Sabtu, 02 April 2016

HADIS DI MATA PARA PEMIKIR MODERN (TELAAH BUKU RETHINKING KARYA DANIEL BROWN: BENNY AFWADZI)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi. Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan. Isu sentral dalam perjuangan yang terus berlangsung ini adalah masalah hakekat, status, dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Nabi Muhammad saw.). karena status Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar Muslim sebagai sebuah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Akan tetapi, selama abad ke-20, kedudukan sunnah terancam dengan berbagai cara, ketika para pemikir Muslim mencari basis kuat bagi kebangkitan kembali Islam. Masalah sunnah telah menjadi sisi paling penting dalam krisis Muslim modern seperti krisis otoritas keagamaan, yang menduduki tempat sentral di dalam wacana keagamaan muslim.
Daniel Brown merupakan salah satu sarjana Barat yangtertarik dan intens mengkaji problem perdebatan mengenai otoritashadis di atas. Dalam tulisannya, Brown mendeskripsikan bagaimana sunnah dipahami oleh golongan pro dan kontra, maupun kalangan pembaharu (revivalist thinker) sebagai sintesis antara keduanya. Untuk itu penulis mencoba untuk mereview jurnal dari Benny Afwadzi tentang Hadis Di Mata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown).


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan diskripsi diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan kami bahas dalam makalah ini. Antara lain sebagai barikut :
1.      Bagaimana biografi daniel brown?
2.      Bagaimana hadis dalam pandangan para pemikir modern?
3.      Bagaimana sikap pemikir kontemporer terhadap hadis?

C.    Tujuan
1.      Mengetahui bagaimana biografi daniel brown?
2.      Mengetahui bagaimana hadis dalam pandangan para pemikir modern?
3.      Mengetahui bagaimana sikap pemikir kontemporer terhadap hadis?











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Daniel Brown
Daniel Brown adalah Direktur Institute for the Study of Religion in Middle East (ISRME). Ia pernah tinggal di Mesir dan Pakistan, tetapi sekarang menetap di Istanbul, Turki. Pada tahun1993, Brown berhasil memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang studi Islam, dari Universitas Chicago. Ia pernah memberikan kuliah studi Islam di Mount Holyoke College dan Smith College, serta masih menjadi dosen terbang di International Islamic University Islamabad, the Institute of Islamic Culture Lahore, dan Cairo University. Sampai saat ini, Brown menghasilkan dua karya yang telah dipublikasikan, yaitu Rethinking Traditional in Modern Islamic Thought dan A New Introduction Islam.
Dalam Rethinking, Brown menjelaskan bahwa karyanya ini terinspirasi oleh salah seorang pemikir hebat asal Negara Indo-Pakistan, yaitu Fazlur Rahman. Dalam bagian preface, ia mengatakan bahwa: “Studi ini mendapat inspirasi dari Fazlur Rahman, seorang sarjana pemikiran Islam modern dan merupakan salah seorang kontributor utama bagi pemikiran ulang tradisi Islam (sunnah) yang menjadi fokus buku ini. kepedulian dirinya secara pribadi terhadap pertanyaan-pertanyaan terkait dengan sunnah memberikan sinyal pada saya akan pentingnya topik ini bagi muslim modern..”[1]
Daniel Brown membagi bukunya dalam tujuh bab, yang didahului oleh pendahuluan yang berjudul prisma modernitas (prism of modernity). Adapun bab-bab yang dibahas adalah:
1.      Relevansi masa lalu: konsepsi klasik tentang otoritas kenabian (therelevance of the past: classical conceptions of Prophetic authority)
2.      Munculnya tantangan modern pada hadis (the emergence of  modern challenges to tradition)
3.      Batas-Batas wahyu (Boundaries of Revelation);
4.      Sifat dasar otoritas kenabian (the nature of Propheticauthority)
5.      Otentisitas hadis (the authenticity of hadith)
6.      Sunnah dan kebangkitan Islam (Sunna and Islamic Revivalism)
7.      Kesimpulan: Spektrum perubahan (Conclusion: the spectrumof change)
B.     Sikap Pemikir Kontemporer Terhadap Hadis
Hadis di mata mayoritas orang Islam dipandang sebagai salah satu sumber pengetahuan keagamaan yang penting, dan dipahami sebagai sumber normatif kedua setelah al-Qur’an.
1.      Muhammad Al-Ghazali 
Pada tahun 1989, syaikh Muhammad Al-Ghazali, menerbitkan sebuah buku dengan judul The Sunna of the Prophet: Between the Legist and the Tradisionist.[2] Buku ini menjadi fokus perhatian dan kontroversi. Dalam bukunya, Al-Ghazali mengetengahkan banyak tema pokok dalam tentang otoritas religius, seperti hubungan antara Al-Qur’an dan Sunnah, bagaimana posisi hadis Nabi saw. sebagai sumber hukum Islam, dan bagaimana metode kritik hadis. Polemik itu terutama disebabkan oleh hadis-hadis sahih yang dipertanyakan kembali oleh Muhammad al-Ghazali karena dianggap kontradiksi dengan ajaran al-Qur’an, kebenaran ilmiah maupun historis.
a.       Metode Pemahaman Hadis Muhammad  al-Ghazali
Sikap para pemikir kontemporer terhadap sunnah harus dipahami dan dibandingkan dengan melihat bagaimana pola dasar pemikiran para pemikir klasik, menurut ilmu kritik hadis klasik, kesahihan hadis ditentukan oleh tiga kriteria,
1.      sejauh mana sebuah riwayat dapat dikuatkan oleh riwayat lain yang identik dari periwayat lain,
2.      keadilan dan kedhabitan periwayat,
3.      kesinambungan dengan rantai periwayatan. Hadis seperti ini disebutmutawatir.
Adapun mengenai hadis ahad, para ulama klasik mensyaratkan harus melewati lima tahap pengujian. Di antaranya adalah;[3]
a.       Kesinambungan periwayat (ittishal)
b.      Adalah periwayat, yaitu mereka harus menjunjung tinggi agama, dan tidak melakukan dosa-dosa besar
c.       Akurasi proses periwayatan, seperti periwayat tidak boleh ceroboh atau diketahui memiliki daya ingat yang lemah
d.      Bebas dari syudzudz, yaitu kontradiksi dengan sumber-sumber yang lebih dapat dipercaya
e.       Bebas dari cacat-cacat penyimpangan (‘illat qadhihah), yaitu ketidaktepatan dalam melakukan periwayatan.
Aturan ini merupakan bentuk ringkas dari metode yang digunakan muhaddisun untuk membedakan hadis-hadis autentik. Penerapan sistematis metode ini tampak pada kitab-kitab besar hadis sahih, yang merupakan puncak keilmuan hadis klasik.[4] Menurut Muhammad al-Ghazali, ada 5 kriteria untuk menguji kesahihan hadis, 3 berkaitan dengan sanad dan 2 berkaitan dengan matan. Tiga kriteria yang berkaitan dengan sanad adalah;  (1) Periwayat  dhabit, (2) Periwayat adil, dan (3) Poin satu dan dua harus dimiliki seluruh rawi dalam sanad [5]
Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama hadis klasik, Muhammad al-Ghazali tidak memasukkan ketersambungan sanad sebagai kriteria kesahihan hadis, bahkan unsur ketiga sebenarnya sudah masuk ke dalam kriteria poin dua. Dalam hal ini Muhammad al-Ghazali tidak memberikan argumentasi sehingga sangat sulit untuk ditelusuri, apakah ini merupakan salah pemikiran atau ada unsur kesengajaan. [6]
Adapun 2 kriteria yang berkaitan dengan matan, adalah:
1.      Matan hadis tidak syadz (salah seorang atau beberapa periwayatnya bertentangan periwayatannya dengan periwayat yang lebih akurat dan lebih dapat dipercaya)
2.      Matan hadis tidak mengandung illat qadhihah (cacat yang diketahui oleh para ahli hadis sehingga mereka menolak periwayatannya)
Menurut Muhammad al-Ghazali untuk merealisasikan kriteria-kriteria tersebut, maka diperlukan kerjasama antara muhaddis dengan berbagai ahli-ahli lain termasuk fuqaha’, mufassir, ahli ushul fiqh dan ahli ilmu kalam, mengingat materi hadis ada yang berkaitan dengan akidah, ibadah, mu’amalah sehingga memerlukan pengetahuan dengan berbagai ahli tersebut.  [7]
Muhammad al-Ghazali mengecam keras orang-orang yang memahami secara tekstual hadis-hadis yang sahih sanadnya, namun matannya bertentangan dengan al-Qur’an. Al-Qur’an menurut Muhammad al-Ghazali adalah sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis adalah sumber kedua. Dalam memahami al-Qur’an hadis sangat penting, karena hadis adalah penjelas teoritis dan praktis bagi al-Qur’an. Oleh karena itu, sebelum melakukan kajian tentang matan hadis, perlu upaya intensif memahami al-Qur’an sebagaimana pernyataannya: “Jelas bahwa untuk menetapkan kebenaran suatu hadis dari segi matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang al-Qur’an serta kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara langsung atau tidak”. [8]
2.      Yusuf Qardhawi
Di antara para pemikir kontemporer, Al-Qardhawi memberikan  penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut Al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[9] Atas dasar inilah maka Al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu:
a.       penyimpangan kaum ekstrim,
b.      manipulasi orang-orang sesat, (Intihal al-Mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah,
c.       penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin).
Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
1.      Metode Pemahaman Hadis Yusuf al-Qardhawi
Untuk merealisasikan metodenya, Yusuf Qardhawi menerapkan prinsip-prinsip dasar yang harus ditempuhnya ketika berinteraksi dengan sunnah, yaitu;
a.       Meneliti kesahihan hadis sesuai dengan acuan umum yang ditetapkan oleh pakar hadis yang dapat di percaya, baik sanad maupun matan.
b.      Memahami sunnah sesuai dengan pengetahuan bahasa, konteks, asbab al-wurud teks hadis untuk menentukan makna suatu hadis yang sebenarnya.
c.       Memastikan bahwa sunnah yang dikaji tidak bertentangan dengan nash-nash yang lebih kuat.
Adapun untuk melakukan prinsip-prinsip dasar itu, maka Al-Qardhawi mengemukakan 8 langkah yaitu:[10]
1.      Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an.
2.      Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
3.      Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
4.      Memahami Hadis Sesuai dengan Latar Belakang, Situasi dan Kondisi serta Tujuannya.
5.      Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap.
6.      Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
7.      Membedakan antara yang Gaib dan yang Nyata.
8.      Memastikan Makna Kata-kata dalam Hadis
C.    Implementasi Pemikiran Tokoh
Jika dicermati beberapa prinsip pemahaman hadis nabi yang ditawarkan oleh Muhammad Al-Ghazali dan Yusuf Al-Qardhawi sebenarnya sangat urgen untuk menggali nilai-nilai hadis yang relevan dengan kebutuhan historis sekarang ini. Hal ini penting mengingat pemahaman atas kedudukan hadis nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat yang sama menjadi relevan dengan masyarakat sekarang ini. Relevan dengan dirinya sendiri berarti kandungan maknanya terbatas pada nilai-nilai yang dikandungnya, relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa relevansi tersebut berlangsung pada pemahaman yang rasional.[11]
Dengan kata lain, kedua tokoh tersebut mempertegas bahwa Islam adalah agama yang universal yang berlaku untuk setiap masa dan tempat, maka secara substansial formulasi tersebut mengisyaratkan fleksibilitas ajaran Islam, bukan sebaliknya sebagai sesuatu yang kaku dan ketat. Bagaimanapun juga berbagai macam temuan dan teknologi yang cukup pesat mengharuskan perlunya pengkajian terhadap pemahaman hadis nabi. Interaksi antara budaya yang berkembang dengan ajaran Islam yang bersumber dari teks, untuk selanjutnya dapat dipastikan akan berhadapan dengan kenyataan yang lebih berat dan kompleks. Oleh sebab itu, aspek budaya tidak dapat diabaikan dalam kajian hadis.[12]
Munculnya pemahaman hadis perspektif Yusuf Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali mengarah pada upaya pengembangan pemikiran hadis sebagai sesuatu yang positif untuk ditumbuhkembangkan. Beberapa kriteria yang ditawarkan Yusuf Qardhawi dan Muhammad Al-Ghazali telah memberi manfaat dalam menggali nilai-nilai hadis yang relevan konteks historis saat ini. Namun disisi lain harus disadari, maraknya berbagai pemahaman terhadap hadis nabi membuka peluang semakin melebarnya perpecahan di kalangan umat Islam, jika perbedaan pandangan itu tidak disikapi secara bijak, dengan menganggap produk mereka sendiri yang paling benar dan pemikiran orang/kelompok lain yang berseberangan dengan mereka adalah salah.
D.    Hadis Dalam Pandangan Para Pemikir Modern
Di wilayah Indo-Pakistan pada abad ke-19, berkembang golongan ahl al-Hadis, yang mempunyai hubungan langsung dengan Syah Waliyullah al-Dihlawi. Sebagaimana al-Dihlawi, ide sentral mereka adalah untuk mengadakan gerakan purifikasi dan menegakkan kembali budaya ijtihad. Namun sayangnya, dalam bidang hadis, ahl al-Hadis ini menyimpang dari doktrin moderat al-Dihlawi dan malah menyamai gagasan tekstualis paling ekstrem dalam dunia Islam, yakni aliran Dzahiriyah. Bagi mereka, hanya dengan sunnah yang direpresentasikan dengan hadis sahih lah, kemurnian warisan Nabi dapat terpelihara. Otoritas hadis yang banyak dijunjung tinggi oleh ahl al-Hadis bukan tanpa tantangan.[13]
Dalam pandangan Brown, tantangan besar pertama bagi sunnah pada periode modern datang dari modernis besar India, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) yang pada akhirnya menolak hampir keseluruhan hadis Nabi dan dianggap tidak dapat dipercaya. Bagi Khan, hadis yang dapat diterima hanya yang berpredikat mutawātir , yang ditemukan olehnya hanya berjumlah lima buah. Sekitar masa yang sama, di Mesir muncul pula Muhammad Abduh yang skeptis pada otentisitas hadis. Sebagaimana Khan, Abduh memandang hanya hadis-hadis mutawātir saja yang mengikat. Puncak penolakan hadis terjadi pada era setelah Khan dan Abduh yang ditandai dengan munculnya ahl al-Qur’an sebagai gerakan oposisi ahl al-Hadis. Gerakan ini terbentuk di Punjab pada awal abad kedua puluh. Aktifitas ahl al-Qur’an terkonsentrasi pada dua pusat penting ahl al-Hadis di Punjab Barat, yaitu di Lahore dan Amritsar.[14]
Pada kota pertama, gerakan ahl al-Qur’an dipimpin oleh Abdullah Chakralawi (w. 1930), sedangkan di kota kedua didirikan oleh Khwaja Ahmad Din Amritsari (w. 1936). Dalam pandangan ahlal-Qur’an, kemalangan umat Islam disebabkan oleh hadis. Mereka juga berpendapat bahwa Islam yang murni hanya dapat ditemukan dalam al-Qur’an. Ada pula Taufiq Sidqi di Mesir dalam artikel kontroversialnya yang terbit di majalah al-Mannar“al-Islam huwaal-Qur’an wahdah”, yang memperkenalkan gagasan yang hamper serupa.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa studi hadis dikalangan muslim melahirkan dua kubu yang saling berhadapan satu dengan lainnya, yaitu golongan pendukung sunnah dan pengingkar sunnah (inkar al-Sunnah). Setelah itu, muncul satu golongan lagi yang berstatus sebagai sintesis atas keduanya. Golongan tersebut adalah para pemikir pembaharu (Revivalist Thinker ). Menurut Brown, para pemikir pembaharu tersebut berperang di antara dua front . Pada satu sisi, mereka membela sunnah dari serangan kaum penentang hadis dan menegakkan surat mandat mereka sebagai pelindung sunnah. Namun di sisi lainnya, mereka mengklaim memiliki hak untuk menginter pretasikan sunnah sendiri, yang lepas dari ulama konservatif.[15]
Secara umum, pendekatan yang dipergunakan oleh kaum pembaharu berkutat pada dua hal, yaitu:[16]
1.      sangat tidak mempercayai tradisi klasik kesarjanaan muslim, yang terefkelsikan dalam penolakan keras terhadap taqlid.
2.      Komitmen otoritas sumber-sumber kanonik, yaitu al-Qur’an dan sunnah.
Akan tetapi sesuai dengan penolakan mereka terhadap taqlid, komitmen mereka terhadap otoritas al-Qur’an dan sunnah tidak mengesampingkan untuk kembali memikirkan bagaimana sumber-sumber tersebut harus dipahami. Mengenai hadis, kaum pembaharu mempunyai komitmen terhadap otoritas Nabi, dengan tanpa menerima keterikatan yang kaku pada kitab hadis, atau dengan kata lain memastikan keotentikan tanpa mengorbankan fleksibilitas suatu hadis. Salah satu isu sentral dalam pemikiran golongan pembaharu adalah mengenai integrasi keilmuan fikih dalam memahami hadis. [17]
E.     Ahli Hadis Dan Ahli Hukum (Fiqh)
Perlu diketahui, bahwa pertentangan ahli hadis dan ahli hukum digambarkan sebagai pententangan antara teoritisi dan pragmatis, yang berdampak pada perbedaan sikap secara fundamental pada hadis. Muhaddis hanya concern  pada rantai periwayat hadis, dan mendasarkan justifikasi mereka pada dasar-dasar formal. Sementara Faqih memperhatikan konten, semangat, dan relevansi sunnah dengan konteks syariah secara keseluruhan. Di wilayah Pakistan, terdapat salah seorang pendukung paham dihidupkannya kembali pendekatan fiqih pada kritik matan. Ia murid Sayyid Ahmad Khan sekaligus neo-Hanafi yang bernama adalah Syibli Nu’mani. Menurut al-Sibli, perlu adanya pastisipasi fikih dalam studi hadis. Antara muhaddis dan faqih,kata al-Sibli, memiliki pendekatan yang berbeda. Lebih jauhnya, kalangan muhaddis hanya berkelana untuk mengumpulkan hadis, sedang faqih hanya memperhatikan hadis yang mempunyai nilai hukum, memfokuskan tenaganya dalam bidang fikih, dan tidak mengabdikan hidupnya untuk menghimpun hadis-hadis yang bertebaran.
Implikasi yang dihasilkan, faqih lebih berhati-hati dan lebih ketat dalam pendekatannya dalam memahami hadis, berbeda dengan muhaddis yang hanya mengumpulkannya. Faqih yang direpresentasikan oleh Abu Hanifah, menurutal-Sibli, mempunyai dua kriteria yang lebih ketat dalam kritik hadis.[18] Pertama, aturan yang diterapkan pada transmisi hadis jauh lebih ketat. Abu Hanifah kekeuh bahwa hanya hadis secara fisik didengar dan secara verbatim diingat secara akurat oleh periwayat, yang dapat diterima. [19]
Hal ini dipengaruhi oleh tidak adanya aplikasi kritik hadis yang sistematis dan merebaknya hadis-hadis palsu. Kedua, penerapan sistem kritik internal (matan), yang disebut ilmu dirayah. Ilmu ini mencakup justifikasi apakah sebuah riwayat sesuai dengan rasio, sifat dasar manusia, dan dengan kondisi historis. Selain al-Sibli, muncul pula nama Muhammad al  Ghazali yang menjabarkan urgensitas metode fikih dalam studi hadis. Al-Ghazali menyadari bahwa metode tersebut inheren dalam studi hadis klasik, tetapi belum dipahami secara benar. Menurutnya, ahli hadis sangat memperhatikan untuk mengumpulkan hadis dan menguji rantai periwayatnya. Tugas tersebut tidak akan pernah bisa lengkap sampai faqih meneliti hadis dari cacat matan. Ilustrasi yang dibuat oleh al-Ghazali adalah, ahli hadis sebagai tukang yang mengumpulkan bahan bangunan, sedangkan ahli fikih lah yang membuat bangunan tersebut. Dengan demikian, keduanya dapat saling melengkapi kekurangan masing-masing. Tema lain yang diangkat oleh kaum pembaharu adalah tentang sunnah dan batasan-batasannya (boundaries) dengan al-Qur’an.[20]
Sebagaimana lazim diketahui bahwa pada dasarnya al-Qur’an mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada hadis,tetapi dalam taraf praksisnya, justru hadislah yang lebih berkuasa. Paling tidak fenomena ini tercermin dalam pendapat al-Syafi’i yang menyatakan bahwa sunnah tidak dapat dibatalkan oleh al-Qur’an,sebab sunnah membuat perintah-perintah al-Qur’an yang umum menjadi spesifik. Hal ini mengandung makna, sumber pertama (al-Qur’an) tidak dapat mengalahkan sumber kedua (hadis)[21]
F.     Perdebatan Seputar Otoritas Hadis Nabi: Sebuah Refleksi Kritis
Ibnu Hibban al-Busti menolak adanya transmisi mutawātir dalam literatur hadis. Begitu pula Ibnu Shalah yang skeptis padahadis mutawātir , tetapi masih mengamini satu hadis mutawātir, yaitu hadis man kadzaba.[22] Kemudian, muncul Ibnu Hajar al-Asqalani sebagai gerakan oposisi kalangan skeptis. Di kubu yang sama, muncul Jalaluddin al-Suyuthi yang mengkompilasikan hadis-hadis mutawātir dan setelah ditotal ternyata berjumlah 113, sementara al-Kattani berhasil menambah koleksi hadis mutawātir menjadi 310.  Pengetahuan yang dimiliki oleh transmisi mutawātir bersifat aksiomatis (ilm al-dharuri), sehingga tidak dapat diragukan. Sebaliknya, transmisi ahad hanya menghasilkan pengetahuan spekulatif (ilm al-nadhari) saja. Jika dikatakan mayoritas hadis hanya berstatus ahad, maka secara umum dapat disebutkan bahwa pengetahuan yang terkandung dalam hadis-hadis yang tersimpan dalam koleksi kanonik maupun non-kanonik hanya berkutat pada pengetahuan spekulatif semata. Maka, pada titik inilah klaim para penolak hadis dapat dibenarkan.[23]
Walaupun demikian, aspek penting yang harus dicatat adalah harus adanya upaya kritisisme pada hadis Nabi, baik itu kritik eksternal (sanad), maupun internal (matan), sehingga dari proses itu dapat ditemukan makna-makna yang dekat dengan tradisi Nabi. Dalam kaitannya dengan ini, kiranya pemikiran dari tokoh-tokoh pembaharu, seperti Muhammad al-Ghazali dengan superioritas al-Qur’an dan integrasi ilmu fikihnya layak untuk ketengahkan. Berbekal metode yang lebih kritis dibandingkan dengan metode ahli hadis, akan diperoleh hasil yang lebih tepat. Dengan metode pemikiran kaum pembaharu juga akan didapatkan produk pemahaman hadis yang sesuai dengan semangat kenabian.[24]
Kritisisme tersebut juga dapat dilakukan dengan menelaah aspek sejarah yang terjadi pada masa Nabi, sehingga studi hadis tidak hanya berhenti pada aspek kritik eksternal dan internal saja. Lebih dari itu, harus ada upaya pembongkaran makna yang terkandung di dalamnya ( fiqh al-Hadis), yang dikolaborasikan dengan pendekatan historis kritis, baik yang bersifat mikro maupun makro.Ini penting karena kesejarahan Nabi dengan sekarang ini sangat berbeda jauh. Hasil dari upaya ini adalah agar dapat diketahui latar belakang kemunculan suatu hadis dan bagaimana menerapkannya pada era sekarang. Karena, bisa jadi sebuah hadis secara tekstual bertentangan dengan prinsip al-Qur’an, tetapi sebenarnya ia terkait pada peristiwa di zaman Rasulullah saja atau bersifat partikular.[25]
Mengenai tiga golongan pemikiran hadis, yaitu ahli hadis, ahli Qur’an, dan kaum pembaharu, kiranya kemunculan ketiganya tidak bisa dilihat dengan kacamata hitam putih.[26] Jika memakai kacamata hitam-putih, maka produk pemikiran yang dihasilkan akan menjadi sempit dan meniscayakan adanya perubahan dan pergeseran dalam setiap masa, dan masalah serius yang ditimbulkan adalah munculnya truth claim. Padahal, sebuah pemikiran seyogyanya akan selalu menerima kritikan dan perbaikan, sehingga kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya dapat ditutupi oleh pemikiran yang muncul kemudian.[27]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Upaya orang Islam dalam menafsirkan eksistensi hadis dalam tradisi keislaman berujung pada tiga kelompok yang saling bersaing, yaitu kalangan ahli hadis, ahli Qur’an atau inkar al- Sunnah, dan golongan pembaharu (revivalis). Ketiganya mempunyai argumentasi sendiri-sendiri yang sulit untuk disatukan. Terkaithal ini, kemunculan ketiganya dalam khazanah studi Islam tidak bisa dilihat dengan kacamata hitam-putih, tetapi harus dengan cara pandang shifting paradigm. Makna cara pandang ini adalah, pemikiran yang pertama muncul dikritik dan disempurnakan oleh pemikiran kedua, pemikiran kedua dikritik dan disempurnakan oleh pemikiran ketiga, dan begitu seterusnya. Jika menilai keberadaan ahli hadis, ahli Qur’an, dan golongan pembaharu, kiranya golongan ketiga dapat dianggap sebagai pemikiran yang representatif dan solutif bagi dunia kontemporer. Ini dibuktikan dengan fleksibilitas mereka dalam memahami hadis, yang didasarkan atas pendekatan  kesahihan matan hadis yang lebih kritis serta munculnya kesadaran sejarah yang berlainan antara teks dan pembaca.

B.     Saran
Dari pembahasan hadis dimata para pemikir modern tersebut, perlu kiranya bagi peneliti selanjutnya agar meneliti lebih lanjut mengenai kajian-kajian hadis, guna menambah wawasan bagi masyarakat dan pelajar khususnya, serta informasi bagi peneliti sebelumnya terkait dengan permasalahan yang ada.





DFTAR PUSTAKA

Afwadzi, Benny.”Hadis Dimata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown),”Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis ,2 Juli, 2014.
Al-Ghazali, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabi, Antara Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual, Bandung: Mizan, 1996.
Al-Khathib, Muhammad ‘Ajaj. Ushul al-hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr.
Daniel W.Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern, Bandung: Mizan, 1996.
Ismail, Suhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Bandung: Karisma, 1999.
Rahmat, Aceng Dkk. Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011.
Suryadi, Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dan Yusuf Al-Qardhawi). Ringkasan Disertasi, Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004.






[1] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata Para Pemikir Modern (Telaah Buku Rethinking Karya Daniel Brown),”Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis ,2 (Juli, 2014), hlm.230
[2] Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi, Antara Pemahaman Tekstual Dan Kontekstual, (Bandung: Mizan, 1996).
[3] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib. Ushul al-hadis ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,),. hlm. 305.
[4] Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 111
[5] Muhammad Al-Ghazali, Studi Kritis, hlm. 15
[6] Suryadi, Metode Pemahaman Hadis Nabi (Telaah Atas Pemikiran Muhammad Al-Ghazali Dan Yusuf Al-Qardhawi). Ringkasan Disertasi, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, 2004), hlm.6
[7] Suryadi, Metode , hlm.6
[8] Suryadi, Metode hlm.6
[9] Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, (Bandung: Karisma, 1999), hlm. 92
[10] Yusuf Qardhawi, Bagaimana, hlm. 92
[11] Daniel W.Brown,Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Islam Modern(Bandung: Mizan, 1996), hlm. 18
[12] Daniel W. Brown, Menyoal, hlm. 19
[13] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.232
[14] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.233
[15] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.233
[16] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.233
[17] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.234
[18] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.234
[19] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.235
[20] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.235
[21] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.235
[22] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.237
[23] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.237
[24] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.238
[25] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.238
[26] Benny Afwadzi,”Hadis Dimata, hlm.239
[27] Aceng Rahmat Dkk. Filsafat Ilmu Lanjutan (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar