BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak
pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting
bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika hegemoni
barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan
dorongan kuat diadakannya reformasi. Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim
menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas
keagamaan. Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah
masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi
Muhammad saw.). karena status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan
perbuatannya diterima oleh sebagian besar Muslim sebagai sebuah sumber hukum
kedua setelah al-Qur’an. Akan tetapi, selama abad ke-20, kedudukan sunnah
terancam dengan berbagai cara, ketika para pemikir Muslim mencari basis kuat
bagi kebangkitan kembali Islam. Masalah sunnah telah menjadi sisi paling
penting dalam krisis Muslim modern seperti krisis otoritas keagamaan, yang
menduduki tempat sentral di dalam wacana keagamaan muslim.
Daniel
Brown merupakan salah satu sarjana Barat yangtertarik dan intens mengkaji
problem perdebatan mengenai otoritashadis di atas. Dalam tulisannya, Brown
mendeskripsikan bagaimana sunnah dipahami oleh golongan pro dan kontra,
maupun kalangan pembaharu (revivalist thinker) sebagai sintesis antara
keduanya. Untuk itu penulis mencoba untuk mereview jurnal dari Benny Afwadzi
tentang Hadis Di Mata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya Daniel
Brown).
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan diskripsi diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah
sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan kami bahas dalam makalah ini.
Antara lain sebagai barikut :
1. Bagaimana biografi daniel brown?
2. Bagaimana hadis dalam pandangan para pemikir modern?
3. Bagaimana sikap pemikir kontemporer terhadap hadis?
C.
Tujuan
1. Mengetahui bagaimana biografi daniel brown?
2. Mengetahui bagaimana hadis dalam pandangan para pemikir modern?
3. Mengetahui bagaimana sikap pemikir kontemporer terhadap hadis?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Daniel Brown
Daniel Brown adalah Direktur Institute for the Study of Religion in
Middle East (ISRME). Ia pernah tinggal di Mesir dan Pakistan, tetapi sekarang
menetap di Istanbul, Turki. Pada tahun1993, Brown berhasil memperoleh
gelar Ph.D. dalam bidang studi Islam, dari Universitas Chicago. Ia pernah
memberikan kuliah studi Islam di Mount Holyoke College dan Smith College, serta
masih menjadi dosen terbang di International Islamic University Islamabad, the
Institute of Islamic Culture Lahore, dan Cairo University. Sampai saat ini,
Brown menghasilkan dua karya yang telah dipublikasikan, yaitu
Rethinking Traditional in Modern Islamic Thought dan A New Introduction
Islam.
Dalam Rethinking, Brown menjelaskan bahwa karyanya ini
terinspirasi oleh salah seorang pemikir hebat asal Negara Indo-Pakistan, yaitu
Fazlur Rahman. Dalam bagian preface, ia mengatakan bahwa: “Studi ini
mendapat inspirasi dari Fazlur Rahman, seorang sarjana pemikiran Islam modern dan
merupakan salah seorang kontributor utama bagi pemikiran ulang tradisi Islam
(sunnah) yang menjadi fokus buku ini.
kepedulian dirinya secara pribadi terhadap pertanyaan-pertanyaan
terkait dengan sunnah memberikan sinyal pada saya akan pentingnya topik ini
bagi muslim modern..”[1]
Daniel Brown membagi bukunya dalam tujuh bab, yang
didahului oleh pendahuluan yang berjudul prisma modernitas
(prism of modernity). Adapun bab-bab yang dibahas adalah:
1.
Relevansi
masa lalu: konsepsi klasik tentang otoritas kenabian (therelevance of the past:
classical conceptions of Prophetic authority)
2.
Munculnya
tantangan modern pada hadis (the emergence of
modern challenges to tradition)
3.
Batas-Batas
wahyu (Boundaries of Revelation);
4.
Sifat
dasar otoritas kenabian (the nature of Propheticauthority)
5.
Otentisitas
hadis (the authenticity of hadith)
6.
Sunnah
dan kebangkitan Islam (Sunna and Islamic Revivalism)
7.
Kesimpulan:
Spektrum perubahan (Conclusion: the spectrumof change)
B.
Sikap Pemikir Kontemporer Terhadap Hadis
Hadis di mata mayoritas orang Islam dipandang sebagai salah satu
sumber pengetahuan keagamaan yang penting, dan dipahami sebagai sumber normatif
kedua setelah al-Qur’an.
1.
Muhammad Al-Ghazali
Pada
tahun 1989, syaikh Muhammad Al-Ghazali, menerbitkan sebuah buku dengan judul The Sunna of the Prophet: Between the Legist
and the Tradisionist.[2] Buku
ini menjadi fokus perhatian dan kontroversi. Dalam bukunya, Al-Ghazali
mengetengahkan banyak tema pokok dalam tentang otoritas religius, seperti
hubungan antara Al-Qur’an dan Sunnah, bagaimana posisi hadis Nabi saw. sebagai
sumber hukum Islam, dan bagaimana metode kritik hadis. Polemik itu terutama
disebabkan oleh hadis-hadis sahih yang dipertanyakan kembali oleh Muhammad
al-Ghazali karena dianggap kontradiksi dengan ajaran al-Qur’an, kebenaran
ilmiah maupun historis.
a.
Metode Pemahaman Hadis Muhammad
al-Ghazali
Sikap para pemikir kontemporer terhadap sunnah
harus dipahami dan dibandingkan dengan melihat bagaimana pola dasar pemikiran
para pemikir klasik, menurut ilmu kritik hadis klasik, kesahihan hadis
ditentukan oleh tiga kriteria,
1.
sejauh mana sebuah riwayat dapat dikuatkan oleh
riwayat lain yang identik dari periwayat lain,
2.
keadilan dan kedhabitan periwayat,
3.
kesinambungan dengan rantai periwayatan. Hadis
seperti ini disebutmutawatir.
Adapun mengenai hadis ahad, para ulama klasik mensyaratkan harus melewati
lima tahap pengujian. Di antaranya adalah;[3]
a.
Kesinambungan periwayat (ittishal)
b.
Adalah periwayat, yaitu mereka harus menjunjung
tinggi agama, dan tidak melakukan dosa-dosa besar
c.
Akurasi proses periwayatan, seperti periwayat
tidak boleh ceroboh atau diketahui memiliki daya ingat yang lemah
d.
Bebas dari syudzudz, yaitu
kontradiksi dengan sumber-sumber yang lebih dapat dipercaya
e.
Bebas dari cacat-cacat penyimpangan (‘illat qadhihah), yaitu
ketidaktepatan dalam melakukan periwayatan.
Aturan ini merupakan bentuk ringkas dari metode
yang digunakan muhaddisun untuk membedakan
hadis-hadis autentik. Penerapan sistematis metode ini tampak pada kitab-kitab
besar hadis sahih, yang merupakan puncak keilmuan hadis klasik.[4]
Menurut Muhammad al-Ghazali, ada 5 kriteria untuk menguji kesahihan hadis, 3
berkaitan dengan sanad dan 2 berkaitan dengan matan. Tiga kriteria yang
berkaitan dengan sanad adalah; (1) Periwayat dhabit, (2) Periwayat
adil, dan (3) Poin satu dan dua harus dimiliki seluruh rawi dalam sanad [5]
Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama hadis
klasik, Muhammad al-Ghazali tidak memasukkan ketersambungan sanad sebagai
kriteria kesahihan hadis, bahkan unsur ketiga sebenarnya sudah masuk ke dalam
kriteria poin dua. Dalam hal ini Muhammad al-Ghazali tidak memberikan
argumentasi sehingga sangat sulit untuk ditelusuri, apakah ini merupakan salah
pemikiran atau ada unsur kesengajaan. [6]
Adapun 2
kriteria yang berkaitan dengan matan, adalah:
1.
Matan hadis tidak syadz (salah seorang atau
beberapa periwayatnya bertentangan periwayatannya dengan periwayat yang lebih
akurat dan lebih dapat dipercaya)
2.
Matan hadis tidak mengandung illat qadhihah
(cacat yang diketahui oleh para ahli hadis sehingga mereka menolak
periwayatannya)
Menurut Muhammad al-Ghazali untuk
merealisasikan kriteria-kriteria tersebut, maka diperlukan kerjasama
antara muhaddis dengan berbagai ahli-ahli lain termasuk
fuqaha’, mufassir, ahli ushul fiqh dan ahli ilmu kalam,
mengingat materi hadis ada yang berkaitan dengan akidah, ibadah, mu’amalah
sehingga memerlukan pengetahuan dengan berbagai ahli tersebut. [7]
Muhammad al-Ghazali mengecam keras orang-orang
yang memahami secara tekstual hadis-hadis yang sahih sanadnya, namun matannya
bertentangan dengan al-Qur’an. Al-Qur’an menurut Muhammad al-Ghazali adalah
sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis adalah
sumber kedua. Dalam memahami al-Qur’an hadis sangat penting, karena hadis
adalah penjelas teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh karena itu, sebelum
melakukan kajian tentang matan hadis, perlu upaya intensif memahami al-Qur’an
sebagaimana pernyataannya: “Jelas bahwa untuk menetapkan kebenaran suatu hadis
dari segi matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang al-Qur’an serta
kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara
langsung atau tidak”. [8]
2.
Yusuf Qardhawi
Di antara para pemikir kontemporer, Al-Qardhawi
memberikan penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang
hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas
hadis. Menurut Al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif
(manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun),
dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan
mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[9] Atas
dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari
dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu:
a.
penyimpangan kaum ekstrim,
b.
manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap
ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas
bertentangan dengan akidah dan syari’ah,
c.
penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin).
Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap
sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu
tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi
kelompok yang bodoh.
1.
Metode Pemahaman Hadis Yusuf al-Qardhawi
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi
menerapkan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi
dengan sunnah, yaitu;
a.
Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan
umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun
matan.
b.
Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan
bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis
yang sebenarnya.
c.
Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak
bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.
Adapun untuk melakukan prinsip-prinsip dasar
itu, maka Al-Qardhawi mengemukakan 8 langkah yaitu:[10]
1.
Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk
al-Qur’an.
2. Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
3. Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang
Kontradiktif.
4. Memahami Hadis Sesuai dengan Latar
Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
5.
Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan
Tujuan yang Tetap.
6.
Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
7.
Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.
8.
Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
C.
Implementasi Pemikiran Tokoh
Jika dicermati beberapa prinsip pemahaman hadis
nabi yang ditawarkan oleh Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf Al-Qardhawi sebenarnya
sangat urgen untuk menggali nilai-nilai hadis yang relevan dengan kebutuhan
historis sekarang ini. Hal ini penting mengingat pemahaman atas kedudukan hadis
nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat yang sama menjadi relevan
dengan masyarakat sekarang ini. Relevan dengan dirinya sendiri berarti
kandungan maknanya terbatas pada nilai-nilai yang dikandungnya, relevan dengan
kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa relevansi tersebut berlangsung
pada pemahaman yang rasional.[11]
Dengan kata lain, kedua tokoh tersebut mempertegas bahwa Islam
adalah agama yang universal yang berlaku untuk setiap masa dan tempat, maka
secara substansial formulasi tersebut mengisyaratkan fleksibilitas ajaran
Islam, bukan sebaliknya sebagai sesuatu yang kaku dan ketat. Bagaimanapun juga
berbagai macam temuan dan teknologi yang cukup pesat mengharuskan perlunya
pengkajian terhadap pemahaman hadis nabi. Interaksi antara budaya yang
berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk selanjutnya
dapat dipastikan akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan
kompleks. Oleh sebab itu, aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian
hadis.[12]
Munculnya pemahaman hadis perspektif Yusuf Qardhawi dan Muhammad
Al-Ghazali mengarah pada upaya pengembangan pemikiran hadis sebagai sesuatu
yang positif untuk ditumbuhkembangkan. Beberapa kriteria yang ditawarkan Yusuf
Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali telah memberi manfaat dalam menggali
nilai-nilai hadis yang relevan konteks historis saat ini. Namun disisi lain
harus disadari, maraknya berbagai pemahaman terhadap hadis nabi membuka peluang
semakin melebarnya perpecahan di kalangan umat Islam, jika perbedaan pandangan
itu tidak disikapi secara bijak, dengan menganggap produk mereka sendiri yang
paling benar dan pemikiran orang/kelompok lain yang berseberangan dengan mereka
adalah salah.
D.
Hadis Dalam Pandangan Para Pemikir Modern
Di wilayah Indo-Pakistan pada abad ke-19, berkembang golongan ahl
al-Hadis, yang mempunyai hubungan langsung dengan Syah Waliyullah al-Dihlawi.
Sebagaimana al-Dihlawi, ide sentral mereka adalah untuk mengadakan gerakan
purifikasi dan menegakkan kembali budaya ijtihad. Namun sayangnya,
dalam bidang hadis, ahl al-Hadis ini menyimpang dari doktrin moderat
al-Dihlawi dan malah menyamai gagasan tekstualis paling ekstrem dalam dunia
Islam, yakni aliran Dzahiriyah. Bagi mereka, hanya dengan sunnah yang
direpresentasikan dengan hadis sahih lah, kemurnian warisan Nabi dapat
terpelihara. Otoritas hadis yang banyak dijunjung tinggi oleh ahl al-Hadis
bukan tanpa tantangan.[13]
Dalam pandangan Brown, tantangan besar pertama bagi sunnah pada
periode modern datang dari
modernis besar India, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898)
yang pada akhirnya menolak hampir keseluruhan hadis Nabi dan dianggap
tidak dapat dipercaya. Bagi Khan, hadis yang dapat diterima hanya
yang berpredikat mutawātir , yang ditemukan olehnya hanya berjumlah
lima buah. Sekitar masa yang sama, di Mesir muncul pula Muhammad Abduh
yang skeptis pada otentisitas hadis. Sebagaimana Khan, Abduh memandang hanya
hadis-hadis mutawātir saja yang mengikat. Puncak penolakan hadis terjadi
pada era setelah Khan dan Abduh yang ditandai dengan munculnya ahl al-Qur’an sebagai
gerakan oposisi ahl al-Hadis. Gerakan ini terbentuk di Punjab pada awal abad
kedua puluh. Aktifitas ahl al-Qur’an terkonsentrasi pada dua pusat penting ahl
al-Hadis di Punjab Barat, yaitu di Lahore dan Amritsar.[14]
Pada kota pertama, gerakan
ahl al-Qur’an dipimpin oleh Abdullah Chakralawi (w.
1930), sedangkan di kota kedua didirikan oleh Khwaja Ahmad Din
Amritsari (w. 1936). Dalam pandangan ahlal-Qur’an, kemalangan umat Islam
disebabkan oleh hadis. Mereka juga berpendapat bahwa Islam yang murni
hanya dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Ada pula Taufiq Sidqi di Mesir dalam
artikel kontroversialnya yang terbit di majalah al-Mannar“al-Islam
huwaal-Qur’an wahdah”, yang memperkenalkan gagasan yang hamper serupa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa studi hadis dikalangan
muslim melahirkan dua kubu yang saling berhadapan satu dengan lainnya, yaitu
golongan pendukung sunnah dan pengingkar sunnah (inkar al-Sunnah). Setelah itu,
muncul satu golongan lagi yang berstatus sebagai sintesis atas
keduanya. Golongan tersebut adalah para pemikir pembaharu
(Revivalist Thinker ). Menurut Brown, para pemikir pembaharu tersebut
berperang di antara dua front . Pada satu sisi, mereka membela sunnah
dari serangan kaum penentang hadis dan menegakkan surat mandat mereka sebagai
pelindung sunnah. Namun di sisi lainnya, mereka mengklaim memiliki hak untuk
menginter pretasikan sunnah sendiri, yang lepas dari ulama konservatif.[15]
Secara umum, pendekatan yang dipergunakan oleh kaum pembaharu
berkutat pada dua hal, yaitu:[16]
1.
sangat
tidak mempercayai tradisi klasik kesarjanaan muslim, yang terefkelsikan dalam
penolakan keras terhadap taqlid.
2.
Komitmen
otoritas sumber-sumber kanonik, yaitu al-Qur’an dan sunnah.
Akan tetapi sesuai dengan penolakan mereka terhadap taqlid,
komitmen mereka terhadap otoritas al-Qur’an dan sunnah tidak mengesampingkan
untuk kembali memikirkan bagaimana sumber-sumber tersebut harus dipahami.
Mengenai hadis, kaum pembaharu mempunyai komitmen terhadap otoritas Nabi,
dengan tanpa menerima keterikatan yang kaku pada kitab hadis, atau dengan kata
lain memastikan keotentikan tanpa mengorbankan fleksibilitas suatu hadis. Salah
satu isu sentral dalam pemikiran golongan pembaharu adalah mengenai integrasi
keilmuan fikih dalam memahami hadis. [17]
E.
Ahli Hadis Dan Ahli Hukum (Fiqh)
Perlu diketahui, bahwa pertentangan ahli hadis dan ahli hukum
digambarkan sebagai pententangan antara teoritisi dan
pragmatis, yang berdampak pada perbedaan sikap secara fundamental pada
hadis. Muhaddis hanya concern pada rantai periwayat hadis, dan
mendasarkan justifikasi mereka pada dasar-dasar formal. Sementara Faqih
memperhatikan konten, semangat, dan relevansi sunnah dengan konteks syariah
secara keseluruhan. Di wilayah Pakistan, terdapat salah seorang pendukung paham
dihidupkannya kembali pendekatan fiqih pada kritik matan. Ia murid Sayyid Ahmad
Khan sekaligus neo-Hanafi
yang bernama adalah Syibli Nu’mani. Menurut al-Sibli,
perlu adanya pastisipasi fikih dalam studi hadis. Antara muhaddis dan faqih,kata
al-Sibli, memiliki pendekatan yang berbeda. Lebih jauhnya, kalangan muhaddis
hanya berkelana untuk mengumpulkan hadis, sedang faqih hanya memperhatikan
hadis yang mempunyai nilai hukum, memfokuskan tenaganya dalam bidang fikih, dan
tidak mengabdikan hidupnya untuk menghimpun hadis-hadis yang bertebaran.
Implikasi yang dihasilkan, faqih lebih berhati-hati dan
lebih ketat dalam pendekatannya dalam memahami hadis, berbeda dengan muhaddis
yang hanya mengumpulkannya. Faqih yang direpresentasikan oleh Abu Hanifah,
menurutal-Sibli, mempunyai dua kriteria yang lebih ketat dalam kritik hadis.[18]
Pertama, aturan yang diterapkan pada transmisi hadis jauh lebih ketat. Abu
Hanifah kekeuh bahwa hanya hadis secara fisik didengar dan secara verbatim
diingat secara akurat oleh periwayat, yang dapat diterima. [19]
Hal ini dipengaruhi oleh tidak adanya aplikasi kritik
hadis yang sistematis dan merebaknya hadis-hadis palsu. Kedua, penerapan
sistem kritik internal (matan), yang disebut ilmu dirayah. Ilmu ini mencakup
justifikasi apakah sebuah riwayat sesuai dengan rasio, sifat dasar manusia, dan
dengan kondisi historis. Selain al-Sibli, muncul pula nama Muhammad al
Ghazali yang menjabarkan urgensitas metode fikih
dalam studi hadis. Al-Ghazali menyadari bahwa metode tersebut inheren
dalam studi hadis klasik, tetapi belum dipahami secara benar. Menurutnya, ahli
hadis sangat memperhatikan untuk mengumpulkan hadis dan menguji rantai
periwayatnya. Tugas tersebut tidak akan pernah bisa lengkap sampai faqih
meneliti hadis dari cacat matan. Ilustrasi yang dibuat oleh
al-Ghazali adalah, ahli hadis sebagai tukang yang mengumpulkan bahan
bangunan, sedangkan ahli fikih lah yang membuat bangunan tersebut. Dengan
demikian, keduanya dapat saling melengkapi kekurangan
masing-masing. Tema lain yang diangkat oleh kaum pembaharu adalah
tentang sunnah dan batasan-batasannya (boundaries) dengan al-Qur’an.[20]
Sebagaimana lazim diketahui bahwa pada dasarnya al-Qur’an mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari pada hadis,tetapi dalam taraf praksisnya,
justru hadislah yang lebih berkuasa. Paling tidak fenomena ini tercermin dalam
pendapat al-Syafi’i yang menyatakan bahwa sunnah tidak dapat dibatalkan oleh
al-Qur’an,sebab sunnah membuat perintah-perintah al-Qur’an yang umum menjadi
spesifik. Hal ini mengandung makna, sumber pertama (al-Qur’an) tidak dapat
mengalahkan sumber kedua (hadis)[21]
F.
Perdebatan Seputar Otoritas Hadis Nabi: Sebuah Refleksi
Kritis
Ibnu Hibban al-Busti menolak adanya transmisi mutawātir dalam literatur hadis. Begitu pula Ibnu Shalah yang skeptis
padahadis mutawātir , tetapi masih
mengamini satu hadis mutawātir, yaitu hadis man kadzaba.[22]
Kemudian, muncul Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai gerakan oposisi
kalangan skeptis. Di kubu yang sama, muncul Jalaluddin al-Suyuthi yang
mengkompilasikan hadis-hadis mutawātir dan setelah ditotal
ternyata berjumlah 113, sementara al-Kattani berhasil menambah
koleksi hadis mutawātir menjadi
310. Pengetahuan yang dimiliki oleh transmisi mutawātir bersifat aksiomatis
(ilm al-dharuri), sehingga
tidak dapat diragukan. Sebaliknya, transmisi ahad hanya menghasilkan pengetahuan spekulatif (ilm al-nadhari) saja. Jika dikatakan mayoritas
hadis hanya berstatus ahad, maka secara umum dapat disebutkan bahwa pengetahuan yang
terkandung dalam hadis-hadis yang tersimpan dalam koleksi kanonik maupun
non-kanonik hanya berkutat pada pengetahuan spekulatif semata. Maka, pada titik
inilah klaim para penolak hadis dapat dibenarkan.[23]
Walaupun demikian, aspek penting yang harus dicatat
adalah harus adanya upaya kritisisme pada hadis Nabi, baik itu kritik eksternal
(sanad), maupun internal (matan), sehingga dari proses itu dapat ditemukan
makna-makna yang dekat dengan tradisi Nabi. Dalam kaitannya dengan ini, kiranya
pemikiran dari tokoh-tokoh pembaharu, seperti Muhammad al-Ghazali dengan
superioritas al-Qur’an dan integrasi ilmu fikihnya layak untuk ketengahkan.
Berbekal metode yang lebih kritis dibandingkan dengan metode ahli hadis, akan
diperoleh hasil yang lebih tepat. Dengan metode pemikiran kaum pembaharu juga
akan didapatkan produk pemahaman hadis yang sesuai dengan semangat kenabian.[24]
Kritisisme tersebut juga dapat dilakukan
dengan menelaah aspek sejarah yang terjadi pada masa Nabi, sehingga studi hadis
tidak hanya berhenti pada aspek kritik eksternal dan internal saja. Lebih dari
itu, harus ada upaya pembongkaran makna yang terkandung di dalamnya ( fiqh al-Hadis),
yang dikolaborasikan dengan pendekatan historis kritis, baik yang bersifat
mikro maupun makro.Ini penting karena kesejarahan Nabi dengan sekarang
ini sangat berbeda jauh. Hasil dari upaya ini adalah agar
dapat diketahui latar belakang kemunculan suatu hadis dan
bagaimana menerapkannya pada era sekarang. Karena, bisa jadi sebuah hadis
secara tekstual bertentangan dengan prinsip al-Qur’an, tetapi
sebenarnya ia terkait pada peristiwa di zaman Rasulullah saja atau
bersifat partikular.[25]
Mengenai
tiga golongan pemikiran hadis, yaitu ahli hadis, ahli Qur’an, dan kaum
pembaharu, kiranya kemunculan ketiganya tidak bisa dilihat dengan kacamata
hitam putih.[26]
Jika memakai kacamata hitam-putih, maka produk pemikiran yang dihasilkan akan
menjadi sempit dan meniscayakan adanya perubahan dan pergeseran dalam setiap
masa, dan masalah serius yang ditimbulkan adalah munculnya truth claim.
Padahal, sebuah pemikiran seyogyanya akan selalu menerima kritikan dan
perbaikan, sehingga kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya dapat ditutupi
oleh pemikiran yang muncul kemudian.[27]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Upaya orang Islam dalam menafsirkan eksistensi hadis dalam tradisi
keislaman berujung pada tiga kelompok yang saling bersaing, yaitu kalangan ahli
hadis, ahli Qur’an atau inkar al- Sunnah, dan golongan pembaharu
(revivalis). Ketiganya mempunyai argumentasi sendiri-sendiri yang sulit untuk
disatukan. Terkaithal ini, kemunculan ketiganya dalam khazanah studi Islam tidak bisa dilihat
dengan kacamata hitam-putih, tetapi harus dengan cara
pandang shifting paradigm. Makna cara pandang ini adalah, pemikiran yang
pertama muncul dikritik dan disempurnakan oleh pemikiran kedua, pemikiran kedua
dikritik dan disempurnakan oleh pemikiran ketiga, dan begitu seterusnya. Jika
menilai keberadaan ahli hadis, ahli Qur’an, dan golongan pembaharu, kiranya
golongan ketiga dapat dianggap sebagai pemikiran yang representatif dan solutif
bagi dunia kontemporer. Ini dibuktikan dengan fleksibilitas mereka dalam
memahami hadis, yang didasarkan atas pendekatan
kesahihan matan hadis yang lebih kritis serta munculnya kesadaran sejarah
yang berlainan antara teks dan pembaca.
B.
Saran
Dari pembahasan hadis dimata para
pemikir modern
tersebut, perlu kiranya bagi peneliti selanjutnya agar meneliti lebih lanjut
mengenai kajian-kajian hadis, guna menambah wawasan bagi masyarakat dan
pelajar khususnya, serta informasi bagi peneliti sebelumnya terkait dengan permasalahan
yang ada.
DFTAR PUSTAKA
Afwadzi, Benny.”Hadis Dimata Para
Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown),”Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis ,2 Juli, 2014.
Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabi,
Antara Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual, Bandung: Mizan, 1996.
Al-Khathib,
Muhammad ‘Ajaj. Ushul
al-hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr.
Daniel W.Brown, Menyoal
Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, Bandung: Mizan, 1996.
Ismail, Suhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung: Karisma, 1999.
Rahmat, Aceng Dkk. Filsafat
Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011.
Suryadi, Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas
Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dan Yusuf Al-Qardhawi). Ringkasan
Disertasi, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004.
[1] Benny
Afwadzi,”Hadis Dimata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya Daniel
Brown),”Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis ,2 (Juli, 2014),
hlm.230
[2] Muhammad Al-Ghazali, Studi
Kritis Atas Hadis Nabi, Antara Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual,
(Bandung: Mizan, 1996).
[3] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib. Ushul al-hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr,),. hlm. 305.
[4] Suhudi Ismail, Kaidah
Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta:
Bulan Bintang, 1995), hlm. 111
[5] Muhammad Al-Ghazali, Studi
Kritis, hlm. 15
[6] Suryadi, Metode
Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dan Yusuf Al-Qardhawi).
Ringkasan Disertasi, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga,
2004), hlm.6
[8] Suryadi, Metode
hlm.6
[9] Yusuf Qardhawi, Bagaimana
Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung:
Karisma, 1999), hlm. 92
[10] Yusuf Qardhawi, Bagaimana,
hlm. 92
[11] Daniel W.Brown,Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern(Bandung:
Mizan, 1996), hlm. 18
[13] Benny Afwadzi,”Hadis
Dimata, hlm.232
[14] Benny
Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.233
[16] Benny
Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.233
[27] Aceng Rahmat
Dkk. Filsafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar