Sabtu, 02 April 2016

AKULTURASI, KOLABORASI, DAN INTEGRASI ANTARA AGAMA DAN NALAR MITIS (SAINS KEARIFAN LOKAL)

AKULTURASI, KOLABORASI, DAN INTEGRASI ANTARA AGAMA DAN NALAR MITIS (SAINS KEARIFAN LOKAL)
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang menjadi cabang dari ilmu pokok Antropologi, ilmu Antropologi Agama adalah sebuah bagian penting yang harus dipelajari oleh siapa saja yang ingin mendalami masalah lingkungan sosial mereka. Karena jika ingin mempelajari mengenai keadaan sosial masyarakat, maka mau tak mau Antropologi Agama merupakan syarat untuk mencapai pemahaman tentang keadaan masyarakat yang ingin dipelajari lebih mendalam. Seperti halnya ilmu-ilmu sosial yang lain, Antropologi Agama memiliki pokok pembahasan yaitu keadaan masyarakat sama seperti Sosiologi. Namun yang membedakan adalah Antropologi Agama lebih mengedepankan pengamatan mengenai keadaan manusia atau kelompok masyarakat itu dan aktifitas keberagamaan mereka ketimbang proses-proses sosial, mobilitas sosial, lapisan-lapisan sosial, dan sebagainya.
Sehingga kita tahu bahwa ilmu Antropologi Agama adalah sebuah kajian mengenai konsep kehidupan di masyarakat dalam konteks keberagamaan mereka, konsep-konsep agama mereka, sampai kepada kebudayaan yang dihasilkan dari aktifitas sosial agama mereka.  Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai akulturasi, kolaborasi, dan integrasi antara agama dan nalar mitis (sains kearifan loka). Untuk itu sangatlah diperlukan pemahaman mengenai antropologi agama terlebih dahulu.





B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan diskripsi diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan kami bahas dalam makalah ini. Antara lain sebagai barikut :
1.      Bagaimana agama dan mitos dalam kajian antropologi agama?
2.      Bagaimana relevansi agama dan mitos dilihat dari fungsinya?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Bagaimana agama dan mitos dalam kajian antropologi agama?
2.      Untuk mengetahui Bagaimana relevansi agama dan mitos dilihat dari fungsinya?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Antropologi.
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.[1] Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut: Menurut William A. Haviland, Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Menurut David Hunter, Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia. Menurut Koentjaraningrat; Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari Definisi Antropologi di atas, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.

B.     Kearifan Lokal Dalam Kajian Antropologi
Agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang melekat erat dalam diri manusia. Sifatnya sangat pribadi, terselubung dan kadang-kadang diliputi oleh hal-hal yang bernuansa mitologis. Kualitas etos seseorang amat ditentukan oleh nilai-nilai kepercayaan yang melekat pada dirinya, yang dalam bahasa agama, hal ini disebut sebagai aqidah. Orang bahkan rela mempertaruhkan hidupnya demi kepercayaan yang mereka yakini sebagai kebenaran.[2]
Dalam kaitannya dengan kepercayaan, manusia tidak dapat hidup tanpa mitologi atau sistem penjelasan tentang alam dan kehidupan, yang penjelasan dan kebenarannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Sehingga, pada urutannya, utuhnya mitologi akan menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan, utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai, dan kemudian, utuhnya sistem nilai itu sendiri akan memberi manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika), dan mendasari seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban.
Keaneka ragaman ini menjadi lebih nyata akibat usaha manusia itu sendiri untuk membuat agamanya menjadi lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkannya dengan gejala-gejala yang nyata dan ada di sekitarnya. Maka tumbuhlah legenda-legenda dan mitos-mitos yang kesemuanya itu merupakan pranata penunjang kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu dalam masyarakat.[3]
Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.[4]
C.    Agama Dan Mitos Dalam Kajian Antropologi Agama
Realita diperoleh hanya dengan melalui pengulangan. Realitas yang tidak memiliki model untuk diulang-ulang atau ditiru berarti tidak memiliki makna dan berarti pula tidak disebut sebagai realitas. Dengan demikian mitos bisa dipahami sebagai akumulasi konsepsi manusia dari renungan-renungan imajinatif-filosofis mengenai kehidupan, kematian, takdir, manusia, dewa, asal mula kejadian, surga, neraka, dan pencipta, yang memanifestasi menjadi model atau paradigma. Inilah yang disebut dengan istilah model of reality (konsepsi yang digali dari realitas).
Pada saat yang sama ketika model itu telah diulang-ulang, maka mitos itu menjadi model for reality (konsep yang dijadikan sebagai pedoman dan arahan bagi realitas, utamanya kehidupan manusia). Nalar tersebut memberikan inspirasi baru tentang pola interaksi antara mitos dan realitas. Keduanya adalah dua entitas yang saling berkaitan. Realitas ada karena eksistensi mitos, sebaliknya mitos ada karena realitas. Meski sedemikian sinerginya posisi keduanya, namun di mata sebagian masyarakat tertentu ia masih sering dikontraskan.[5]
Karakteristik mitos :
1.      Mitos berkaitan dengan aktifitas supernatural
2.      Mitos berkaitan dengan absolusitas kebenaran
3.      Mitos berkaitan dengan model of reality
4.      Pengetahuan mitos melekat pada diri seseorang
5.      Jalan alternatif bagi kehidupan
Fungsi utama mitos bagi kebudayaan primitif adalah
a.       mengungkapkan, mengangkat, dan merumuskan kepercayaan
b.      melindungi dan memperkuat moralitas
c.       menjamin efensiensi ritus
d.      memberikan peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia.
e.       Memberikan pijakan untuk menjelaskan dunia dan seluruh pengalaman eksistensi kemanusiaan yang lainnya.[6]
Karena sedemikian pentingnya, maka semua masyarakat baik dari kalangan primitif maupun yang modern, memiliki mitos dalam mentalitasnya. Mitos pada saatnya betul-betul berperan sebagai peran agama, mengingat masih sederhananya konsepsi agama ketika itu dikalangan komunitas primitif. Mitos pada saatnya mengandaikan suatu ontologi dan hanya berbicara mengenai kenyataan.
Cikal bakal tradisi mitis, magis dan mistis telah berkembang lama dikalangan islam. Apa yang dilakukan oleh rasul, sahabat, ulama dan kiai dikalangan masyarakat umumnya, pada hakikatnya juga upaya konkritisasi dari nilai-nilai abstrak tersebut. Termasuk juga mitos yang merupakan upaya-upaya konkretisasi dari hal-hal yang bersifat abstrak, dari impian menuju kenyataan.
D.    Relevansi Agama, Mitos Dan Mitologi Dilihat Dari Fungsinya
Dilihat dari fungsinya, mitos berperan layaknya fungsi agama, tetapi tidak menggantikan agama itu sendiri. Karena mitos adalah impian-impian kebajikan universal yang berperan sebagai sumber nilai yang bisa dijadikan pedoman bagi kehidupan mereka. Sementara konsepsi-konsepsi agama yang tertuang dalam teks suci juga selalu memuat impian-impian ideal yang indah. Misalnya tentang gambaran indahnya surga. Perbedaan keduanya hanya terletak pada subjek yang melakukan konstruksi atas impian idel itu. Subjek konstruksi mitos adalah manusia sedangkan subjek konstruksi agama adalah dua kekuatan kompromistik antara tuhan sebagai representasi wahyu dan manusia sebagai representasi hasil penafsiran.[7]
Dalam kondisi seperti ini, manusia tidak akan mampu hidup tanpa agama, demikian juga tanpa mitos, meskipun dalam tatanan empirik sebagian diantara mereka yang hidup dalam garis linier keteraturan berpotensi untuk melupakannya. Oleh karena itu keyakinan terhadap agama maupun mitos akan muncul jika dalam kehidupan manusia selalu dihadapkan pada berbagai peristiwa kehidupan yang mencemaskan.
Mitos tidaklah sama dengan mitologi. Keduanya memiliki implikasi dan dampak pemahaman yang berbeda, perbedaan itu terletak pada tingkatannya. Karena ketika mitos telah runtuh dan merosot nilai aktualisasinya maka makna mitos itu telah berubah menjadi mitologi yang tidak memiliki nilai, sekalipun ia tetap tertanam kuat dalam kesadaran populisme suatu bangsa atau kelompok. Disanalah mitos memiliki makna positif dengan mengisi tekad dalam cita-cita mendorong ke arah kemenangan dan realisasi diri diatas bumi ini. Sementara itu mitologi hanya akan melemahkan tekad dan menyerupkan sikap santai, puas dan menyerah. Mitos yang telah usang dan renta akan melahirkan mitologi. Dalam kaitannya dengan konteks modern ini penggambaran keilmuan bagi realitas telah menggantikan posisi mitos, sementara idiologi negatif telah menggantikan posisi mitologi.[8]
Dengan kata lain, mitos senantiasa mengidealkan adanya pembaruan-pembaruan dinamis sesuai dengan tingkat perkembangan zamannya. Sekali saja ia kehilangan daya aktualitasnya, maka ia tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan nilai vitalitas masyarakatnya. Semangat nilai konstruksi mitos tidak akan lepas dari latar sosio kultural dari pengkonstruk mitos itu sendiri, tergantung dimana dan kapan mitos itu dikonstruksi. Dengan begitu bisa dipahami bahwa karakteristik mitos yang berkembang di masyarakat jawa, tentu tidak jauh dari keyakinan dan kepercayaan kejawen itu,[9] demikian juga mitos yang berkembang di daerah-daerah lain, semua tidak akan lepas dari karakter dasar kondisi lokalitasnya.
E.     Dimensi Mitis Dalam Islam
Mitos yang dikonstruk ditengah-tengah kehidupan masyarakat agama juga akan menampakkan nilai-nilai mitos yang agamis. Suatu contoh anak perempuan tidak boleh makan di tengah pintu, nanti tidak laku. Kata-kata kiasan ini sebagai ungkapan yang efektif untuk mengarahkan etika seorang gadis yang akan menikah. Ungkapan tersebut memiliki makna dan nilai dalam realitas. Termasuk dalam sebuah hadits terkait dengan kemuliaan air zam zam bahwa ia berasal dari surga, dan juga penuh berkah dan dapan menyembuhkan penyakit, itu adalah sabda rasul yang tidak terlepas dari kemampuan rasul dalam mengimajinasikan kemuliaan zam zam tersebut. Karena itu dalam prespektif antropologi, hadits tersebut dalam kaitannya dengan aspek kebahasaan adalah representasi dari konstruksi nalar dan imajinasi rasul sendiri, yang karenanya ia bisa disebut dengan mitos. Namun demikian menyangkut tentang substansi isinya, ia adalah representasi ajaran atau wahyu yang kerap disebut dengan agama. Atas dasar itu, hadits tidak bisa dianggap sebagai konstruksi imajinatif yang murni keluar dari nalar rasul, melainkan dalam hadits terdapat muatan nilai-nilai normatif (wahyu) hasil konstruksi allah. Dengan demikian hadits adalah konstruksi dua kekuatan kompromistik antara tuhan dan nabi muhammad (manusia) yang disebut dengan agama. Inilah yang membedakannya dengan mitos, sebab sekalipun fungsi mitos mendekati fungsi agama, namun demikian tetap saja ia tidak bisa menggantikan eksistensi agama itu sendiri.[10]
Kenyataan ini semua menunjukkan bahwa cikal bakal tradisi mitis, magis dan mistis telah berkembang lama dikalangan islam. Apa yang dilakukan oleh rasul, sahabat, ulama dan kiai di kalangan masyarakat muslim umumnya, pada hakikatnya juga upaya konkritisasi dari nilai-nilai abstrak tersebut. Termasuk juga mitos tiak lain adalah upaya-upaya konkritisasi dari hal-hal yang bersifat abstrak dari impian menuju ke kenyataan.
F.     Kontradiksi Pemahaman Mitos Dikalangan Pemikir Islam Dan Non Islam.
M. arkoun sebagai representasi ilmuan islam mengatakan bahwa mitos diartikan sebagai kata kiasan yang indah dan fantasi (khayalan), bersayap atau kisah yang indah yang memiliki inti dalam realitas. Mitos bagi arkoun tidak selalu terkait dengan agama, mitos merupakan langit yang membentang yang memayungi keberadaan dan memberikan makna kepadanya.[11]
Kuntowijoyo mengatakan bahwa mitos itu hanya akan melahurkan abstraksi-abstraksi dari yang konkrit.[12] Ini dari pemikiran kunto yang paling dalam tersebut mengatakan bahwa mitos itu harus dihindari karena tidak konkrit. Masih dalam pandangannya, mereka yang hidup dalam mitos tidak akan bisa menangani realitas. Cara pandang kunto tentang konsep mitos tersebut, jika didekatkan dengan pemahaman arkoun tentang mitos sangatlah bertolak belakang. Perbedaan diantara keduanya terjadi disebabkan karena perbedaan sasaran telaah, yang satu memahami mitos sama halnya dengan mitologi, sementara yang satunya lagi memahami perbedaan dari sisi tingkatannya. Kehawatiran kuntowijoyo tentang mitos sama halnya dengan kekhawatiran m.arkoun tentang mitologi.
Sedangkan menurut endraswara, mitos diartikan sebagai cerita-cerita suci yang berbentuk simbolik yang mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan imajiner menyangkut asal usul dan perubahan alam raya dan dunia, kekuatas atas kudrati, manusia, pahlawan dan masyarakat.[13] Karenanya ketika mitos dalam konteks pemahaman kunto cenderuk dimaknakan sebagai hal yang negatif, mitos tidak dilihat dari kacamata pendekatan ilmu melainkan dari nalar agama yang terikan secara subjektif terhadap kecendurangan untuk menilai yaitu positif dan negatifnya, tanpa melihat makna mitos secara ilmiah dan alamiah.
Dalam konteks yang hampir sama, kirk berhasil membuat tipologi mitos dan fungsinya dalam perkembangan kebudayaan. Menurut kirk terdapat tiga tipologi mitos dan fungsinya dalam perkembangan masyarakat, yaitu:[14]
1.      Mitos naratif, yang berfungsi menghibur
2.      Mitos operatif, mitos yang diulang-ulang dimaksudkan untuk hal-hal yang bersifat megis, ritual dan untuk menghasilkan suatu kontinuitas yang diinginkan.
3.      Mitos eksplanatoris dan spekulatif, yaitu fungsi yang jauh lebih luas dari hanya sekedar cerita.
Selain itu, dhavamony juga telah mengurai secara luas macam-macam mitos, diantaranya yaitu:[15]
a.       Mitos penciptaan: mitos yang menceritakan alam semesta yang sebelumnya tidak ada
b.      Mitos kosmoginik: mitos yang mengisahkan penciptaan alam semesta dengan menggunakan sarana yang sudah ada
c.       Mitos asal-usul: mitos yang mengisahkan asal mula atau awal dari segala sesuatu
d.      Mitos mengenai para dewa dan mengenai makhluk adikodrati
e.       Mitos yang terkait dengan kisah penciptaan manusia
f.       Mitos yang berkenaan dengan transportasi.
Dengan pemahaman seperti ini, secara ontologis maupun epistimologis, proses dan pengalaman bagaimana komponen-komponen serta konstruks mitos itu dibangun akan diketahui dan dipahami. Apakah mitos itu dibangun atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga ia selalu sarat dengan makna. Secara umum mitos selalu dihubungkan dengan masyarakat mistis, namun demikian tidak berarti masyarakat modern telah meniadakan mitos ini sama sekali. Tidak sedikit masyarakat modern yang masih mempercayai adanya warisan kuno, warisan spiritual.
Menurut stanley R. Barret mitos adalah dokumentasi masyarakat yang tidak ditulis dalam sejarah. Mitos juga sering berfungsi untuk memberikan penjelasan tentang asal kedatangan suku maupun kelompok etnis, dari sisi tempat maupun asal kehidupannya. Mitos juga berfungsi sebagai solusi dalam kehidupan yang mendasar, selain itu, mitos juga sebagai sumber kekuatan psikis manusia.[16]
Pada hakikatnya mitos selalu muncul dalam ranah psikis manusia. Untuk itu menurut jamhari mitos tergantung kepada model pengartikulasian intelektual primordial dari kepercayaan itu. Pada gilirannya mitos juga tergantung pada keputusan subjektif penghayatnya. Mitos berarti suatu sikap keagamaan atau merupakan filsafat primitif, pengungkapan pemikiran yang sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan dan kematian, takdir dan hakikat, tuhan dan pemujaan. Berangkat dari pernyataan subjektif mitos juga dipahami sebagai pernyataan manusia yang kompleks dan dramatis, yang melibatkan pikiran, perasaan, sikap dan sentimen. Ia berada di luar dunia empirik, tetapi selalu mengaktualkan apa yang telah dikisahkan.[17]
Tradisi ritual masyarakat secara sederhana dimanapun mereka berada, di balik itu mereka pasti mendambakan adanya keteraturan dan terhindar dari marabahaya. Bagi mereka, kebutuhan agar mereka tetap hidup yang bisa menyediakan adalah alam. Dengan kata lain ritualitas adalah tindakan keseimbangan antara diri dengan alam. Oleh karena itu, secara umum masyarakat rimitif didominasi oleh mitos tentang kemurkaan alam. Agar alam tidak murka, maka kesepakatan yang mereka putuskan selalu berhubungan dengan kelestarian alam.
Atas dasar itu, Armada Riyanto memahami mitos sebagai ekspresi yang hidup mengenai relasi manusia dengan ruang lingkupnya dan keseluruhan lingkungan hidupnya, sementara itu peurson juga mengatakan bahwa mitos adalah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada kelompok pendukungnya. Tentu saja pedoman dan arah yang dimaksud dalam hal ini adalah bagaimana membangun hubungan relasional antara diri sendiri dan alam. Oleh karena manusia dulu membuat cerita maupun lambang yang mampu mencetuskan lambang kebaikan maupun kejahatan melalui mitos.
Dengan demikian mitos merupakan medium yang sangat subjektif , tergantung pada misi dan visi pesan-pesan yang hendak disampaikan. Adakalanya berupa pesan-pesan politik, pesan-pesan agama dan moral. Dengan demikian mitos yang dikonstruk oleh lingkungan istana tentu akan berbeda pesan-pesannya dengan mitos yang dibangun oleh lingkungan pedesaan, karena itu, bagaimanapun lingkungan budaya istana kejawen tetap mempertahankan falsafah bahwa raja titisan dewa, dengan mitologi kuno warisan zaman syiwa-budha.[18]
Bagi masyarakat pedesaan tradisional adat istiadat keagamaan memiliki daya pemikat tersendiri. Meninggalkan tradisi berarti mengancam kelanggengan eksistensi masyarakatnya. Islam yang hidup dalam masyarakat tertentu harus mampu bergulat dengan adat istiadat tradisional yang umumnya bersendi pada kepercayaan mitologis. Dalam hal ini sangat mungkin unsur-unsur islam dihilangkan untuk ramuan tradisi budaya. Mungkin pula islam ditumpangi oleh unsur tradisi lama. Inilah makna simbolik dari aspek mitologis yang sangat politis. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan munculnya beberapa penafsiran mitologis dalam tradisi jawa ini mengarah pada aspek moralitas.[19]
Dari sekian banyak respektif antropologis, baik dari kangan barat maupun islam mengenai pemahaman mitos, dapat ditarik kesimpulan bahwa mitos merupakan bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, sebagaimana halnya agama. Oleh karenanya mitos dimata manusia sama halnya dengan peran agama bagi kehidupannya. Dari segi fungsi keduanya bisa menjadi sistem nialai atau pedoman bagi manusia. Keduanya berfungsi memberikan arah dan petunjuk hidup bagi manusia. Hanya saja subjek pengkonstruk mitos adalah manusia, sementara subjek pengkonstruk agama adalah Tuhan. Agama senantiasa memiliki tingkat kebenaran yang qath’i, sementara kebenaran mitos adalah dzanni. Semua ajaran agama, terutama islam adalah baik, sedangkan mitos tidak selalu menunjukkan ajaran baik, semua tergantung kepada siapa pengkonstruk mitos tersebut. Karena itu ia sangat subjektif, sehingga tingkat kebenarannya juga sangat lokalistik, dengan kata lain kebenaran mitos bersifat partikular sedangkan kebenaran agama bersifat general.
Pada satu sisi, ia muncul sebagai ungkapan psikis manusia yang senantiasa mendambakan keteraturan, pada sisi lain kemunculannya lebih disebabkan karena adanya kekhawatiran, ketakutan akan murka alam alam semesta yang senantiasa menghantui bayangan hidupnya. Agar keduanya dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh manusia, maka ia berusaha mengkonstruk keyakinannya kepada kekuatan adikodrati, yaitu hubungan relasional antara diri dengan tuhannya, dengan cara membuat renungan-renungan filosofis terhadap makna kehidupan, kematian, takdir, asal-usul penciptaan dan dunia. Proses relasional antara diri dan tuhan itu akan terbangun secara sakral setelah manusia melakukan upacara atau ritual. Karena tidak banyak jenis ritual yang dilembagakan tanpa dasar mitos untuk mempertanggngjawabkannya. Dari pengetahuan mitos itu sendiri diperoleh motif untuk melakukan tindakan-tindakan ritual dan moral. Dengan demikian ritual berfungsi menghidupkan dan memperkuat kembali keyakinan yang ada dalam mitos. Karena itu mitos tanpa ritus, sama artinya dengan iman tanpa islam, sebaliknya ritus tanpa mitos, berarti amal yang telah kehilangan dasar pijakannya.




G.    Kesimpulan
Kajian teori mitos ini menghasilkan kesimpulan bahwa dalam kajian agama apapun, formal atau non formal, besar atau kecil akan senantiasa melalui mekanisme relasional dan tahapan-tahapan sistematik antara keteraturan, kehawatiran, ketakutan akan murka alam semesta, kekuatan adikodrati dan ritual. Dengan kata lain, agar manusia terhindar dari musibah, selanjutnya berada di dalam keteraturan dan kedamaian, maka manusia membangun cerita sakral tentang objek yang mengatur alam semesta yang kemudian diperkuat dengan upacara-upacara atau ritual.














BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Interaksi antara mitos dan realitas, keduanya adalah dua entitas yang saling berkaitan. Realitas ada karena eksistensi mitos, sebaliknya mitos ada karena realitas. Meski sedemikian sinerginya posisi keduanya, namun di mata sebagian masyarakat tertentu ia masih sering dikontraskan. Mitos pada saatnya betul-betul berperan sebagai peran agama, mengingat masih sederhananya konsepsi agama ketika itu dikalangan komunitas primitif. Mitos pada saatnya mengandaikan suatu ontologi dan hanya berbicara mengenai kenyataan.
2.      Dilihat dari fungsinya, mitos berperan layaknya fungsi agama, tetapi tidak menggantikan agama itu sendiri. Karena mitos adalah impian-impian kebajikan universal yang berperan sebagai sumber nilai yang bisa dijadikan pedoman bagi kehidupan mereka. Sementara konsepsi-konsepsi agama yang tertuang dalam teks suci juga selalu memuat impian-impian ideal yang indah. Misalnya tentang gambaran indahnya surga. Perbedaan keduanya hanya terletak pada subjek yang melakukan konstruksi atas impian idel itu. Subjek konstruksi mitos adalah manusia sedangkan subjek konstruksi agama adalah dua kekuatan kompromistik antara tuhan sebagai representasi wahyu dan manusia sebagai representasi hasil penafsiran.






DAFTAR PUSTAKA

Arkoun, Muhammed. Membongkar Wacana Hegemonik Dalam Islam Dan Post Modernisme, Terj. Hasyim Saleh, Surabaya: Al-Fikr, 1999.
Dhavamony, Mariasusai Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Ikapi, 1995.
Endraswara, Suwardi. Filsafah Hidup Jawa, Yogyakarta: Cakrawala, 2006.
Hadikusuma, Hilman. Antrpologi Hukum Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 2010.
Kambie, A.S. Akar Kenabian Sawerigading, Napak Tilas Jejak Ketuhanan Yang Maha Esa, Makassar: Parasufia, 2003.
Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, Bandung: Mizan, 2002.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.
Roibin, Relasi Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: Uin-Malang Press, 2009.
Roland Barthes, Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010).
Sudjono, Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam, http://ahmadsamantho.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 6 November 2015.




[1] Hilman Hadikusuma, Antrpologi Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni, 2010), hlm. 1.
[2] A.S. Kambie, Akar Kenabian Sawerigading, Napak Tilas Jejak Ketuhanan Yang Maha Esa, (Makassar: Parasufia, 2003), hlm. 6.
[3] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000),hlm. Xxii.
[4] Sudjono, Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam, Http://Ahmadsamantho.Wordpress.Com. Diakses Pada Tanggal 6 November 2015.
[5] Roibin, Relasi Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer, (Malang: Uin-Malang Press, 2009), hlm. 87.
[6] Roibin, Relasi , hlm. 88.
[7] Roibin, Relasi , hlm. 92.
[8] Muhammed Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik Dalam Islam Dan Post Modernisme, Terj. Hasyim Saleh, (Surabaya: Al-Fikr, 1999), hlm. 113.
[9] Suwardi Endraswara, Filsafah Hidup Jawa,(Yogyakarta: Cakrawala, 2006), hlm. 193.
[10] Roibin, Relasi, hlm. 94.
[11] Muhammed Arkoun, Membongkar , hlm. 89.
[12] Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 97.
[13] Suwardi Endraswara, Filsafah, hlm. 194.
[14] Roibin, Relasi, hlm. 98.
[15] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Ikapi, 1995).
[16] Roibin, Relasi, hlm. 99.
[17] Roibin, Relasi, hlm. 100.
[18] Roibin, Relasi, hlm. 101.
[19] Roibin, Relasi, hlm. 103.

1 komentar: