Sabtu, 02 April 2016

Hukum islam antara individu dan masyarakat

HUKUM ISLAM ANTARA INDIVIDU DAN MASYARAKAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum islam sebagai kristalisasi dari penalaran mujtahid atas teks hukum atau preskripsi syari’ selalu dengan muatan ruang dan waktu yang melingkupinya. Hukum isam bukan lahir dari yang hampa, di ruang hampa, melainkan terahir di tengah dinamika pergulatan kehidupan masyarakat sebagai jawaban solusi atas problematika aktual yang muncul. Problematika masyarakat selalu berkembang dan berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri. Transformasi hukum islam, memungkinkan dan mentolerir terjadinya keragaman produk hukum yang sah. Namun demikian arus transformasi tersebut dikendalikan secara ketat oleh al-qur’an sebagai dalil utama dan setelah itu oleh prinsip dan tujuan hukum islam, yaitu mewujudkan kemaslahatan umum yang objektif, bukan kemaslahatan individual yang subjektif, kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan ukhrawi, bukan hanya kemaslahatan dunia atau akhirat saja. Dengan demikian meskipun terbentang peluang terjadinya keragaman produk hukum, namun transformasi tersebut akan terkendali secara efektif dan terhindar dari transformasi serta keragaman liar.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan diskripsi diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan kami bahas dalam makalah ini. Antara lain sebagai barikut :
1.      Bgaimana pengertian hukum islam, individu dan masyarakat?
2.      Bagaimana keseimbangan hidup antara individu dan masyarakat dalam islam?
3.      Bagaimana kepentingan individu dan masyarakat dalam ibadah dan muamalah?

C.    Tujuan
Ada pun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian hukum islam, individu dan masyarakat
2.      Mengetahui keseimbangan hidup antara individu dan masyarakat dalam islam
3.      Mengetahui kepentingan individu dan masyarakat dalam ibadah dan muamalah














BAB II
HUKUM ISLAM ANTARA INDIVIDU DAN MASYARAKAT : KAJIAN ONTOLOGI
A.    Pengertian Hukum Islam
Syariat menurut arti bahasa adalah tempat lalu air sungai, atau jalan yang harus dilalui, menurut istilah, syariat adalah segala aturan Allah yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia, selain dari aturan mengenai akhlak.[1] Ini berarti bahwa syariat hanya berkaitan dengan hukum-hukum amaliah. Syariat lebih khusus dibandingkan dengan agama. Agama pada dasarnya satu dan berlaku secara universal, sedangkan syariat berlaku untuk masing-masing umat, karena itu agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul adalah sama, sedangkan syariatnya berbeda. Syariat adalah ketentuan yang ditetapkan Allah dan dijelaskan oleh rasulnya tentang tindak-tanduk manusia di dunia untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat.
Disamping itu, dalam kajian hukum islam, dikenal pula istilah hukum islam, istilah hukum islam pada hakikatnya bersumber dari literatur barat. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari istilah islamic law, yang mencakup istilah syariat dan fiqh. Pengertian ini membawa pada kekaburan perbedaan hakiki antara syariat dan fiqh. Istilah itu kemudian populer di kalangan islam, yang kemudian difahami sebagai seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama islam.[2] Dengan kata lain hukum islam adalah seperangkat norma illahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan makhuk lainnya di alam hidupnya.[3]
Intisari hukum islam, ialah memelihara manusia, memberi perhatian yang penuh kepada manusia dan kemuliaannya. Serta menjauhkan segala yang menyebabkan terganggu kemuliaan manusia, tanpa membedakan warna, tanpa membedakan agama, tanpa perbedaan antara yang jahil dengan yang alim, antara kaum yang tidak berpendidikan tinggi dengan kaum yang intelektual. Oleh karena ini yang menjadi asas hukum islam, maka islam tidak mendasarkan perintah kepada pemaksaan, tidak menghilangkan kemerdekaan manusia dan membatasi gerak diriny.[4]
B.     Konsep Manusia
Sebagai mahkluk biologis, manusia dapat dililhat dari perkataan Maryam kepada Allah: “Tuhanku, bagaimana mungkinaku mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh basyar” (Ali Imran [31]:47). Dan pertanyaan Maryampun terjawab, Nabi Muhammad SAW diutus Allah menegaskan bahwa secara biologis ia sepeti manusia lain. Allah berfirman, “Katakanlah, Aku (Muhammad saw) ini manusia biasa (basyar) seperti kamu,hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang satu”. (Q.S. al-Kahfi [18]:110 dan Fushshilat [41]:6). Manusia diciptakan Allah Swt. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah. Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Manusia yang sekarang ini, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara permatozoa dengan ovum.
Para penganut teori behaviorisme menyabut manusia sebagai Homo Mehanicus (manusia mesin). Menurut teori ini segala tingkah laku manusia terbantuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap lingkungan. Para penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia berfikir). Menurut teori ini manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang beraksi secara pasif pada lingkungan,tetapi sebagai makhluk yang selalu berfikir. para penganut teori humanisme menyebut manusis ssebagai homo ludens (manusia bermain). Menurut humanisme manusia berperilaku untuk mempertahankan, meningkatkan dan mengatualisasikan diri. Konsep manusia dalam Al-Qur’an dipahami dengan memperhatikan kata-kata yang saling menunjuk pada makna manusia pada basyar,insan, dan al-anas. Seperti yang telah dipaparkan sedikit diawal tadi. Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being) yang statis seperti hewan.
Kata insan disebut dalam Al –Qur’an sebanyak 65 kali, Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang berfikir,diberi ilmu,dan memikul amanah (Al-Ahzab : 72). Insan adalah manusia yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju kearah kesempurnaan.
Kata al-anas disebut sebanyak 240 kali, Konsep al-anas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau kolektif.
Dengan demikian Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, sosial. Manusia sebagai basyar tunduk kepada Allah,sama dengan makhluk lain. Manusia sebagai insan dan al-anas bertalian dengan hembusan roh Allah yang memiliki kebebasan dengan memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah.
C.    Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk Ibadah, semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh keridhoan Allah SWT, dan mendapatkan pahala darinya di akhirat.[5] Ketundukan manusia pada Allah dalam menjalankan kehidupan dimuka bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertical (manusia dengan Tuhan) maupun horizontal (manusia dengan manusia dan alam semesta). Dalam hukum Allah tentunya memuat berbagai macam peraturan yang mengatur kehidupan manusia dengan tujuan terciptanyan kehidupan yang adil, dami dan tentram. Allah berfirman: Q.S. Al-Dzaariyaat : 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya :
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Ayat diatas sebagai bukti tentang keberadaan manusia di dunia yaitu untuk menyembah, mengapdi kepada Allah SWT. Bentuk pengapdian tersebut berupa pengkuan atas keberadaan Allah SWT dengan menjalankan perintah Allah dan menjahui larangannya. Sebagai bentuk mengakui keberadaan Allah dengan mengikuti rukun iman dan rukun islam. Selain itu dalam melakukan penyembahan kepada Allah harus dilakukan dengan hati yang iklas, karena Allah tidak membutuhkan sedikitpun sesuatu dari manusia. keberadaan manusia didunia merupakan tanda kebesaran, kekuasaan Allah kepada hamba-hambanya.Allah dialah Tuhan yang menciptakan, menghidupkan dan menjaga kehidupan manusia. Dengan demikian manusia diciptakan untuk mengimani Allah SWT. Selain itu penyembahan yang sempurna dari seseorang akan menjadikan dirinya sebagai khalifah Allah yang mengelola kehidupan di alam semesta. Keseimbangan alam dapat terjaga dengan tegaknya hukum-hukum yang Allah tegakkan.
1.      Fungsi Dan Peran Manusia.
Pada Al-Qur’an QS 2 (al-Baqarah) : 30, Allah SWT berfirman yang artinya:
“Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya aku hendak menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi”, mereka berkata: mengapa engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?”. Allah berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Dari ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa fungsi dan peranan manusia sebagai khalifah atau pemimpin dimuka bumi ini. Sehingga peran yang dilakukan sesuai ketetapan Allah, di antaranya yaitu:
a.       Belajar (surat an-Naml : 15-16 dan al-Mukmin : 54)
b.      Mengajarkan ilmu (al-Baqarah : 31-39)
c.       Membudidayakan Ilmu (al-Mu’min : 35)
D.    Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah
Makna yang esensial dari kata ‘abd (hamba) adalah ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan.[6]  Ketaatan dan ketundukan dan ketaatan seorang manusia sebagai hamba hanta ditujukan, diberikan kepada Allah. Kepatuhan kepada Allah ditunjukkan dengan selalu mematuhi perintahNya dan menjahui laranganNya. Ibadah ditinjau dari bentuk dan sifatnya ada lima macam, yaitu:
1.      Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan : dzikir, doa, tahmid, dan membaca al-qur’an
2.      Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya : membantu atau menolong orang lain, jihad, mengurus jenazah.
3.      Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya : sholat, puasa, zakat, haji.
4.      Ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri : puasa, i’tikaf, ihrom.
5.      Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak : memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berhutang kepadanya.[7]
Selain itu juga terdapat muamalah, yaitu segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.[8] Allah  mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergauan sosial. Sebagai hamba Allah tanggung jawab manusia sangat luas meliputi semua kewajibannya, yang dalam ajaranNya menurut sunah rasul, memerintahkan hamba-Nya untuk berlaku adil dan ihsan. Dengan demikian seorang hamba bertanggung jawab dalam menegakkan keadilan untuk diri sendiri maupun keluarga.
E.     Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah Allah
Al-Qur;an telah menjelaskan bahwa manusia diciptakan didunia ini adalah sebagai khalifah atau wakil-Nya dalam pengertian ia memperoleh mandat dari Allah untuk mewujudkan kemakmuran dimuka Bumi. Dengan ini manusia berkewajipan menegakkan kebenaran, kebaikan, mewujudkan kedamaian, menghapuskan kemungkaran serta penyelewengan dan penyimpangan dari jalan Allah. (Al-Baqarah:30), Artinya :
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku jadikan di bumi seorang Khalifah. Berkata Malaikat: Adakah Engkau hendak jadikan di muka bumi ini orang yang melakukan kerusakan dan menumpahkan darah, sedangkan kami sentiasa bertasbih dan bertaqdis dengan memuji Engkau? Jawab Allah: Aku lebih mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.”
Di kalangan makhluk ciptaan Allah, manusia telah dipilih oleh Allah melaksanakan tanggungjawab tersebut. Ini sudah tentu kerana manusia merupakan makhluk yang paling istimewa. (Al-Ahzab: 72) Artinya:
Sesungguhnya Kami telah kemukakan tanggungjawab amanah (Kami) kepada langit dan bumi serta gunung-ganang (untuk memikulnya), maka mereka enggan memikulnya dan bimbang tidak dapat menyempurnakannya (kerana tidak ada pada mereka persediaan untuk memikulnya); dan (pada ketika itu) manusia (dengan persediaan yang ada padanya) sanggup memikulnya. (Ingatlah) sesungguhnya tabiat kebanyakan manusia adalah suka melakukan kezaliman dan suka pula membuat perkara-perkara yang tidak patut dikerjakan.”
F.     Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Masyarakat merupakan kesatuan sosial yang mempunyai ikatan-ikatan kasih sayang yang erat. Kesatuan sosial mempunyai kehidupan jiwa seperti adanya ungkapan jiwa rakyat, kehendak rakyat, kesadaran masyarakat, dsb.[9] Hakikat manusia sebagai makhluk sosial telah dicantumkan dalam al-qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِن اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌّ

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[10]

Hakikat manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi dengan manusia lain

tercantum dalam alqur’an surat Ar-Rum ayat 22 sebagai berikut:

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
(الروم : 22)
Artinya:“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yangi mengetahui.”[11]
Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa), dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi untuk saling mengenal dan menolong.
Terdapat beberapa unsur hakikat manusia yang terdiri  dari hal-hal berikut.
1.      Susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga.
2.      Sifat kodrat terdiri atas makhluk individu dan sosial.
3.      Kedudukan kodrat terdiri atas makhluk berdiri sendiri dan makhluk Tuhan.
Berdasarkan pembedaan demikian maka manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial adalah hakikat manusia berdasarkan sifat-sifat kodrat yang melekat pada dirinya. Berdasarkan unsur hakikat tersebut, Notonagoro (1975) mengatakan bahwa setiap individu dan makhluk sosial merupakan sifat kodrat manusia. Manusia sebagai makhluk individu tidak mampu hidup sendiri. Hal ini disebabkan  manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya tidak dapat dipenuhi sendiri. Mereka bergabung membentuk kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup tersebut. Dalam hal ini, manusia sebagai individu memasuki kehidupan bersama dengan individu lain.

Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat Yunani kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya manusia sebagai makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dengaan masyarakat. Karena sifatnya yang ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia dalam masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang diinginkan dengan mudah tanpa bantuan orang lain.
Adapun yang menyebaabkan manusia selalu hidup bermasyarakat adalah adanya dorongan kesatuan biologis yang terdapat dalam naluri manusia, misalnya.
1.      Hasrat untuk memenuhi keperluan makan dan minum.
2.      Hasrat untuk membela diri.
3.      Hasrat untuk mengadakan keturunan.
Adapun insting yang sudah ada pada diri manusia sejak dia dilahirkan. Kebutuhan akan makanan dan minuman merupakan kebutuhan primer bagi segala makhluk hidup termasuk hewan dan manusia. Dalam usaha mendapatkan kebutuhan tersebut, manusia membutuhkan orang lain. Hidup sendiri akan menimbulkan kesulitan,  segala hal akan lebih mudah jika dikerjakan bersama-sama. Manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia yang senantiasa hidup dengan manusia lain. Dia tidak dapat merealisasikan potensi hanya dengan dirinya sendiri. Manusia akan membutuhkan manusia lain untuk hal tersebut, termasuk dalam mencukupi kebutuhannya.






BAB III
HUKUM ISLAM ANTARA INDIVIDU DAN MASYARAKAT : KAJIAN EPISTIMOLOGI
A.    Islam Tentang Keseimbangan Hidup
Islam memberikan tuntutan kepada umatnya untuk meraih kehidupan yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Ajaran islam yang tertuang dalam Al-Qur’an maupun hadits pada hakikatnya berisi tuntutan yang membimbing manusia ke jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah SWT. Untuk mencapai kebahagiaan itu manusia dituntut untuk mematuhi segala aturan yang telah ditentukan oleh Allah, baik yang berbentuk perintah maupun larangan.[12]
Kehidupan manusia di dunia ini pada hakikatnya merupakan jembatan untuk menuju ke alam yang kekal (akhirat). Sepanjang hidup manusia di dunia, manusia dituntut untuk berusaha dan bekerja menurut pekerjaan dan profesi masing-masing, sehingga mendapatkan kehidupan yang baik, sejahtera, makmur dan bahagia. Untuk itu, manusia diberikan potensi dan fasilitas hidup, baik yang berbentuk fisik maupun akal fikiran. Kehidupan yang baik harus mempunyai terminal akhir, yaitu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat. Berarti manusia harus memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya untuk meraih keseimbangan hidup yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah telah memberikan tuntunannya dalam QS. Al-Qashash:77
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù š9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( Ÿwur š[Ys? y7t7ŠÅÁtR šÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJŸ2 z`|¡ômr& ª!$# šøs9Î) ( Ÿwur Æ÷ö7s? yŠ$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinya :
”Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dari ayat diatas, terdapat tiga hal pokok yang terkandung di dalamnya. Pertama : perintah kepada setiap manusia agar mencari kebahagiaan akhirat dengan menggunakan berbagai fasilitas dan sarana kehidupan yang diperoleh di dunia, tanpa melupakan bagian yang harus dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia. Manusia diperintahkn untuk menggunakan waktu selama satu kali 24 jam untuk melakukan berbagai kegiatan dan usaha semaksimal mungkin dan menurut kemampuan masing-masing, namun manusia tidak boleh luput bahwa diantara waktu-waktu tersebut terdapat waktu tertentu yang harus digunakan untuk bekal di akhirat nanti, dengan melakukan sholat fardhu yang jumahnya hanya lima kali dalam sehari. Allah menyiapkan waktu siang dan malam untuk menusia, agar manusia dapat menggunakanny untuk dunia dan akhirat.
Islam tidak melarang umatnya menjadi kaya dan mencari nafkah sebanyak mungkin yang sesuai dengan tuntutan ajaran agama, tetapi jangan lupa bahwa didalamnya terdapat bagian orang lain yang harus dikeluarkan kepada yang berhak. Semua itu merupakan kewajiban yang telah digariskan Allah SWT. Oleh sebab itu mereka yang mempunyai harta yang cukup berkewajiban untuk mengeluarkan zakat. Zakat merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan untuk menyeimbangkan antara apa yang dianugerahkan Allah dengan harta dan kekayaan itu, dan ketaatan kepada allah yang sekaligus menjadi bekal di akhirat. Jika manusia diberi kekayaan lalu enggan mengeluarkan zakatnya, maka itu berarti ia tidak melakukan hal-hal yang dapat menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhiratnya.
Kedua : dalam ayat itu juga, Allah memerintahkan manusia untuk melalukan kebajikan terhadap sesama. Seperti manusia, hewan, tumbuhan, ataupun terhadap alam sekitar, alam dan segala isinya diciptakan allah untuk kemaslahatan hidup dan kebahagiaan manusia di dunia. Segalanya dapat digunakan oleh manusia sesuai kebutuhan dan ketentuannya.[13]
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi dengan tujuan, agar mereka dapat mengatur bumi ini, memanfaatkan segala isinya demi kebahagiaan mereka. Sebaliknya manusia harus ingat bahwa mereka dilarang untuk melakukan hal-hal yang merusak alam dan isinya tanpa tujuan yang benar. Hewan, tumbuhan dan mahuk lainnya diciptakan untuk manusia. Hewan dalam jenis tertentu telah ditentukan Allah untuk dikonsumsi oleh manusia, sedangkan sebagian jenis lain dilarang untuk dikonsumsi. Kepatuhan terhadap ketentuan itu merupakan salah satu upaya manusia untuk menyeimbangkan kehidupan manusia, demi mencapai kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat.
Ketiga : dalam bagian akhir ayat tersebut Allah menyatakan ketidak senangannya terhadap orang-orang yang melakukan kerusakan di bumi, yang tidak memanfaatkan alam dan isinya sesuai dengan ketentuan yang telah digariskannya. Termasuk orang yang tidak melakukan usaha-usaha yang dapat menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.[14] Dalam menikmati rezeki dan kenikmatan yang diberikan Allah, mereka tidak boleh lupa terhadap Allah, dengan jalan melakukan ibadah kepadanya. Perlu disadari bahwa untuk dapat meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kita harus berusaha dengan beriman kepada Allah dan melakukan amal-amal saleh. Iman saja tanpa amal saleh tidak cukup, amal saleh yang tidka dilandasi iman juga tidaklah cukup, manusia yang beruntung adalah manusia yang beriman dan melakukan amal-amal saleh sesuai firman allah QS. Al-Ash
 ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
Artinya :
”Demi masa,Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
B.     Kepentingan Individu Dan Kepentingan Masyarakat
Dalam ilmu-ilmu sosial konsep mengenai individu dan masyarakat dikenal sangat luas. Sebagai konsep tentu lahir berdasarkan kenyataan yang sebenarnya. Dan juga dalam keseharian kita dapat dengan muda membedakan manusia sebagai idnividu dan manusia sebagai masyarakat. Bahwa dalam kehidupan sejarah manusia, dapat dikatakan bahwa kehiduapan itu terdiri atas kehidupan individual dan kehidupan masyarakat. Sehingga banyak dari ilmuan kemudian membuat klasifikasi mengenai Kepentingan Individu dan Kepentingan Masyarakat.
Roscoe Pound (1870-1964) misalnya, memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” (“Bahwa Hukum adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat”). Untuk dapat memenuhi peranannya Roscoe Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
a.       Kepentingan Umum (Public Interest)
1.      Kepentingan negara sebagai Badan Hukum
2.      Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
b.      Kepentingan Masyarakat (Social Interest)
1.      Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban
2.      Perlindungan lembaga-lembaga sosial
3.      Pencegahan kemerosotan akhlak
4.      Pencegahan pelanggaran hak
5.      Kesejahteraan sosial.
c.       Kepentingan Pribadi (Private Interest)
1.      Kepentingan individu
2.      Kepentingan keluarga
3.      Kepentingan hak milik.
Adam smith mengatakan bahwa masyarakat adalah sistem mekanis yang terus menjaga keseimbangannya. Nafsu-nafsu  egoitis adalah nafsu yang paling langgeng dalam diri manusia.[15] Argumen ini tidak naif, beliau mengatakan bahwa kehidupan sosial itu mungkin terjadi diantara para individu yang mengejar kepentingan dirinya itu karena adanya sentimen moral, yakni rasa simpati yang menyebabkan individu bisa membayangkan dirinya berada pada posisi orang lain, akan tetapi manusia tidak bisa terus tergantung pada simpati orang lain untuk hidupnya sendiri, maka ia harus mengejar kepentingannya sendiri. Dengan kebebasan yang cukup untuk mengejar kepentingan diri, pencapaian tujuan peribadi itu akan memberi sumbangan bagi kesejahteraan umum.
Dalam karya budi hardiman juga dikatakan bahwa Bernard de mandevile menulis buku terkenal fable off bees. Di dalam buku itu beliau melukis keadaan sebuah kolonial lebah. Di dalam masyarakat lebah itu menurutnya sumbangan-sumbangan seekor lebah individual bermanfaat bagi keseluruhan kolonial lebah itu. Dari data alamiah itu beliau lalu menarik sebuah ajaran bahwa dalam masyarakat manusia juga demikian, individu-individu yang  mengejar kepentingan dirinya sekalipun akan menghasilkan manfaat bagi masyarakat sebagai keseluruhan. Madndeville lalu berpendapat bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang cenderung mengejar kepentingannya sendiri. Bertindak secara moral sebenarnya bukan bertindak demi kesejahteraan orang lain, melainkan demi menunjukkan atau sekurang-kurangnya menambah keyakinan akan keunggulan si pelaku sendiri.[16]
Pada akhirnya, menurut hemat penulis, bahwa kepentingan individu dan kepentingan masyarakat adalah dua variabel penting yang harus mendapat perhatian dalam hukum, mengingat kedua variabel itu ada dalam eksistensi kehidupan kita sebagai manusia. Dan agar tidak terjadi benturan antara dua jenis kepentingan tersebut, maka jalur hukum bisa menjadi alat untuk mengatur beragam kepentiingan yang ada dan berkembang dalam keseharian kehiduapan kita sebagai manusia.
Tanpa ada suatu mekanisme yang menertibkan lalulintas kepentingan manusia ini, maka mungkin saja akan selalu terjadi kegoncangan sosial yang bisa mengarah pada kerusuhan sosial terus-menerus, sebab kepentingan salah satu elemen penting dari manusia itu selalu ada dalam dirinya. Oleh karena itu, hukum dalam konteks ini menjadi penting artinya bagi kehidupan manusia (baik dia sebagai individual maupun dia sebagai masyarakat) dalam rangka menjaga kepentingan-kepentingan yang selalu ada tersebut.
C.    Mengutamakan Kepentingn Individu Dalam Bidang Ibadah
Shalat yang kita lakukan, bukanlah hanya merupakan gerak olah raga yang kita lakukan 5 kali sehari semalam. Tapi maksud shalat yang lebih esensial adalah untuk memperbarui kepercayaan dan keimanan kepada Allah dan menghidupkan prinsip-prinsip Islam yaitu bersifat amanah berlaku benar, menepati janji dan mengutamakan orang lain. Esensi puasa bukan hanya menahan diri dari haus dan lapar, tetapi lebih dari itu puasa menunjukkan kemuliaan perangai, mendidik jiwa, membiasakan manusia mengalahkan hawa nafsu dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungannya, supaya sanggup mengatasi dorongan hati kepada perbuatan salah, dan melatih kesabaran.[17] Begitu pula ibadah-ibadah dalam Islam lainnya mempunyai hikmah dan makna tersendiri dan mempunyai pengaruh terhadap rohani yang nantinya akan mempengaruhi fisiknya juga.
Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa manfaat ibadah kembalinya ke individu muslim itu sendiri bukan kepada orang lain. Maka dari itu, perintah ibadah ditujukan kepada masing-masing individu manusia bukan kolektif. Adapun ibadah yang dilakukan secara kolektif tidak diperintahkan sebagai hal yang wajib melainkan sunnah dan mempunyai nilai plus dalam ibadah itu sendiri. Maka dapat dikatakan disini bahwa ibadah adalah tanggung jawab setiap individu manusia.
salah satu kaidah fiqh menyatakan bahwa:
الْإِثَارُ فِى الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ.
“Mengutamakan orang lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya disenangi”.
Maksud kaidah ini adalah makruh jika mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah. Akan tetapi, tidak jadi masalah jika mendahulukan orang lain dalam hal duniawi atau masalah sosial di masyarakat. Contohnya, makruh mengutamakan orang untuk shalat di shaf pertama, sementara kita mengalah di shaf kedua. Jelas hukumnya makruh, walaupun dengan pimpinan atau orang tua. Akan tetapi, jika kita mendahulukan seseorang misalnya dalam suatu antrian terlebih dengan yang sudah tua sekali, maka hal tersebut tidak jadi masalah. Karena melimpahkan ibadah kepada orang lain merupakan tindakan yang kurang adab/kurang sopan kepada Allah.
Selanjutnya kembali kepada makna ibadah itu sendiri, yang masuk dalam bidang irasional yang tidak dibuka pintu ijtihad di dalamnya. Sehingga manusia sebagai hambaNya diharuskan tunduk (khudhu’) dalam melaksanakan perintahNya. Dan karena hakikat penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Nya, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Dzariyat 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya :
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
D.    Mengutamakan Kepentingan Sosial Dalam Bidang Mu’amalah
Segala ibadah dalam hukum Islam merupakan washilah, bukan ghayah. Karena itu Islam bukanlah agama yang melebih-lebihkan dalam masalah mengerjakan ibadah. Bahkan Rasulullah mencontohkan ketika mengerjakan ibadah manusia juga tidak boleh melupakan kebutuhan fisiknya.
Selain manusia memerlukan ibadah untuk memenuhi kebutuhan rohaninya, manusia juga memerlukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Manusia tidak dapat hidup sendiri, dia butuh hidup bermasyarakat. Hukum Islam mengakui hal tersebut, sehingga tidak hanya mengatur tentang ibadah yang merupakan hubungan vertikalnya dengan tuhan, hukum Islam juga mengatur tentang ibadah horisontal yang mengatur hubungannya antar sesama manusia. dalam hal ini Islam bahkan mengajak manusia untuk membangun lingkungan dengan sebaik-baiknya.[18]
Kembali kepada karakteristik hukum Islam yang menjadikan manusia sebagai tujuan akhirnya, banyak ayat-ayat al-qur’an dan hadist yang menunjukkan dan menerangkan kepada kita bahwa tujuan Islam dari mendirikan ibadat adalah bukan semata-mata hanya untuk ibadah kepada Tuhan saja. Tapi itu semua sebenarnya hanya jalan (washilah) saja untuk mencapai maksud Allah yang menautkan segala macam ibadah dengan kebutuhan manusia. Bahkan hukum Islam menetapkan apabila nilai-nilai perbuatan manusia tidak kembali kepada kemanfaatan dan kebaikan atau tidak berfaedah bagi masayarakat, maka tidak ada kebaikan dalam ibadah-ibadah yang sudah dilaksanakannya.[19] Misalnya, jika seseorang hanya rajin beribadah, dia selalu mengerjakan shalat-sunnah, puasa-puasa sunnah, dan ibadah-ibadah yang lainnya, tetapi tidak pernah berbuat baik dalam bidang sosial kemasyarakatan, maka sebenarnya ibadahnya tidak berarti. Dalam hal ini dapat kita pahami bahwa Allah selalu mengaitkan segala sesuatu terhadap perbuatan manusia. Karena memang tujuan hukum Islam sendiri adalah untuk menjaga manusia.
Jika dalam kaidah fiqh  الْإِيثَارُ فِى الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ mengutamakan orang lain dalam hal ibadah adalah makruh, maka dalam bidang muamalat hal ini disenangi. Sehingga, tidak jadi masalah jika mendahulukan orang lain dalam hal duniawi atau masalah sosial di masyarakat. Dari kaidah tersebut dapat kita pahami bahwa manusia, selain menjadi ’Ibadullah disatu sisi, di sisi lain ia juga merupakan khalifatullah fil ardhi, sehingga selain menjalankan kewajibannya terhadap penciptaNya dia juga harus menjalankan kewajibannya terhadap sesama manusia, yaitu menjadi mahluk sosial dalam hal mu’amalah.
Dari segi bidang hukum Islam, mu’amalah adalah ibadah rasional yang dibukakan pintu ijtihad didalamnya, dan diangkat derajat akal untuk berpikir demi kemaslahatan manusia sendiri. Sehingga dalam hal mu’amalah hendaknya manusia dapat berkreasi dan mengembangkan dirinya untuk kepentingan sosial dan kemajuan manusia.
Selalu mengutamakan kepentingan individual dalam hal ibadah dan mengutamakan kepentingan sosial dalam bidang muamalah, bukan hal yang bertentangan satu sama lainnya, melainkan dua hal yang saling melengkapi untuk mencapai suatu keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat dalam hukum Islam. Sehingga untuk mencapai kemuliaan sebagai individu dan, masyarakat yang baik dihadapan Allah, seseorang harus bisa melaksankan dua hal ini dengan baik.














BAB IV
HUKUM ISLAM ANTARA INDIVIDU DAN MASYARAKAT: KAJIAN AKSIOLOGI
A.    Peranan Manusia Sebagai Makhluk Individu Dan Sosial
            Sebagai makhluk individu, manusia memiliki harkat dan martabat yang mulia .setiap manusia dilahirkan sama dengan harkat dan martabat yang sama pula denagn manusia yang lainnya, tidak ada yang membedakan .Manusia sebagai makhluk individu berupaya merealisasikan segenap potensi dirinya karena ingin menunjukkan siapa yang terbaik ,baik itu menunjukkan potensi jasmani maupun potensi rohani.
Manusia sebagai pribadi adalah berhakikat sosial. artinya manusia akan senantiasa dan selalu berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain, manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa bantuan orang lain  dan interaksi sosial membentuk kehidupan berkelompok pada manusia. dalam dimensi individu,muncul hak-hak dasar manusia, kewajiban dasar manusia adalah menghargai hak dasar orang lain serta mentaati norma-norma yang berlaku di masyarakatnya.
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki implikasi -implikasi:
1.                  Kesadaran akan ketidak berdayaan manusia bila seorang diri
2.                  Kesadaran untuk senantiasa dan harus berinteraksi dengan orang lain.
3.                  Penghargaan akan hak-hak orang lain
4.                  Ketaatan terhadap norma-norma yang berlaku.
Sebagai makhluk individu ataupun makhluk sosial hendaknya manusia memiliki kepribadian,yang dimaksud dengan kepribadian adalah susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang di bangun oleh perasaan,pengetahuan dan dorongan.
Secara sosial sebenarnya manusia merupakan mahluk individu dan sosial yang mempunyai kesempatan yang sama dalam berbagai hidup dan kehidupan dalam masyarakat. Artinya setiap individu manusia memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dalam menguasai sesuatu, misalnya bersekolah, melakukan pekerjaan, bertanggung jawab dalam keluarga serta berbagai aktivitas ekonomi, politik dan bahkan beragama.
Namun demikian, kenyataannya setiap individu tidak dapat menguasai atau mempunyai kesempatan yang sama. AKibatnya, masing-masing individu mempunyai peran dan kedudukan yang tidak sama atau berbeda. Banyak faktor yang menyebabkan itu bisa terjadi, misalnya kondisi ekonomi (ada si miskin dan si kaya), sosial (warga biasa dengan pak RT, dll), politik (aktivis partai dengan rakyat biasa), budaya (jago tari daerah dengan tidak) bahkan individu atau sekelompok manusia itu sendiri. Dengan kata lain, stratifikasi sosial mulai muncul dan tampak dalam kehidupan masyarakat tersebut.[20]
B.     Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Ruang lingkup hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al Qur’an cukup banyak ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hokum yang terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hokum Islam dalam kehidupan bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
1.      Fungsi Ibadah:
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
2.      Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukum Islam sebagai hokum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum  (Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap. Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hokum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hokum tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hokum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
3.      Fungsi Zawajir
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hokum atau sanksi hokum.Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hokum mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hokum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
4.      Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera.Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hukum yang berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang pada umumnya hokum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah. Ke empat fungsi hokum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait.
C.    Kebaikan Bersama
Menyangkut kebaikan bersama, sebagaimana dengan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa jika ada kebaikan bersama maka juga pasti ada kebaikan personal, menginngat masyarakat itu tidak hanya terdiri dari kumpulan individu (bersama) tetapi juga individu-individu yang bersifat personal. Jika dikaji lebih lanjut, kebaikan bersama dapat dimaknai sebagai ‘harapan nilai baik yang dikenedaki oleh mayoritas atau orang banyak dalam suatu masyarakat’. Ada harapan yang dikehendaki bersama oleh suatu lapisan masyarakat, harapan itu tentulah menyangkut nilai-nilai kebaikan, kebaikan yang bersifat universal. Kebaikan yang dimaksud tentunya bertalian dengan harapan-harapan ideal dari kemanusiaan masyarakat itu sendiri, misalnya harapan akan kebahagiaan jasmania dan kebahagiaan rohania. Artinya kebaikan bersama ini adalah kebaikan yang dikehendaki oleh pada umumnya orang yang ada dalam suatu masyarkat tanpa mengurangi nilai atau subtansi dari kebaikan-kebaikan individual, karena bisa jadi juga kebaikan bersama ini merupakan akumulatif dari kebaikan-kebaikan yang besifat personal.
BAB V
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bahwa kepentingan individu dan kepentingan masyarakat adalah dua variabel penting yang harus mendapat perhatian dalam hukum, mengingat kedua variabel itu ada dalam eksistensi kehidupan kita sebagai manusia. Dan agar tidak terjadi benturan antara dua jenis kepentingan tersebut, maka jalur hukum bisa menjadi alat untuk mengatur beragam kepentiingan yang ada dan berkembang dalam keseharian kehiduapan kita sebagai manusia. Oleh karena itu, hukum dalam konteks ini menjadi penting artinya bagi kehidupan manusia (baik dia sebagai individual maupun dia sebagai masyarakat) dalam rangka menjaga kepentingan-kepentingan yang selalu ada tersebut.
B.     Saran
Dari pembahasan Hukum Islam Antara Individu dan Masyarakat ini, perlu kiranya bagi peneliti selanjutnya agar meneliti lebih lanjut mengenai hal ini, guna menambah wawasan bagi masyarakat dan pelajar khususnya, serta informasi bagi peneliti sebelumnya.







DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Departemen agama, Al-qur’an dan tafsir Departemen Agama RI,2009, Departemen agama.
Hardiman, Budi. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Lubis,Junaidi. Islam Dinamis. Jakarta: Dian Rakyat,2010.
Mulia, Ahmad Thib Raya Siti Musdah (Eds). Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam. Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash. Filsafah Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.
Soelaeman,M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar Teori Dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2004.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Sulaeman, Munandar. Ilmu Budaya Dasar, Bandung:PT Refika Aditama,2012.
Yusuf , Ahmad Muhammad. Ensiklopedi Tematis Ayat Al-qur’an dan Hadits, 2009, Jakarta, Widya cahaya.






[1] Ahmad Thib Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 35.
[2] Thib Raya, Menyelami, hlm. 37
[3] Zainuddin Ali, Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 3.
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Filsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 146
[5] Ahmad Thib Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 137.
[6] Ahmad Thib Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 137.
[7] Ahmad Thib Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 138.
[8] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 1.
[9] M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori Dan Konsep Ilmu Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2004).
[10] Departemen agama, Al-qur’an dan tafsir Departemen Agama RI,2009,(Tanpa Kota, Departemen agama). hlm.409
[11] Ahmad Muhammad Yusuf  Ensiklopedi Tematis Ayat Al-qur’an dan Hadits, 2009 (Jakarta, Widya cahaya),  Jilid 5 hal 419
[12] Ahmad Thib Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 28
[13] Ahmad Thib Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 31
[14] Ahmad dan musdah (eds), Menyelami, hlm. 32
[15] Budi Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 102.
[16] Budi, Filsafat , hlm. 101.
[17] Hasbie as-Sidqy, Falsafah hukum Islam, (Jakarta: Tinta mas), hlm. 23.
[18] Hasbie as-Sidqy, Falsafah hukum Islam, (Jakarta: Tinta mas), hlm. 410.
[19] Hasbie Falsafah , hlm. 408.
[20] Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar (Bandung:PT Refika Aditama,2012) hlm 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar