. Titik berat pada aspek
sosio historis ini terletak pada pendekatan kesejarahan dengan mengaitkan mistik
dan perilaku sufistik.
Dalam
realitas penelitiannya, ia menggunakan studi literatur tanpa ada keterlibatan
langsung dia sebagai author dalam jalannya sejarah agama, sebab Islam dan
fenomena yang ada sebagai gejala keagamaan,[43] sebagaimana yang Schimmel sendiri soroti, yakni hal abstrak (‘ālam
al-ghaib), Tuhan dan ciptaan-Nya: eskatologi serta kesucian individu: sufi,
memberikan kejelasan masih adanya tirai pemisah antara realitas dengannya.
Dengan kata lain Schimmel hanya mendapatkan data sekunder dari
fenomena-fenomena yang ada dalam Islam, dari segi kesignifikansian suatu data
memang perlu dipertanyakan. Meski demikian, usaha dan perannya menggunakan
pendekatan Fenomenologis ini banyak membantu meredam sorotan dunia Barat
terhadap asumsi-asumsi yang tidak selalu benar dalam Islam.
B.
Saran
Kajian
buku ini memiliki banyak warna dalam sisi spiritual meski penulisnya sendiri
bukanlah subyek dari ajaran agama itu sendiri, akan tetapi secara pribadi kami
berharap kita selalu memiliki pandangan positif terhadap kekayaan intelektual
dengan melihat sebuah realitas dan tanpa mengenyampingkan pentingnya sebuah keterlibatan
langsung, penyatuan realitas pribadi dengan fenomena yang diteliti dan
dipahami, nilai obyektifitas, orisinalitas dan otoritas sebuah ajaran agama,
dalam hal ini agama Islam masih dipertahankan secara matang melalui pengetahuan
Schimmel yang komprehensif dan terintegral terhadap Islam. Meski tidak dapat
dipungkiri kajian fenomenologi seperti ini seharusnya melibatkan peneliti (author)nya
dalam proses menemukan esensi yang tertinggi dari semua tanda-tanda Tuhan di
bumi ini. Namun yang tidak kalah penting harus menjadi catatan kita bersama,
bahwa fenomena keberagamaan itu seharusnya menjadi harta yang tak ternilai bagi
kita ummat Islam, dan bisa menjadi referensi atau rujukan utama dalam
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta kajian-kajian atasnya
harus menjadi wawasan dan acuan berkarya bagi penganutnya.
Dalam
makalah singkat ini penulis berharap bahwa agama hendaknya ditempatkan sebagai
sumber wawasan, sumber perilaku dan sumber penelitian yang tiada habisnya untuk
dicari mutiara-mutiara yang tersembunyi di balik realitas pesan konkritnya.
Oleh karena sebagian besar kita tertinggal jauh mengkaji fenomena agama sendiri
dan membiarkan hazanah itu lenyap dan dikuasai oleh tangan orientalis yang
tidak selalu ingin membangun melainkan sebaliknya ingin menghancurkan bahkan
menumbuhkan keraguan yang lebih besar terhadap agama. Pendekatan fenomenologis
hendaknya menjadi salah satu pilihan alat yang representatif bagi pemahaman
agama yang lebih komprehensif, dan literatur “Dechipering The Sign of God”a
Phenomenological Approach to Islam” harus jadi salah satu literatur penting
dalam melihat setiap fenomena keagamaan yang dikaji dalam perspektif yang lebih
mendalam.Selamat berkarya..
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdullah, M.
Amin. “Studi Agama Normatifitas Atau Historisitas?”,Pustaka Pelajar
Offset, 1996.
Erricker, Clive. Pendekatan Fenomenologis Dalam
Peter Connolly (Eds), Aneka Pendekatan Studi Agama Terj.
Imam Khoiri (Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 110.
Grunebaum, G.E.
Von, Muhammedan Festivals, 1958.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Tradisi Baru Penelitian Agama,
(Bandung: Nuansa, 2001), hlm.220.
Minhaji, Akh. Strategies For Social Rresearch: The
Methodological Imagination In Islamic Studies, Yogyakarta: Suka
Press, 2009.
Naim, Ngainun. Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Oxford:
Dictionary Theasaurus & Wordpower Guide, New York: Oxford
University Press, 2001.
Rahim, Abd.”Sejarah Perkembangan Orientalisme,”Jurnal Hunafa,
7 Desember, 2010.
Schimel, Annemarie. Deciphering The Signs Of God: A
Phenomenological Approach To Islam , Terj. Rahmani Astuti, Rahasia Wajah
Suci Ilahi, Bandung: Mizan, 1996.
Semantics:
Study Of The Meaning Of Words. Oxford Learner’s Pocket
Dictionary, New Edition, 1995.
Siddiqi,
Muzammil H. Islamic Worlview: An Invitation To Proper Thought And Action.
Website:
Wikipedia: The
Free Encyclopedia
Http://Filsufgaul.Wordpress.Com.
Diakses tanggal 20 Desember 2015.
Http://Www.Worldwisdom.Com/Public/Authors/Annemarie-Schimmel.Aspx Diakses Pada 20 Desember 2015
[1] Abd. Rahim,”Sejarah
Perkembangan Orientalisme,”Jurnal Hunafa, 7 (Desember, 2010), hlm.180
[3] Http://Www.Worldwisdom.Com/Public/Authors/Annemarie-Schimmel.Aspx
Diakses Pada 20 Desember 2015
[4] Semantics: Study Of
The Meaning Of Words. (Oxford Learner’s Pocket Dictionary, New Edition, 1995:374)
[5] Semantics: Study Of, hlm, 374.
[6] Muzammil H.
Siddiqi, Islamic Worlview: An Invitation To Proper Thought And Action,
[7] Dr. M. Amin
Abdullah, “Studi Agama Normatifitas Atau Historisitas?”,(Pustaka Pelajar
Offset, 1996), hlm.27
[8] Oxford: Dictionary
Theasaurus & Wordpower Guide, (New York: Oxford University Press, 2001),
hlm. 963.
[9] Annemarie
Schimel, Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam ,
Terj. Rahmani Astuti, Rahasia Wajah Suci Ilahi, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.10-11
[10] Annemarie
Schimel, Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam ,
Terj. Rahmani Astuti, Rahasia Wajah Suci Ilahi, (Bandung: Mizan, 1996)
[13] Akh. Minhaji, Strategies
For Social Rresearch: The Methodological Imagination In Islamic
Studies, (Yogyakarta: Suka Press, 2009), hlm. 29.
[14] Clive
Erricker, Pendekatan
Fenomenologis Dalam Peter Connolly (Eds), Aneka
Pendekatan Studi Agama Terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: Lkis, 2009),
hlm. 110.
[15] Clive
Erricker, Pendekatan,
hlm. 111.
[16] Annemarie
Schimel, Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam ,
Terj. Rahmani Astuti, Rahasia Wajah Suci Ilahi, (Bandung: Mizan, 1996)
[17] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.38
[18] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.34
[19] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.54
[20] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.72
[21] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.93
[22] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.119
[23] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.133
[24] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.141
[25] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.146
[26] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.163
[27] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.167
[28] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.177
[29] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.184
[30] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.208
[31] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.229
[32] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.259
[33] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.292
[34] G.E. Von Grunebaum
(1958), Muhammedan Festivals,
hlm. 5.
[35] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.311
[36] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.345
[37] Annemarie
Schimel, Deciphering . hlm.27.
[38] Wikipedia: The Free
Encyclopedia
[39] Annemarie
Schimel, Deciphering The Signs Of God: A Phenomenological Approach To Islam ,
Terj. Rahmani Astuti, Rahasia Wajah Suci Ilahi, (Bandung: Mizan, 1996),
[40] Annemarie
Schimel, Rahasia , hlm. 364.
[41] Annemarie
Schimel, Rahasia , hlm. 365.
[43] Http://Filsufgaul.Wordpress.Com.
Diakses tanggal 20 Desember 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar