AKULTURASI, KOLABORASI, DAN INTEGRASI ANTARA
AGAMA DAN NALAR MITIS (SAINS KEARIFAN LOKAL)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang menjadi cabang dari ilmu pokok
Antropologi, ilmu Antropologi Agama adalah sebuah bagian penting yang harus
dipelajari oleh siapa saja yang ingin mendalami masalah lingkungan sosial mereka.
Karena jika ingin mempelajari mengenai keadaan sosial masyarakat, maka mau tak
mau Antropologi Agama merupakan syarat untuk mencapai pemahaman tentang keadaan
masyarakat yang ingin dipelajari lebih mendalam. Seperti halnya ilmu-ilmu
sosial yang lain, Antropologi Agama memiliki pokok pembahasan yaitu keadaan
masyarakat sama seperti Sosiologi. Namun yang membedakan adalah Antropologi
Agama lebih mengedepankan pengamatan mengenai keadaan manusia atau kelompok
masyarakat itu dan aktifitas keberagamaan mereka ketimbang proses-proses
sosial, mobilitas sosial, lapisan-lapisan sosial, dan sebagainya.
Sehingga kita tahu bahwa ilmu Antropologi Agama adalah sebuah
kajian mengenai konsep kehidupan di masyarakat dalam konteks keberagamaan
mereka, konsep-konsep agama mereka, sampai kepada kebudayaan yang dihasilkan
dari aktifitas sosial agama mereka. Dalam
makalah ini, penulis akan membahas mengenai akulturasi, kolaborasi, dan
integrasi antara agama dan nalar mitis (sains kearifan loka). Untuk itu
sangatlah diperlukan pemahaman mengenai antropologi agama terlebih dahulu.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan diskripsi
diatas maka kami perlu memberikan rumusan masalah sebagai objek pembahasan dan
batasan yang akan kami bahas dalam makalah ini. Antara lain sebagai barikut :
1.
Bagaimana agama dan mitos dalam kajian antropologi agama?
2.
Bagaimana relevansi agama dan mitos dilihat dari fungsinya?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui Bagaimana agama dan mitos dalam kajian antropologi
agama?
2.
Untuk mengetahui Bagaimana relevansi agama dan mitos dilihat dari
fungsinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Antropologi.
Antropologi adalah salah satu cabang
ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis
tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang
Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa
yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa
fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat
tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama,
antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik
beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata
anthropos yang berarti "manusia", dan logos yang berarti ilmu.
Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk
sosial.[1]
Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut: Menurut William A.
Haviland, Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun
generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk
memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. Menurut
David Hunter, Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak
terbatas tentang umat manusia. Menurut Koentjaraningrat; Antropologi adalah
ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna,
bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari Definisi
Antropologi di atas,
dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang
mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara
berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap
manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
B.
Kearifan Lokal Dalam Kajian Antropologi
Agama dan kepercayaan
merupakan dua hal yang melekat erat dalam diri manusia. Sifatnya sangat
pribadi, terselubung dan kadang-kadang diliputi oleh hal-hal yang bernuansa
mitologis. Kualitas etos seseorang amat ditentukan oleh nilai-nilai kepercayaan
yang melekat pada dirinya, yang dalam bahasa agama, hal ini disebut sebagai
aqidah. Orang bahkan rela mempertaruhkan hidupnya demi kepercayaan yang mereka
yakini sebagai kebenaran.[2]
Dalam kaitannya dengan
kepercayaan, manusia tidak dapat hidup tanpa mitologi atau sistem penjelasan
tentang alam dan kehidupan, yang penjelasan dan kebenarannya tidak perlu
dipertanyakan lagi. Sehingga, pada urutannya, utuhnya mitologi akan
menghasilkan utuhnya sistem kepercayaan, utuhnya sistem kepercayaan akan
menghasilkan utuhnya sistem nilai, dan kemudian, utuhnya sistem nilai itu
sendiri akan memberi manusia kejelasan tentang apa yang baik dan buruk (etika),
dan mendasari seluruh kegiatannya dalam menciptakan peradaban.
Keaneka ragaman ini
menjadi lebih nyata akibat usaha manusia itu sendiri untuk membuat agamanya
menjadi lebih berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dengan mengaitkannya
dengan gejala-gejala yang nyata dan ada di sekitarnya. Maka tumbuhlah
legenda-legenda dan mitos-mitos yang kesemuanya itu merupakan pranata penunjang
kepercayaan alami manusia kepada Tuhan dan fungsionalisasi kepercayaan itu
dalam masyarakat.[3]
Nurcholish Madjid
mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama
Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi,
misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Posisi
penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan
utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana memahami manusia.
Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama
yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah
pergumulan keagamaannya.[4]
C.
Agama Dan Mitos Dalam Kajian Antropologi Agama
Realita diperoleh hanya dengan melalui pengulangan. Realitas yang
tidak memiliki model untuk diulang-ulang atau ditiru berarti tidak memiliki
makna dan berarti pula tidak disebut sebagai realitas. Dengan demikian mitos
bisa dipahami sebagai akumulasi konsepsi manusia dari renungan-renungan imajinatif-filosofis
mengenai kehidupan, kematian, takdir, manusia, dewa, asal mula kejadian, surga,
neraka, dan pencipta, yang memanifestasi menjadi model atau paradigma. Inilah
yang disebut dengan istilah model of reality (konsepsi yang digali dari realitas).
Pada saat yang sama ketika model itu telah diulang-ulang, maka
mitos itu menjadi model for reality (konsep yang dijadikan sebagai pedoman dan
arahan bagi realitas, utamanya kehidupan manusia). Nalar tersebut memberikan
inspirasi baru tentang pola interaksi antara mitos dan realitas. Keduanya
adalah dua entitas yang saling berkaitan. Realitas ada karena eksistensi mitos,
sebaliknya mitos ada karena realitas. Meski sedemikian sinerginya posisi
keduanya, namun di mata sebagian masyarakat tertentu ia masih sering
dikontraskan.[5]
Karakteristik mitos :
1.
Mitos berkaitan dengan aktifitas supernatural
2.
Mitos berkaitan dengan absolusitas kebenaran
3.
Mitos berkaitan dengan model of reality
4.
Pengetahuan mitos melekat pada diri seseorang
5.
Jalan alternatif bagi kehidupan
Fungsi utama mitos bagi kebudayaan primitif adalah
a.
mengungkapkan, mengangkat, dan merumuskan kepercayaan
b.
melindungi dan memperkuat moralitas
c.
menjamin efensiensi ritus
d.
memberikan peraturan-peraturan praktis untuk menuntun manusia.
e.
Memberikan pijakan untuk menjelaskan dunia dan seluruh pengalaman
eksistensi kemanusiaan yang lainnya.[6]
Karena sedemikian pentingnya, maka semua masyarakat baik dari
kalangan primitif maupun yang modern, memiliki mitos dalam mentalitasnya. Mitos
pada saatnya betul-betul berperan sebagai peran agama, mengingat masih
sederhananya konsepsi agama ketika itu dikalangan komunitas primitif. Mitos
pada saatnya mengandaikan suatu ontologi dan hanya berbicara mengenai
kenyataan.
Cikal bakal tradisi mitis, magis dan mistis telah berkembang lama
dikalangan islam. Apa yang dilakukan oleh rasul, sahabat, ulama dan kiai
dikalangan masyarakat umumnya, pada hakikatnya juga upaya konkritisasi dari
nilai-nilai abstrak tersebut. Termasuk juga mitos yang merupakan upaya-upaya
konkretisasi dari hal-hal yang bersifat abstrak, dari impian menuju kenyataan.
D.
Relevansi Agama, Mitos Dan Mitologi Dilihat Dari Fungsinya
Dilihat dari fungsinya, mitos berperan layaknya fungsi agama,
tetapi tidak menggantikan agama itu sendiri. Karena mitos adalah impian-impian kebajikan
universal yang berperan sebagai sumber nilai yang bisa dijadikan pedoman bagi
kehidupan mereka. Sementara konsepsi-konsepsi agama yang tertuang dalam teks
suci juga selalu memuat impian-impian ideal yang indah. Misalnya tentang
gambaran indahnya surga. Perbedaan keduanya hanya terletak pada subjek yang
melakukan konstruksi atas impian idel itu. Subjek konstruksi mitos adalah
manusia sedangkan subjek konstruksi agama adalah dua kekuatan kompromistik antara
tuhan sebagai representasi wahyu dan manusia sebagai representasi hasil
penafsiran.[7]
Dalam kondisi seperti ini, manusia tidak akan mampu hidup tanpa
agama, demikian juga tanpa mitos, meskipun dalam tatanan empirik sebagian
diantara mereka yang hidup dalam garis linier keteraturan berpotensi untuk melupakannya.
Oleh karena itu keyakinan terhadap agama maupun mitos akan muncul jika dalam
kehidupan manusia selalu dihadapkan pada berbagai peristiwa kehidupan yang
mencemaskan.
Mitos tidaklah sama dengan mitologi. Keduanya memiliki implikasi
dan dampak pemahaman yang berbeda, perbedaan itu terletak pada tingkatannya.
Karena ketika mitos telah runtuh dan merosot nilai aktualisasinya maka makna
mitos itu telah berubah menjadi mitologi yang tidak memiliki nilai, sekalipun
ia tetap tertanam kuat dalam kesadaran populisme suatu bangsa atau kelompok.
Disanalah mitos memiliki makna positif dengan mengisi tekad dalam cita-cita
mendorong ke arah kemenangan dan realisasi diri diatas bumi ini. Sementara itu
mitologi hanya akan melemahkan tekad dan menyerupkan sikap santai, puas dan
menyerah. Mitos yang telah usang dan renta akan melahirkan mitologi. Dalam
kaitannya dengan konteks modern ini penggambaran keilmuan bagi realitas telah
menggantikan posisi mitos, sementara idiologi negatif telah menggantikan posisi
mitologi.[8]
Dengan kata lain, mitos senantiasa mengidealkan adanya
pembaruan-pembaruan dinamis sesuai dengan tingkat perkembangan zamannya. Sekali
saja ia kehilangan daya aktualitasnya, maka ia tidak memiliki kemampuan untuk
membangkitkan nilai vitalitas masyarakatnya. Semangat nilai konstruksi mitos
tidak akan lepas dari latar sosio kultural dari pengkonstruk mitos itu sendiri,
tergantung dimana dan kapan mitos itu dikonstruksi. Dengan begitu bisa dipahami
bahwa karakteristik mitos yang berkembang di masyarakat jawa, tentu tidak jauh
dari keyakinan dan kepercayaan kejawen itu,[9]
demikian juga mitos yang berkembang di daerah-daerah lain, semua tidak akan
lepas dari karakter dasar kondisi lokalitasnya.
E.
Dimensi Mitis Dalam Islam
Mitos yang dikonstruk ditengah-tengah kehidupan masyarakat agama
juga akan menampakkan nilai-nilai mitos yang agamis. Suatu contoh anak
perempuan tidak boleh makan di tengah pintu, nanti tidak laku. Kata-kata kiasan
ini sebagai ungkapan yang efektif untuk mengarahkan etika seorang gadis yang
akan menikah. Ungkapan tersebut memiliki makna dan nilai dalam realitas.
Termasuk dalam sebuah hadits terkait dengan kemuliaan air zam zam bahwa ia
berasal dari surga, dan juga penuh berkah dan dapan menyembuhkan penyakit, itu
adalah sabda rasul yang tidak terlepas dari kemampuan rasul dalam
mengimajinasikan kemuliaan zam zam tersebut. Karena itu dalam prespektif
antropologi, hadits tersebut dalam kaitannya dengan aspek kebahasaan adalah
representasi dari konstruksi nalar dan imajinasi rasul sendiri, yang karenanya
ia bisa disebut dengan mitos. Namun demikian menyangkut tentang substansi
isinya, ia adalah representasi ajaran atau wahyu yang kerap disebut dengan
agama. Atas dasar itu, hadits tidak bisa dianggap sebagai konstruksi imajinatif
yang murni keluar dari nalar rasul, melainkan dalam hadits terdapat muatan
nilai-nilai normatif (wahyu) hasil konstruksi allah. Dengan demikian hadits
adalah konstruksi dua kekuatan kompromistik antara tuhan dan nabi muhammad
(manusia) yang disebut dengan agama. Inilah yang membedakannya dengan mitos,
sebab sekalipun fungsi mitos mendekati fungsi agama, namun demikian tetap saja
ia tidak bisa menggantikan eksistensi agama itu sendiri.[10]
Kenyataan ini semua menunjukkan bahwa cikal bakal tradisi mitis,
magis dan mistis telah berkembang lama dikalangan islam. Apa yang dilakukan
oleh rasul, sahabat, ulama dan kiai di kalangan masyarakat muslim umumnya, pada
hakikatnya juga upaya konkritisasi dari nilai-nilai abstrak tersebut. Termasuk
juga mitos tiak lain adalah upaya-upaya konkritisasi dari hal-hal yang bersifat
abstrak dari impian menuju ke kenyataan.
F.
Kontradiksi Pemahaman Mitos Dikalangan Pemikir Islam Dan Non Islam.
M. arkoun sebagai representasi ilmuan islam mengatakan bahwa mitos
diartikan sebagai kata kiasan yang indah dan fantasi (khayalan), bersayap atau
kisah yang indah yang memiliki inti dalam realitas. Mitos bagi arkoun tidak
selalu terkait dengan agama, mitos merupakan langit yang membentang yang
memayungi keberadaan dan memberikan makna kepadanya.[11]
Kuntowijoyo mengatakan bahwa mitos itu hanya akan melahurkan
abstraksi-abstraksi dari yang konkrit.[12]
Ini dari pemikiran kunto yang paling dalam tersebut mengatakan bahwa mitos itu
harus dihindari karena tidak konkrit. Masih dalam pandangannya, mereka yang
hidup dalam mitos tidak akan bisa menangani realitas. Cara pandang kunto
tentang konsep mitos tersebut, jika didekatkan dengan pemahaman arkoun tentang
mitos sangatlah bertolak belakang. Perbedaan diantara keduanya terjadi
disebabkan karena perbedaan sasaran telaah, yang satu memahami mitos sama
halnya dengan mitologi, sementara yang satunya lagi memahami perbedaan dari
sisi tingkatannya. Kehawatiran kuntowijoyo tentang mitos sama halnya dengan
kekhawatiran m.arkoun tentang mitologi.
Sedangkan menurut endraswara, mitos diartikan sebagai cerita-cerita
suci yang berbentuk simbolik yang mengisahkan serangkaian peristiwa nyata dan
imajiner menyangkut asal usul dan perubahan alam raya dan dunia, kekuatas atas
kudrati, manusia, pahlawan dan masyarakat.[13]
Karenanya ketika mitos dalam konteks pemahaman kunto cenderuk dimaknakan
sebagai hal yang negatif, mitos tidak dilihat dari kacamata pendekatan ilmu
melainkan dari nalar agama yang terikan secara subjektif terhadap kecendurangan
untuk menilai yaitu positif dan negatifnya, tanpa melihat makna mitos secara
ilmiah dan alamiah.
Dalam konteks yang hampir sama, kirk berhasil membuat tipologi
mitos dan fungsinya dalam perkembangan kebudayaan. Menurut kirk terdapat tiga
tipologi mitos dan fungsinya dalam perkembangan masyarakat, yaitu:[14]
1.
Mitos naratif, yang berfungsi menghibur
2.
Mitos operatif, mitos yang diulang-ulang dimaksudkan untuk hal-hal
yang bersifat megis, ritual dan untuk menghasilkan suatu kontinuitas yang
diinginkan.
3.
Mitos eksplanatoris dan spekulatif, yaitu fungsi yang jauh lebih
luas dari hanya sekedar cerita.
Selain itu, dhavamony juga telah mengurai secara luas macam-macam
mitos, diantaranya yaitu:[15]
a.
Mitos penciptaan: mitos yang menceritakan alam semesta yang
sebelumnya tidak ada
b.
Mitos kosmoginik: mitos yang mengisahkan penciptaan alam semesta
dengan menggunakan sarana yang sudah ada
c.
Mitos asal-usul: mitos yang mengisahkan asal mula atau awal dari
segala sesuatu
d.
Mitos mengenai para dewa dan mengenai makhluk adikodrati
e.
Mitos yang terkait dengan kisah penciptaan manusia
f.
Mitos yang berkenaan dengan transportasi.
Dengan pemahaman seperti ini, secara ontologis maupun
epistimologis, proses dan pengalaman bagaimana komponen-komponen serta
konstruks mitos itu dibangun akan diketahui dan dipahami. Apakah mitos itu
dibangun atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga ia selalu sarat
dengan makna. Secara umum mitos selalu dihubungkan dengan masyarakat mistis,
namun demikian tidak berarti masyarakat modern telah meniadakan mitos ini sama
sekali. Tidak sedikit masyarakat modern yang masih mempercayai adanya warisan
kuno, warisan spiritual.
Menurut stanley R. Barret mitos adalah dokumentasi masyarakat yang
tidak ditulis dalam sejarah. Mitos juga sering berfungsi untuk memberikan
penjelasan tentang asal kedatangan suku maupun kelompok etnis, dari sisi tempat
maupun asal kehidupannya. Mitos juga berfungsi sebagai solusi dalam kehidupan
yang mendasar, selain itu, mitos juga sebagai sumber kekuatan psikis manusia.[16]
Pada hakikatnya mitos selalu muncul dalam ranah psikis manusia.
Untuk itu menurut jamhari mitos tergantung kepada model pengartikulasian
intelektual primordial dari kepercayaan itu. Pada gilirannya mitos juga
tergantung pada keputusan subjektif penghayatnya. Mitos berarti suatu sikap
keagamaan atau merupakan filsafat primitif, pengungkapan pemikiran yang
sederhana, serangkaian usaha untuk memahami dunia, untuk menjelaskan kehidupan
dan kematian, takdir dan hakikat, tuhan dan pemujaan. Berangkat dari pernyataan
subjektif mitos juga dipahami sebagai pernyataan manusia yang kompleks dan
dramatis, yang melibatkan pikiran, perasaan, sikap dan sentimen. Ia berada di
luar dunia empirik, tetapi selalu mengaktualkan apa yang telah dikisahkan.[17]
Tradisi ritual masyarakat secara sederhana dimanapun mereka berada,
di balik itu mereka pasti mendambakan adanya keteraturan dan terhindar dari
marabahaya. Bagi mereka, kebutuhan agar mereka tetap hidup yang bisa
menyediakan adalah alam. Dengan kata lain ritualitas adalah tindakan
keseimbangan antara diri dengan alam. Oleh karena itu, secara umum masyarakat
rimitif didominasi oleh mitos tentang kemurkaan alam. Agar alam tidak murka,
maka kesepakatan yang mereka putuskan selalu berhubungan dengan kelestarian
alam.
Atas dasar itu, Armada Riyanto memahami mitos sebagai ekspresi yang
hidup mengenai relasi manusia dengan ruang lingkupnya dan keseluruhan
lingkungan hidupnya, sementara itu peurson juga mengatakan bahwa mitos adalah
cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu pada kelompok pendukungnya.
Tentu saja pedoman dan arah yang dimaksud dalam hal ini adalah bagaimana
membangun hubungan relasional antara diri sendiri dan alam. Oleh karena manusia
dulu membuat cerita maupun lambang yang mampu mencetuskan lambang kebaikan
maupun kejahatan melalui mitos.
Dengan demikian mitos merupakan medium yang sangat subjektif ,
tergantung pada misi dan visi pesan-pesan yang hendak disampaikan. Adakalanya
berupa pesan-pesan politik, pesan-pesan agama dan moral. Dengan demikian mitos
yang dikonstruk oleh lingkungan istana tentu akan berbeda pesan-pesannya dengan
mitos yang dibangun oleh lingkungan pedesaan, karena itu, bagaimanapun
lingkungan budaya istana kejawen tetap mempertahankan falsafah bahwa raja
titisan dewa, dengan mitologi kuno warisan zaman syiwa-budha.[18]
Bagi masyarakat pedesaan tradisional adat istiadat keagamaan
memiliki daya pemikat tersendiri. Meninggalkan tradisi berarti mengancam
kelanggengan eksistensi masyarakatnya. Islam yang hidup dalam masyarakat
tertentu harus mampu bergulat dengan adat istiadat tradisional yang umumnya
bersendi pada kepercayaan mitologis. Dalam hal ini sangat mungkin unsur-unsur
islam dihilangkan untuk ramuan tradisi budaya. Mungkin pula islam ditumpangi
oleh unsur tradisi lama. Inilah makna simbolik dari aspek mitologis yang sangat
politis. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan munculnya beberapa
penafsiran mitologis dalam tradisi jawa ini mengarah pada aspek moralitas.[19]
Dari sekian banyak respektif antropologis, baik dari kangan barat
maupun islam mengenai pemahaman mitos, dapat ditarik kesimpulan bahwa mitos
merupakan bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia,
sebagaimana halnya agama. Oleh karenanya mitos dimata manusia sama halnya
dengan peran agama bagi kehidupannya. Dari segi fungsi keduanya bisa menjadi
sistem nialai atau pedoman bagi manusia. Keduanya berfungsi memberikan arah dan
petunjuk hidup bagi manusia. Hanya saja subjek pengkonstruk mitos adalah
manusia, sementara subjek pengkonstruk agama adalah Tuhan. Agama senantiasa
memiliki tingkat kebenaran yang qath’i, sementara kebenaran mitos adalah
dzanni. Semua ajaran agama, terutama islam adalah baik, sedangkan mitos tidak
selalu menunjukkan ajaran baik, semua tergantung kepada siapa pengkonstruk
mitos tersebut. Karena itu ia sangat subjektif, sehingga tingkat kebenarannya
juga sangat lokalistik, dengan kata lain kebenaran mitos bersifat partikular
sedangkan kebenaran agama bersifat general.
Pada satu sisi, ia muncul sebagai ungkapan psikis manusia yang
senantiasa mendambakan keteraturan, pada sisi lain kemunculannya lebih
disebabkan karena adanya kekhawatiran, ketakutan akan murka alam alam semesta
yang senantiasa menghantui bayangan hidupnya. Agar keduanya dapat berjalan
sebagaimana yang diharapkan oleh manusia, maka ia berusaha mengkonstruk
keyakinannya kepada kekuatan adikodrati, yaitu hubungan relasional antara diri
dengan tuhannya, dengan cara membuat renungan-renungan filosofis terhadap makna
kehidupan, kematian, takdir, asal-usul penciptaan dan dunia. Proses relasional
antara diri dan tuhan itu akan terbangun secara sakral setelah manusia
melakukan upacara atau ritual. Karena tidak banyak jenis ritual yang
dilembagakan tanpa dasar mitos untuk mempertanggngjawabkannya. Dari pengetahuan
mitos itu sendiri diperoleh motif untuk melakukan tindakan-tindakan ritual dan
moral. Dengan demikian ritual berfungsi menghidupkan dan memperkuat kembali
keyakinan yang ada dalam mitos. Karena itu mitos tanpa ritus, sama artinya
dengan iman tanpa islam, sebaliknya ritus tanpa mitos, berarti amal yang telah
kehilangan dasar pijakannya.
G.
Kesimpulan
Kajian teori mitos ini menghasilkan kesimpulan bahwa dalam kajian
agama apapun, formal atau non formal, besar atau kecil akan senantiasa melalui
mekanisme relasional dan tahapan-tahapan sistematik antara keteraturan,
kehawatiran, ketakutan akan murka alam semesta, kekuatan adikodrati dan ritual.
Dengan kata lain, agar manusia terhindar dari musibah, selanjutnya berada di
dalam keteraturan dan kedamaian, maka manusia membangun cerita sakral tentang
objek yang mengatur alam semesta yang kemudian diperkuat dengan upacara-upacara
atau ritual.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Interaksi antara mitos dan realitas, keduanya adalah dua entitas
yang saling berkaitan. Realitas ada karena eksistensi mitos, sebaliknya mitos
ada karena realitas. Meski sedemikian sinerginya posisi keduanya, namun di mata
sebagian masyarakat tertentu ia masih sering dikontraskan. Mitos pada saatnya
betul-betul berperan sebagai peran agama, mengingat masih sederhananya konsepsi
agama ketika itu dikalangan komunitas primitif. Mitos pada saatnya mengandaikan
suatu ontologi dan hanya berbicara mengenai kenyataan.
2.
Dilihat dari fungsinya, mitos berperan layaknya fungsi agama,
tetapi tidak menggantikan agama itu sendiri. Karena mitos adalah impian-impian
kebajikan universal yang berperan sebagai sumber nilai yang bisa dijadikan
pedoman bagi kehidupan mereka. Sementara konsepsi-konsepsi agama yang tertuang
dalam teks suci juga selalu memuat impian-impian ideal yang indah. Misalnya
tentang gambaran indahnya surga. Perbedaan keduanya hanya terletak pada subjek
yang melakukan konstruksi atas impian idel itu. Subjek konstruksi mitos adalah
manusia sedangkan subjek konstruksi agama adalah dua kekuatan kompromistik
antara tuhan sebagai representasi wahyu dan manusia sebagai representasi hasil
penafsiran.
DAFTAR PUSTAKA
Arkoun, Muhammed.
Membongkar Wacana Hegemonik Dalam Islam Dan Post Modernisme, Terj.
Hasyim Saleh, Surabaya: Al-Fikr, 1999.
Dhavamony, Mariasusai
Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Ikapi, 1995.
Endraswara,
Suwardi. Filsafah Hidup Jawa, Yogyakarta: Cakrawala, 2006.
Hadikusuma, Hilman.
Antrpologi Hukum Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 2010.
Kambie, A.S. Akar
Kenabian Sawerigading, Napak Tilas Jejak Ketuhanan Yang Maha Esa, Makassar:
Parasufia, 2003.
Kuntowijoyo, Selamat
Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, Bandung: Mizan, 2002.
Madjid, Nurcholish.
Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.
Roibin, Relasi
Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: Uin-Malang Press, 2009.
Roland Barthes,
Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010).
Sudjono, Pendekatan
Antropologi Dalam Kajian Islam, http://ahmadsamantho.wordpress.com. Diakses Pada Tanggal 6 November 2015.
[1] Hilman Hadikusuma,
Antrpologi Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni, 2010), hlm. 1.
[2] A.S. Kambie, Akar
Kenabian Sawerigading, Napak Tilas Jejak Ketuhanan Yang Maha Esa, (Makassar:
Parasufia, 2003), hlm. 6.
[3] Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000),hlm.
Xxii.
[4] Sudjono, Pendekatan
Antropologi Dalam Kajian Islam, Http://Ahmadsamantho.Wordpress.Com. Diakses Pada
Tanggal 6 November 2015.
[5] Roibin, Relasi
Agama & Budaya Masyarakat Kontemporer, (Malang: Uin-Malang Press,
2009), hlm. 87.
[6] Roibin, Relasi
, hlm. 88.
[7] Roibin, Relasi
, hlm. 92.
[8] Muhammed Arkoun,
Membongkar Wacana Hegemonik Dalam Islam Dan Post Modernisme, Terj.
Hasyim Saleh, (Surabaya: Al-Fikr, 1999), hlm. 113.
[9] Suwardi
Endraswara, Filsafah Hidup Jawa,(Yogyakarta: Cakrawala, 2006), hlm. 193.
[11] Muhammed
Arkoun, Membongkar , hlm. 89.
[12] Kuntowijoyo, Selamat
Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 97.
[14] Roibin, Relasi,
hlm. 98.
[16] Roibin, Relasi,
hlm. 99.
[18] Roibin, Relasi,
hlm. 101.
makalah ini tulisan mbak?
BalasHapus