HUKUM ISLAM ANTARA INDIVIDU DAN MASYARAKAT
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum islam sebagai kristalisasi dari penalaran mujtahid atas teks hukum
atau preskripsi syari’ selalu dengan muatan ruang dan waktu yang melingkupinya.
Hukum isam bukan lahir dari yang hampa, di ruang hampa, melainkan terahir di
tengah dinamika pergulatan kehidupan masyarakat sebagai jawaban solusi atas
problematika aktual yang muncul. Problematika masyarakat selalu berkembang dan
berubah seiring dengan perkembangan dan perubahan masyarakat itu sendiri.
Transformasi hukum islam, memungkinkan dan mentolerir terjadinya keragaman
produk hukum yang sah. Namun demikian arus transformasi tersebut dikendalikan
secara ketat oleh al-qur’an sebagai dalil utama dan setelah itu oleh prinsip
dan tujuan hukum islam, yaitu mewujudkan kemaslahatan umum yang objektif, bukan
kemaslahatan individual yang subjektif, kemaslahatan duniawi dan kemaslahatan
ukhrawi, bukan hanya kemaslahatan dunia atau akhirat saja. Dengan demikian
meskipun terbentang peluang terjadinya keragaman produk hukum, namun
transformasi tersebut akan terkendali secara efektif dan terhindar dari
transformasi serta keragaman liar.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan diskripsi
diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan
batasan yang akan kami bahas dalam makalah ini. Antara lain sebagai barikut :
1. Bgaimana pengertian hukum islam, individu dan masyarakat?
2. Bagaimana keseimbangan hidup antara individu dan masyarakat dalam islam?
3. Bagaimana kepentingan individu dan masyarakat dalam ibadah dan muamalah?
C. Tujuan
Ada pun tujuan
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian hukum islam, individu dan masyarakat
2. Mengetahui keseimbangan hidup antara individu dan masyarakat dalam islam
3.
Mengetahui kepentingan
individu dan masyarakat dalam ibadah dan muamalah
BAB II
HUKUM ISLAM ANTARA INDIVIDU DAN MASYARAKAT : KAJIAN ONTOLOGI
A.
Pengertian Hukum Islam
Syariat menurut arti bahasa adalah tempat lalu air sungai, atau
jalan yang harus dilalui, menurut istilah, syariat adalah segala aturan Allah
yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia, selain dari aturan mengenai
akhlak.[1]
Ini berarti bahwa syariat hanya berkaitan dengan hukum-hukum amaliah. Syariat
lebih khusus dibandingkan dengan agama. Agama pada dasarnya satu dan berlaku
secara universal, sedangkan syariat berlaku untuk masing-masing umat, karena
itu agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul adalah sama, sedangkan
syariatnya berbeda. Syariat adalah ketentuan yang ditetapkan Allah dan
dijelaskan oleh rasulnya tentang tindak-tanduk manusia di dunia untuk mencapai
kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat.
Disamping itu, dalam kajian hukum islam, dikenal pula istilah hukum
islam, istilah hukum islam pada hakikatnya bersumber dari literatur barat.
Istilah tersebut merupakan terjemahan dari istilah islamic law, yang mencakup
istilah syariat dan fiqh. Pengertian ini membawa pada kekaburan perbedaan
hakiki antara syariat dan fiqh. Istilah itu kemudian populer di kalangan islam,
yang kemudian difahami sebagai seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah
dan sunnah rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini
berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama islam.[2]
Dengan kata lain hukum islam adalah seperangkat norma illahi yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesamanya dalam
kehidupan sosial, hubungan manusia dengan makhuk lainnya di alam hidupnya.[3]
Intisari hukum islam, ialah memelihara manusia, memberi perhatian
yang penuh kepada manusia dan kemuliaannya. Serta menjauhkan segala yang
menyebabkan terganggu kemuliaan manusia, tanpa membedakan warna, tanpa
membedakan agama, tanpa perbedaan antara yang jahil dengan yang alim, antara
kaum yang tidak berpendidikan tinggi dengan kaum yang intelektual. Oleh karena
ini yang menjadi asas hukum islam, maka islam tidak mendasarkan perintah kepada
pemaksaan, tidak menghilangkan kemerdekaan manusia dan membatasi gerak diriny.[4]
B.
Konsep Manusia
Sebagai mahkluk
biologis, manusia dapat dililhat dari perkataan Maryam kepada Allah: “Tuhanku, bagaimana mungkinaku mempunyai anak, padahal aku tidak
disentuh basyar” (Ali Imran [31]:47). Dan pertanyaan Maryampun
terjawab, Nabi Muhammad SAW diutus Allah menegaskan bahwa secara biologis ia
sepeti manusia lain. Allah berfirman, “Katakanlah, Aku (Muhammad saw) ini
manusia biasa (basyar) seperti kamu,hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu
adalah Tuhan yang satu”. (Q.S. al-Kahfi [18]:110 dan Fushshilat [41]:6). Manusia
diciptakan Allah Swt. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah,
dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki
berbagai kemampuan. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan
mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan
Sualalah. Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari
bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun tahapan-tahapan
dalam proses selanjutnya, al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Manusia yang
sekarang ini, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah.
Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan
ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara
permatozoa dengan ovum.
Para penganut teori behaviorisme menyabut manusia
sebagai Homo Mehanicus (manusia mesin). Menurut teori ini segala tingkah laku
manusia terbantuk sebagai hasil proses pembelajaran terhadap lingkungan. Para
penganut teori kognitif menyebut manusia sebagai homo sapiens (manusia
berfikir). Menurut teori ini manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk yang
beraksi secara pasif pada lingkungan,tetapi sebagai makhluk yang selalu
berfikir. para penganut teori humanisme menyebut manusis ssebagai homo ludens
(manusia bermain). Menurut humanisme manusia berperilaku untuk mempertahankan,
meningkatkan dan mengatualisasikan diri. Konsep manusia dalam Al-Qur’an
dipahami dengan memperhatikan kata-kata yang saling menunjuk pada makna manusia
pada basyar,insan, dan al-anas. Seperti yang telah dipaparkan sedikit diawal
tadi. Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being) yang statis seperti
hewan.
Kata insan disebut dalam Al –Qur’an sebanyak 65 kali, Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang berfikir,diberi ilmu,dan memikul amanah (Al-Ahzab : 72). Insan adalah manusia yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju kearah kesempurnaan.
Kata al-anas disebut sebanyak 240 kali, Konsep al-anas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau kolektif.
Kata insan disebut dalam Al –Qur’an sebanyak 65 kali, Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau spiritual manusia sebagai makhluk yang berfikir,diberi ilmu,dan memikul amanah (Al-Ahzab : 72). Insan adalah manusia yang menjadi (becoming) dan terus bergerak maju kearah kesempurnaan.
Kata al-anas disebut sebanyak 240 kali, Konsep al-anas menunjuk pada semua manusia sebagai makhluk sosial atau kolektif.
Dengan demikian
Al-Qur’an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis, sosial.
Manusia sebagai basyar tunduk kepada Allah,sama dengan makhluk lain. Manusia
sebagai insan dan al-anas bertalian dengan hembusan roh Allah yang memiliki
kebebasan dengan memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah.
C.
Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk Ibadah, semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh keridhoan
Allah SWT, dan mendapatkan pahala darinya di akhirat.[5] Ketundukan manusia
pada Allah dalam menjalankan kehidupan dimuka bumi ini, baik yang menyangkut
hubungan vertical (manusia dengan Tuhan) maupun horizontal (manusia dengan
manusia dan alam semesta). Dalam hukum Allah tentunya memuat berbagai macam
peraturan yang mengatur kehidupan manusia dengan tujuan terciptanyan kehidupan
yang adil, dami dan tentram. Allah berfirman: Q.S. Al-Dzaariyaat : 56
$tBur
àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur
wÎ)
Èbrßç7÷èuÏ9
ÇÎÏÈ
Artinya :
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Ayat diatas sebagai bukti
tentang keberadaan manusia di dunia yaitu untuk menyembah, mengapdi kepada
Allah SWT. Bentuk pengapdian tersebut berupa pengkuan atas keberadaan Allah SWT
dengan menjalankan perintah Allah dan menjahui larangannya. Sebagai bentuk
mengakui keberadaan Allah dengan mengikuti rukun iman dan rukun islam. Selain
itu dalam melakukan penyembahan kepada Allah harus dilakukan dengan hati yang
iklas, karena Allah tidak membutuhkan sedikitpun sesuatu dari manusia. keberadaan
manusia didunia merupakan tanda kebesaran, kekuasaan Allah kepada hamba-hambanya.Allah dialah Tuhan yang menciptakan,
menghidupkan dan menjaga kehidupan manusia. Dengan demikian manusia diciptakan
untuk mengimani Allah SWT. Selain itu penyembahan yang sempurna dari seseorang
akan menjadikan dirinya sebagai khalifah Allah yang mengelola kehidupan di alam
semesta. Keseimbangan alam dapat terjaga dengan tegaknya hukum-hukum yang Allah
tegakkan.
1.
Fungsi
Dan Peran Manusia.
Pada Al-Qur’an QS 2 (al-Baqarah) : 30, Allah SWT
berfirman yang artinya:
“Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: sesungguhnya aku hendak menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi”,
mereka berkata: mengapa engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?”. Allah
berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Dari ayat
tersebut dapat diambil pengertian bahwa fungsi dan peranan manusia sebagai
khalifah atau pemimpin dimuka bumi ini. Sehingga peran yang dilakukan sesuai
ketetapan Allah, di antaranya yaitu:
a.
Belajar (surat an-Naml : 15-16 dan
al-Mukmin : 54)
b.
Mengajarkan ilmu (al-Baqarah : 31-39)
c.
Membudidayakan Ilmu (al-Mu’min : 35)
D.
Tanggung Jawab
Manusia Sebagai Hamba Allah
Makna yang esensial dari kata ‘abd (hamba) adalah
ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan.[6] Ketaatan
dan ketundukan dan ketaatan seorang manusia sebagai hamba hanta ditujukan,
diberikan kepada Allah. Kepatuhan kepada Allah ditunjukkan dengan selalu
mematuhi perintahNya dan menjahui laranganNya. Ibadah
ditinjau dari bentuk dan sifatnya ada lima macam, yaitu:
1.
Ibadah
dalam bentuk perkataan atau lisan : dzikir, doa, tahmid, dan membaca al-qur’an
2.
Ibadah
dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya : membantu atau menolong
orang lain, jihad, mengurus jenazah.
3.
Ibadah
dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya : sholat,
puasa, zakat, haji.
4.
Ibadah
yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri : puasa, i’tikaf,
ihrom.
5.
Ibadah
yang berbentuk menggugurkan hak : memaafkan orang yang telah melakukan
kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berhutang kepadanya.[7]
Selain itu juga terdapat muamalah, yaitu segala peraturan yang
diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan
kehidupan.[8] Allah mengatur manusia
dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergauan sosial. Sebagai hamba
Allah tanggung jawab manusia sangat luas meliputi semua kewajibannya, yang
dalam ajaranNya menurut sunah rasul, memerintahkan hamba-Nya untuk berlaku adil
dan ihsan. Dengan demikian seorang hamba bertanggung jawab dalam menegakkan
keadilan untuk diri sendiri maupun keluarga.
E.
Tanggung Jawab Manusia
Sebagai Khalifah Allah
Al-Qur;an telah menjelaskan bahwa manusia
diciptakan didunia ini adalah sebagai khalifah atau wakil-Nya dalam pengertian
ia memperoleh mandat dari Allah untuk mewujudkan kemakmuran dimuka Bumi. Dengan
ini manusia berkewajipan menegakkan kebenaran, kebaikan, mewujudkan kedamaian,
menghapuskan kemungkaran serta penyelewengan dan penyimpangan dari jalan Allah.
(Al-Baqarah:30), Artinya :
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat:
Sesungguhnya Aku jadikan di bumi seorang Khalifah. Berkata Malaikat: Adakah
Engkau hendak jadikan di muka bumi ini orang yang melakukan kerusakan dan
menumpahkan darah, sedangkan kami sentiasa bertasbih dan bertaqdis dengan
memuji Engkau? Jawab Allah: Aku lebih mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.”
Di kalangan makhluk ciptaan Allah, manusia
telah dipilih oleh Allah melaksanakan tanggungjawab tersebut. Ini sudah tentu
kerana manusia merupakan makhluk yang paling istimewa. (Al-Ahzab:
72) Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah kemukakan
tanggungjawab amanah (Kami) kepada langit dan bumi serta gunung-ganang (untuk
memikulnya), maka mereka enggan memikulnya dan bimbang tidak dapat menyempurnakannya
(kerana tidak ada pada mereka persediaan untuk memikulnya); dan (pada ketika
itu) manusia (dengan persediaan yang ada padanya) sanggup memikulnya.
(Ingatlah) sesungguhnya tabiat kebanyakan manusia adalah suka melakukan
kezaliman dan suka pula membuat perkara-perkara yang tidak patut dikerjakan.”
F.
Hakikat Manusia
Sebagai Makhluk Sosial
Masyarakat merupakan
kesatuan sosial yang mempunyai ikatan-ikatan kasih sayang yang erat. Kesatuan
sosial mempunyai kehidupan jiwa seperti adanya ungkapan jiwa rakyat, kehendak
rakyat, kesadaran masyarakat, dsb.[9] Hakikat manusia
sebagai makhluk sosial telah dicantumkan dalam al-qur’an surat Al-Hujurat ayat 13:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا
وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِن
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌّ
Artinya
: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”[10]
Hakikat manusia sebagai makhluk sosial,
berinteraksi dengan manusia lain
tercantum dalam alqur’an surat Ar-Rum ayat 22
sebagai berikut:
وَمِنْ
آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ
وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ
(الروم : 22)
Artinya:“ Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan
warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yangi mengetahui.”[11]
Allah
menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa),
dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit
bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi untuk saling mengenal dan menolong.
Terdapat
beberapa unsur hakikat manusia yang terdiri dari hal-hal berikut.
1.
Susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan
raga.
2.
Sifat kodrat terdiri atas makhluk individu dan
sosial.
3.
Kedudukan kodrat terdiri atas makhluk berdiri
sendiri dan makhluk Tuhan.
Berdasarkan
pembedaan demikian maka manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
adalah hakikat manusia berdasarkan sifat-sifat kodrat yang melekat pada
dirinya. Berdasarkan unsur hakikat tersebut, Notonagoro (1975) mengatakan
bahwa setiap individu dan makhluk sosial merupakan sifat kodrat manusia. Manusia
sebagai makhluk individu tidak mampu hidup sendiri. Hal ini disebabkan manusia
dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya tidak dapat dipenuhi sendiri. Mereka bergabung
membentuk kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup
tersebut. Dalam hal ini, manusia sebagai individu memasuki kehidupan bersama
dengan individu lain.
Aristoteles
(384-322 SM) seorang ahli filsafat Yunani kuno menyatakan dalam ajarannya,
bahwa manusia adalah zoon politicon artinya manusia sebagai
makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dengaan masyarakat. Karena sifatnya
yang ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun
manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia
lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia dalam masyarakat. Sebagai
individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang diinginkan dengan
mudah tanpa bantuan orang lain.
Adapun yang
menyebaabkan manusia selalu hidup bermasyarakat adalah adanya dorongan kesatuan
biologis yang terdapat dalam naluri manusia, misalnya.
1.
Hasrat untuk memenuhi keperluan makan dan
minum.
2.
Hasrat untuk membela diri.
3.
Hasrat untuk mengadakan keturunan.
Adapun insting
yang sudah ada pada diri manusia sejak dia dilahirkan. Kebutuhan akan makanan
dan minuman merupakan kebutuhan primer bagi segala makhluk hidup termasuk hewan
dan manusia. Dalam usaha mendapatkan kebutuhan tersebut, manusia membutuhkan
orang lain. Hidup sendiri akan menimbulkan kesulitan, segala hal
akan lebih mudah jika dikerjakan bersama-sama. Manusia sebagai makhluk sosial
adalah manusia yang senantiasa hidup dengan manusia lain. Dia tidak dapat
merealisasikan potensi hanya dengan dirinya sendiri. Manusia akan membutuhkan
manusia lain untuk hal tersebut, termasuk dalam mencukupi kebutuhannya.
BAB
III
HUKUM
ISLAM ANTARA INDIVIDU DAN MASYARAKAT : KAJIAN EPISTIMOLOGI
A.
Islam Tentang Keseimbangan Hidup
Islam memberikan tuntutan kepada umatnya untuk meraih kehidupan
yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Ajaran islam yang tertuang dalam
Al-Qur’an maupun hadits pada hakikatnya berisi tuntutan yang membimbing manusia
ke jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah SWT. Untuk mencapai kebahagiaan
itu manusia dituntut untuk mematuhi segala aturan yang telah ditentukan oleh
Allah, baik yang berbentuk perintah maupun larangan.[12]
Kehidupan manusia di dunia ini pada hakikatnya merupakan jembatan
untuk menuju ke alam yang kekal (akhirat). Sepanjang hidup manusia di dunia,
manusia dituntut untuk berusaha dan bekerja menurut pekerjaan dan profesi
masing-masing, sehingga mendapatkan kehidupan yang baik, sejahtera, makmur dan
bahagia. Untuk itu, manusia diberikan potensi dan fasilitas hidup, baik yang
berbentuk fisik maupun akal fikiran. Kehidupan yang baik harus mempunyai
terminal akhir, yaitu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat.
Berarti manusia harus memanfaatkan segala potensi yang dimilikinya untuk meraih
keseimbangan hidup yang bahagia, baik di dunia maupun di akhirat. Allah telah
memberikan tuntunannya dalam QS. Al-Qashash:77
Æ÷tGö/$#ur
!$yJÏù
9t?#uä
ª!$#
u#¤$!$#
notÅzFy$#
( wur
[Ys?
y7t7ÅÁtR
ÆÏB
$u÷R9$#
( `Å¡ômr&ur
!$yJ2
z`|¡ômr&
ª!$#
øs9Î)
( wur
Æ÷ö7s?
y$|¡xÿø9$#
Îû
ÇÚöF{$#
( ¨bÎ)
©!$#
w =Ïtä
tûïÏÅ¡øÿßJø9$#
ÇÐÐÈ
Artinya :
”Dan
carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dari ayat diatas, terdapat tiga hal pokok yang terkandung di
dalamnya. Pertama : perintah kepada setiap manusia agar mencari
kebahagiaan akhirat dengan menggunakan berbagai fasilitas dan sarana kehidupan
yang diperoleh di dunia, tanpa melupakan bagian yang harus dipenuhi untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia. Manusia diperintahkn untuk menggunakan
waktu selama satu kali 24 jam untuk melakukan berbagai kegiatan dan usaha
semaksimal mungkin dan menurut kemampuan masing-masing, namun manusia tidak boleh
luput bahwa diantara waktu-waktu tersebut terdapat waktu tertentu yang harus
digunakan untuk bekal di akhirat nanti, dengan melakukan sholat fardhu yang
jumahnya hanya lima kali dalam sehari. Allah menyiapkan waktu siang dan malam
untuk menusia, agar manusia dapat menggunakanny untuk dunia dan akhirat.
Islam tidak melarang umatnya menjadi kaya dan mencari nafkah
sebanyak mungkin yang sesuai dengan tuntutan ajaran agama, tetapi jangan lupa
bahwa didalamnya terdapat bagian orang lain yang harus dikeluarkan kepada yang
berhak. Semua itu merupakan kewajiban yang telah digariskan Allah SWT. Oleh
sebab itu mereka yang mempunyai harta yang cukup berkewajiban untuk
mengeluarkan zakat. Zakat merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan
untuk menyeimbangkan antara apa yang dianugerahkan Allah dengan harta dan
kekayaan itu, dan ketaatan kepada allah yang sekaligus menjadi bekal di
akhirat. Jika manusia diberi kekayaan lalu enggan mengeluarkan zakatnya, maka
itu berarti ia tidak melakukan hal-hal yang dapat menyeimbangkan kehidupan
dunia dan akhiratnya.
Kedua : dalam ayat
itu juga, Allah memerintahkan manusia untuk melalukan kebajikan terhadap
sesama. Seperti manusia, hewan, tumbuhan, ataupun terhadap alam sekitar, alam
dan segala isinya diciptakan allah untuk kemaslahatan hidup dan kebahagiaan
manusia di dunia. Segalanya dapat digunakan oleh manusia sesuai kebutuhan dan
ketentuannya.[13]
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi dengan
tujuan, agar mereka dapat mengatur bumi ini, memanfaatkan segala isinya demi
kebahagiaan mereka. Sebaliknya manusia harus ingat bahwa mereka dilarang untuk
melakukan hal-hal yang merusak alam dan isinya tanpa tujuan yang benar. Hewan,
tumbuhan dan mahuk lainnya diciptakan untuk manusia. Hewan dalam jenis tertentu
telah ditentukan Allah untuk dikonsumsi oleh manusia, sedangkan sebagian jenis
lain dilarang untuk dikonsumsi. Kepatuhan terhadap ketentuan itu merupakan
salah satu upaya manusia untuk menyeimbangkan kehidupan manusia, demi mencapai
kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat.
Ketiga : dalam bagian
akhir ayat tersebut Allah menyatakan ketidak senangannya terhadap orang-orang
yang melakukan kerusakan di bumi, yang tidak memanfaatkan alam dan isinya
sesuai dengan ketentuan yang telah digariskannya. Termasuk orang yang tidak
melakukan usaha-usaha yang dapat menyeimbangkan kehidupan dunia dan akhirat.[14]
Dalam menikmati rezeki dan kenikmatan yang diberikan Allah, mereka tidak boleh
lupa terhadap Allah, dengan jalan melakukan ibadah kepadanya. Perlu disadari
bahwa untuk dapat meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kita harus
berusaha dengan beriman kepada Allah dan melakukan amal-amal saleh. Iman saja
tanpa amal saleh tidak cukup, amal saleh yang tidka dilandasi iman juga
tidaklah cukup, manusia yang beruntung adalah manusia yang beriman dan
melakukan amal-amal saleh sesuai firman allah QS. Al-Ash
ÎóÇyèø9$#ur
ÇÊÈ
¨bÎ)
z`»|¡SM}$#
Å"s9
Aô£äz
ÇËÈ
wÎ)
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
(#öq|¹#uqs?ur
Èd,ysø9$$Î/
(#öq|¹#uqs?ur
Îö9¢Á9$$Î/
ÇÌÈ
Artinya
:
”Demi
masa,Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.
B.
Kepentingan Individu Dan Kepentingan Masyarakat
Dalam ilmu-ilmu sosial konsep mengenai individu dan masyarakat
dikenal sangat luas. Sebagai konsep tentu lahir berdasarkan kenyataan yang
sebenarnya. Dan juga dalam keseharian kita dapat dengan muda membedakan manusia
sebagai idnividu dan manusia sebagai masyarakat. Bahwa dalam kehidupan sejarah
manusia, dapat dikatakan bahwa kehiduapan itu terdiri atas kehidupan individual
dan kehidupan masyarakat. Sehingga banyak dari ilmuan kemudian membuat
klasifikasi mengenai Kepentingan Individu dan Kepentingan Masyarakat.
Roscoe Pound (1870-1964) misalnya, memiliki pendapat mengenai hukum
yang menitik beratkan hukum pada kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a
tool of social engineering” (“Bahwa Hukum adalah alat untuk memperbaharui atau
merekayasa masyarakat”). Untuk dapat memenuhi peranannya Roscoe Pound lalu
membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang harus dilindungi oleh
hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut:
a.
Kepentingan
Umum (Public Interest)
1.
Kepentingan
negara sebagai Badan Hukum
2.
Kepentingan
negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat
b.
Kepentingan
Masyarakat (Social Interest)
1.
Kepentingan
akan kedamaian dan ketertiban
2.
Perlindungan
lembaga-lembaga sosial
3.
Pencegahan
kemerosotan akhlak
4.
Pencegahan
pelanggaran hak
5.
Kesejahteraan
sosial.
c.
Kepentingan
Pribadi (Private Interest)
1.
Kepentingan
individu
2.
Kepentingan
keluarga
3.
Kepentingan
hak milik.
Adam smith mengatakan bahwa masyarakat adalah sistem mekanis yang
terus menjaga keseimbangannya. Nafsu-nafsu
egoitis adalah nafsu yang paling langgeng dalam diri manusia.[15]
Argumen ini tidak naif, beliau mengatakan bahwa kehidupan sosial itu mungkin
terjadi diantara para individu yang mengejar kepentingan dirinya itu karena
adanya sentimen moral, yakni rasa simpati yang menyebabkan individu bisa
membayangkan dirinya berada pada posisi orang lain, akan tetapi manusia tidak
bisa terus tergantung pada simpati orang lain untuk hidupnya sendiri, maka ia
harus mengejar kepentingannya sendiri. Dengan kebebasan yang cukup untuk
mengejar kepentingan diri, pencapaian tujuan peribadi itu akan memberi
sumbangan bagi kesejahteraan umum.
Dalam karya budi hardiman juga dikatakan bahwa Bernard de mandevile
menulis buku terkenal fable off bees. Di dalam buku itu beliau melukis keadaan
sebuah kolonial lebah. Di dalam masyarakat lebah itu menurutnya
sumbangan-sumbangan seekor lebah individual bermanfaat bagi keseluruhan
kolonial lebah itu. Dari data alamiah itu beliau lalu menarik sebuah ajaran
bahwa dalam masyarakat manusia juga demikian, individu-individu yang mengejar kepentingan dirinya sekalipun akan
menghasilkan manfaat bagi masyarakat sebagai keseluruhan. Madndeville lalu
berpendapat bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang cenderung mengejar
kepentingannya sendiri. Bertindak secara moral sebenarnya bukan bertindak demi
kesejahteraan orang lain, melainkan demi menunjukkan atau sekurang-kurangnya
menambah keyakinan akan keunggulan si pelaku sendiri.[16]
Pada akhirnya, menurut hemat penulis, bahwa kepentingan individu
dan kepentingan masyarakat adalah dua variabel penting yang harus mendapat
perhatian dalam hukum, mengingat kedua variabel itu ada dalam eksistensi
kehidupan kita sebagai manusia. Dan agar tidak terjadi benturan antara dua
jenis kepentingan tersebut, maka jalur hukum bisa menjadi alat untuk mengatur
beragam kepentiingan yang ada dan berkembang dalam keseharian kehiduapan kita
sebagai manusia.
Tanpa ada suatu mekanisme yang menertibkan lalulintas kepentingan
manusia ini, maka mungkin saja akan selalu terjadi kegoncangan sosial yang bisa
mengarah pada kerusuhan sosial terus-menerus, sebab kepentingan salah satu
elemen penting dari manusia itu selalu ada dalam dirinya. Oleh karena itu,
hukum dalam konteks ini menjadi penting artinya bagi kehidupan manusia (baik
dia sebagai individual maupun dia sebagai masyarakat) dalam rangka menjaga
kepentingan-kepentingan yang selalu ada tersebut.
C.
Mengutamakan
Kepentingn Individu Dalam Bidang Ibadah
Shalat yang kita lakukan, bukanlah
hanya merupakan gerak olah raga yang kita lakukan 5 kali sehari semalam. Tapi
maksud shalat yang lebih esensial adalah untuk memperbarui kepercayaan dan
keimanan kepada Allah dan menghidupkan prinsip-prinsip Islam yaitu bersifat
amanah berlaku benar, menepati janji dan mengutamakan orang lain. Esensi puasa
bukan hanya menahan diri dari haus dan lapar, tetapi lebih dari itu puasa
menunjukkan kemuliaan perangai, mendidik jiwa, membiasakan manusia mengalahkan
hawa nafsu dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungannya, supaya sanggup
mengatasi dorongan hati kepada perbuatan salah, dan melatih kesabaran.[17]
Begitu pula ibadah-ibadah dalam Islam lainnya mempunyai hikmah dan makna
tersendiri dan mempunyai pengaruh terhadap rohani yang nantinya akan
mempengaruhi fisiknya juga.
Dari penjelasan diatas dapat kita
pahami bahwa manfaat ibadah kembalinya ke individu muslim itu sendiri bukan
kepada orang lain. Maka dari itu, perintah ibadah ditujukan kepada
masing-masing individu manusia bukan kolektif. Adapun ibadah yang dilakukan
secara kolektif tidak diperintahkan sebagai hal yang wajib melainkan sunnah dan
mempunyai nilai plus dalam ibadah itu sendiri. Maka dapat dikatakan disini
bahwa ibadah adalah tanggung jawab setiap individu manusia.
salah satu kaidah fiqh menyatakan
bahwa:
الْإِثَارُ
فِى الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ.
“Mengutamakan orang
lain pada urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selainnya disenangi”.
Maksud
kaidah ini adalah makruh jika mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah.
Akan tetapi, tidak jadi masalah jika mendahulukan orang lain dalam hal duniawi
atau masalah sosial di masyarakat. Contohnya, makruh mengutamakan orang untuk
shalat di shaf pertama, sementara kita mengalah di shaf kedua. Jelas hukumnya
makruh, walaupun dengan pimpinan atau orang tua. Akan tetapi, jika kita
mendahulukan seseorang misalnya dalam suatu antrian terlebih dengan yang sudah
tua sekali, maka hal tersebut tidak jadi masalah. Karena melimpahkan ibadah
kepada orang lain merupakan tindakan yang kurang adab/kurang sopan kepada
Allah.
Selanjutnya kembali kepada makna ibadah itu sendiri, yang masuk dalam
bidang irasional yang tidak dibuka pintu ijtihad di dalamnya. Sehingga
manusia sebagai hambaNya diharuskan tunduk (khudhu’) dalam melaksanakan
perintahNya. Dan karena hakikat penciptaan manusia adalah untuk beribadah
kepada Nya, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Dzariyat 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya :
”Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
D.
Mengutamakan
Kepentingan Sosial Dalam Bidang Mu’amalah
Segala ibadah dalam hukum Islam
merupakan washilah, bukan ghayah. Karena itu Islam bukanlah agama
yang melebih-lebihkan dalam masalah mengerjakan ibadah. Bahkan Rasulullah
mencontohkan ketika mengerjakan ibadah manusia juga tidak boleh melupakan
kebutuhan fisiknya.
Selain manusia memerlukan ibadah
untuk memenuhi kebutuhan rohaninya, manusia juga memerlukan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan sosialnya. Manusia tidak dapat hidup sendiri, dia butuh
hidup bermasyarakat. Hukum Islam mengakui hal tersebut, sehingga tidak hanya
mengatur tentang ibadah yang merupakan hubungan vertikalnya dengan tuhan, hukum
Islam juga mengatur tentang ibadah horisontal yang mengatur hubungannya antar
sesama manusia. dalam hal ini Islam bahkan mengajak manusia untuk membangun
lingkungan dengan sebaik-baiknya.[18]
Kembali kepada karakteristik hukum
Islam yang menjadikan manusia sebagai tujuan akhirnya, banyak ayat-ayat
al-qur’an dan hadist yang menunjukkan dan menerangkan kepada kita bahwa tujuan
Islam dari mendirikan ibadat adalah bukan semata-mata hanya untuk ibadah kepada
Tuhan saja. Tapi itu semua sebenarnya hanya jalan (washilah) saja untuk
mencapai maksud Allah yang menautkan segala macam ibadah dengan kebutuhan
manusia. Bahkan hukum Islam menetapkan apabila nilai-nilai perbuatan manusia
tidak kembali kepada kemanfaatan dan kebaikan atau tidak berfaedah bagi
masayarakat, maka tidak ada kebaikan dalam ibadah-ibadah yang sudah
dilaksanakannya.[19]
Misalnya, jika seseorang hanya rajin beribadah, dia selalu mengerjakan
shalat-sunnah, puasa-puasa sunnah, dan ibadah-ibadah yang lainnya, tetapi tidak
pernah berbuat baik dalam bidang sosial kemasyarakatan, maka sebenarnya
ibadahnya tidak berarti. Dalam hal ini dapat kita pahami bahwa Allah selalu
mengaitkan segala sesuatu terhadap perbuatan manusia. Karena memang tujuan
hukum Islam sendiri adalah untuk menjaga manusia.
Jika dalam kaidah fiqh الْإِيثَارُ فِى
الْقُرْبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ mengutamakan
orang lain dalam hal ibadah adalah makruh, maka dalam bidang muamalat hal ini
disenangi. Sehingga, tidak jadi masalah jika mendahulukan orang lain dalam hal
duniawi atau masalah sosial di masyarakat. Dari kaidah tersebut dapat kita
pahami bahwa manusia, selain menjadi ’Ibadullah disatu sisi, di sisi
lain ia juga merupakan khalifatullah fil ardhi, sehingga selain
menjalankan kewajibannya terhadap penciptaNya dia juga harus menjalankan
kewajibannya terhadap sesama manusia, yaitu menjadi mahluk sosial dalam hal mu’amalah.
Dari segi bidang hukum Islam, mu’amalah
adalah ibadah rasional yang dibukakan pintu ijtihad didalamnya, dan diangkat
derajat akal untuk berpikir demi kemaslahatan manusia sendiri. Sehingga dalam
hal mu’amalah hendaknya manusia dapat berkreasi dan mengembangkan
dirinya untuk kepentingan sosial dan kemajuan manusia.
Selalu mengutamakan kepentingan
individual dalam hal ibadah dan mengutamakan kepentingan sosial dalam bidang
muamalah, bukan hal yang bertentangan satu sama lainnya, melainkan dua hal yang
saling melengkapi untuk mencapai suatu keseimbangan antara kepentingan individu
dan masyarakat dalam hukum Islam. Sehingga untuk mencapai kemuliaan sebagai
individu dan, masyarakat yang baik dihadapan Allah, seseorang harus bisa
melaksankan dua hal ini dengan baik.
BAB IV
HUKUM
ISLAM ANTARA INDIVIDU DAN MASYARAKAT: KAJIAN AKSIOLOGI
A.
Peranan Manusia
Sebagai Makhluk Individu Dan Sosial
Sebagai makhluk individu, manusia memiliki harkat dan martabat yang mulia
.setiap manusia dilahirkan sama dengan harkat dan martabat yang sama pula
denagn manusia yang lainnya, tidak ada yang membedakan .Manusia sebagai makhluk
individu berupaya merealisasikan segenap potensi dirinya karena ingin
menunjukkan siapa yang terbaik ,baik itu menunjukkan potensi jasmani maupun
potensi rohani.
Manusia sebagai
pribadi adalah berhakikat sosial. artinya manusia akan senantiasa dan selalu
berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain, manusia tidak mungkin hidup
sendiri tanpa bantuan orang lain dan interaksi sosial membentuk kehidupan
berkelompok pada manusia. dalam dimensi individu,muncul hak-hak dasar manusia,
kewajiban dasar manusia adalah menghargai hak dasar orang lain serta mentaati
norma-norma yang berlaku di masyarakatnya.
Manusia sebagai
makhluk sosial memiliki implikasi -implikasi:
1.
Kesadaran akan ketidak berdayaan manusia bila
seorang diri
2.
Kesadaran untuk senantiasa dan harus berinteraksi
dengan orang lain.
3.
Penghargaan akan hak-hak orang lain
4.
Ketaatan terhadap norma-norma yang berlaku.
Sebagai makhluk
individu ataupun makhluk sosial hendaknya manusia memiliki kepribadian,yang
dimaksud dengan kepribadian adalah susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang di
bangun oleh perasaan,pengetahuan dan dorongan.
Secara sosial
sebenarnya manusia merupakan mahluk individu dan sosial yang mempunyai
kesempatan yang sama dalam berbagai hidup dan kehidupan dalam masyarakat.
Artinya setiap individu manusia memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang
sama dalam menguasai sesuatu, misalnya bersekolah, melakukan pekerjaan,
bertanggung jawab dalam keluarga serta berbagai aktivitas ekonomi, politik dan
bahkan beragama.
Namun demikian,
kenyataannya setiap individu tidak dapat menguasai atau mempunyai kesempatan
yang sama. AKibatnya, masing-masing individu mempunyai peran dan kedudukan yang
tidak sama atau berbeda. Banyak faktor yang menyebabkan itu bisa terjadi,
misalnya kondisi ekonomi (ada si miskin dan si kaya), sosial (warga biasa
dengan pak RT, dll), politik (aktivis partai dengan rakyat biasa), budaya (jago
tari daerah dengan tidak) bahkan individu atau sekelompok manusia itu sendiri.
Dengan kata lain, stratifikasi sosial mulai muncul dan tampak dalam kehidupan
masyarakat tersebut.[20]
B.
Fungsi Hukum
Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Ruang lingkup
hukum Islam sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan
manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya
sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda,
dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Dalam Al Qur’an cukup banyak
ayat-ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak
asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran
hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hokum yang
terdapat dalam Al Qur’an dan Hadits. Peranan hokum Islam dalam kehidupan
bermasyarakat sebenarnya cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan
dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
1.
Fungsi Ibadah:
Fungsi utama
hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah ajaran
Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang
sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
2.
Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukum Islam
sebagai hokum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia,
jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh,
proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan
hukum (Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap
hukum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses
pengharamannya. Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara
bertahap. Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum
tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Penetap hukum sangat
mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi
masyarakat pecandu riba dan khamar. Berkaca dari episode dari pengharaman riba
dan khamar, akan tampak bahwa hokum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana
pengendali sosial.
Hukum Islam
juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hokum tidak dilecehkan dan tali
kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya
menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam
bahaya tersebut. Oleh karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang
dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat
disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai
tujuan hokum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan
kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
3.
Fungsi Zawajir
Fungsi ini
terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman
hokum atau sanksi hokum.Qishash, Diyat, ditetapkan untuk tindak pidana
terhadap jiwa/ badan, hudud untuk tindak pidana tertentu
(pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk
tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hokum
mencerminkan fungsi hokum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga
masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi
hokum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
4.
Fungsi Tandhim wa Islah al-Ummah
Fungsi hukum
Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan
memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang
harmonis, aman, dan sejahtera.Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan
aturan yang cukup rinci dan mendetail sebagaimana terlihat dalam hukum yang
berkenaan dengan masalah yang lain, yakni masalah muamalah, yang pada
umumnya hokum Islam dalam masalah ini hanya menetapkan aturan pokok dan
nilai-nilai dasarnya.
Perinciannya
diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang
masing-masing, dengan tetap memperhatikan dan berpegang teguh pada aturan pokok
dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah
al-ummah. Ke empat fungsi hokum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah
begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling
terkait.
C.
Kebaikan Bersama
Menyangkut kebaikan bersama, sebagaimana dengan kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa jika ada
kebaikan bersama maka juga pasti ada kebaikan personal, menginngat masyarakat
itu tidak hanya terdiri dari kumpulan individu (bersama) tetapi juga individu-individu
yang bersifat personal. Jika dikaji lebih lanjut, kebaikan bersama dapat
dimaknai sebagai ‘harapan nilai baik yang dikenedaki oleh mayoritas atau orang
banyak dalam suatu masyarakat’. Ada harapan yang dikehendaki bersama oleh suatu
lapisan masyarakat, harapan itu tentulah menyangkut nilai-nilai kebaikan,
kebaikan yang bersifat universal. Kebaikan yang dimaksud tentunya bertalian
dengan harapan-harapan ideal dari kemanusiaan masyarakat itu sendiri, misalnya
harapan akan kebahagiaan jasmania dan kebahagiaan rohania. Artinya kebaikan
bersama ini adalah kebaikan yang dikehendaki oleh pada umumnya orang yang ada
dalam suatu masyarkat tanpa mengurangi nilai atau subtansi dari
kebaikan-kebaikan individual, karena bisa jadi juga kebaikan bersama ini merupakan
akumulatif dari kebaikan-kebaikan yang besifat personal.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwa kepentingan individu dan kepentingan masyarakat adalah dua
variabel penting yang harus mendapat perhatian dalam hukum, mengingat kedua
variabel itu ada dalam eksistensi kehidupan kita sebagai manusia. Dan agar
tidak terjadi benturan antara dua jenis kepentingan tersebut, maka jalur hukum
bisa menjadi alat untuk mengatur beragam kepentiingan yang ada dan berkembang
dalam keseharian kehiduapan kita sebagai manusia. Oleh karena itu, hukum dalam
konteks ini menjadi penting artinya bagi kehidupan manusia (baik dia sebagai
individual maupun dia sebagai masyarakat) dalam rangka menjaga
kepentingan-kepentingan yang selalu ada tersebut.
B.
Saran
Dari pembahasan
Hukum Islam Antara Individu dan Masyarakat ini, perlu kiranya bagi peneliti
selanjutnya agar meneliti lebih lanjut mengenai hal ini, guna menambah wawasan
bagi masyarakat dan pelajar khususnya, serta informasi bagi peneliti
sebelumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Zainuddin.
Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Departemen
agama, Al-qur’an dan tafsir
Departemen Agama RI,2009, Departemen agama.
Hardiman, Budi.
Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Lubis,Junaidi.
Islam Dinamis. Jakarta: Dian Rakyat,2010.
Mulia, Ahmad
Thib Raya Siti Musdah (Eds). Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam.
Jakarta Timur: Prenada Media, 2003.
Shiddieqy, Teungku
Muhammad Hasbi Ash. Filsafah Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001.
Soelaeman,M.
Munandar. Ilmu Sosial Dasar Teori Dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung:
Refika Aditama, 2004.
Suhendi, Hendi.
Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Sulaeman, Munandar. Ilmu Budaya Dasar, Bandung:PT Refika Aditama,2012.
Yusuf ,
Ahmad Muhammad. Ensiklopedi Tematis
Ayat Al-qur’an dan Hadits, 2009, Jakarta, Widya cahaya.
[1] Ahmad Thib
Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam
(Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 35.
[3] Zainuddin Ali,
Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 3.
[4] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Filsafah Hukum Islam (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001), hlm. 146
[5] Ahmad Thib
Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam
(Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 137.
[6] Ahmad Thib
Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam
(Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 137.
[7] Ahmad Thib Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk
Beluk Ibadah Dalam Islam (Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 138.
[8] Hendi Suhendi,
Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 1.
[9] M. Munandar Soelaeman,
Ilmu Sosial Dasar Teori Dan Konsep Ilmu Sosial (Bandung: Refika Aditama,
2004).
[10] Departemen agama, Al-qur’an
dan tafsir Departemen Agama RI,2009,(Tanpa Kota, Departemen agama). hlm.409
[11] Ahmad Muhammad Yusuf Ensiklopedi Tematis Ayat Al-qur’an
dan Hadits, 2009 (Jakarta, Widya cahaya), Jilid 5 hal 419
[12] Ahmad Thib
Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam
(Jakarta Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 28
[13] Ahmad Thib
Raya Dan Siti Musdah Mulia (Eds), Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam (Jakarta
Timur: Prenada Media, 2003), hlm. 31
[14] Ahmad dan
musdah (eds), Menyelami, hlm. 32
[15] Budi Hardiman,
Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 102.
[16] Budi, Filsafat
, hlm. 101.
[18] Hasbie
as-Sidqy, Falsafah
hukum Islam, (Jakarta: Tinta mas), hlm. 410.
[19] Hasbie Falsafah
, hlm. 408.
[20] Munandar Sulaeman, Ilmu
Budaya Dasar (Bandung:PT
Refika Aditama,2012) hlm 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar