Senang,
bahagia, sedih, melas, mengkel, ahh... pokoknya nano-nano kalau mengenang
masa-masa nyantri di assalafiyat tercinta. kata-kata tidak cukup mewakili
kebahagiaan yang teramat dalam yang telah kami rasakan disana. Bahkan mungkin
tak ada ujungnya jika melukiskan kisah kami para santri yang malang, yang setiap
harinya melototi makanan. Persis kaya orang gak pernah ngeliat makanan satu
bulan saja, yahh.. seperti itulah wajah kami dahulu kala hahhahha...
seolah-olah makanan itu paling istimewa.
Padahal,
kalian tau?!, makanannya itu ala kadarnya saja, mungkin bagi lidah-lidah yang
sudah berada di rumah masing-masing itu rasanya tidak begitu enak, tapi bagi
kami? Entah ada hasrat apa, seakan-akan terhipnotis dengan makanan koperasi
hehehhe... tidak pandang anak orang kaya, anak pejabat, anak kota, anak
kampung, bahkan wong ndeso seperti saya, semuanya mengincar makanan,
hahahaha... sudah kaya mata kucing saja, sumpah senyam-senyum aku
nulisnya.
Dan
kalian tau? Koperasi pondok hanya buka di jam-jam tertentu saja, karena penjaga
koprasinyapun para santri yang mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti
santri pada umumnya. Dan pada saat tiba waktunya koperasi buka, itu
rasanyaaaaaaa.... syurga dunia bagi kami para santri,kala itu. Bahkan sebelum
koperasi bukapun, kami sudah nongkrong antri di depan koperasi, coba bayangkan
saking apanya ituu...?!!
Puluhan
santri turun ke lantai satu sembari merubah kostum sarung mereka yang di lipat
sampai lutut, dan kami bersarungan hanya sampai lutut saja. Perlu diketahui,
pondok kami mewajibkan pakai sarung, celana panjang tidak berlaku di pondok,
rok pun hanya berlaku pada jam sekolah saja atau madrasah. Untuk itu kami lihay
dalam sarung menyarung,hahaha..... dan segera bergegas menuju koperasi untuk
mendapat posisi barisan depan, sudah kaya mau perang saja yak... namun faktanya
demikian.
Koperasi
yang luasnya sekitar 3x3 an lah, dan bukan berbentuk tembok, melainkan anyaman
kawat, sehingga semua isi di koperasi itu terlihat. Sedangkan kami membelinya
hanya lewat jendela koperasi yang lebarnya setengah tembok saja dari ukuran
luas koperasi, tak sebanding dengan jumlah santri yang sekitar 300 anak yang
nyantri di pondok kala itu. Coba bayangkan betapa ruwet dan ramainya kehidupan
para santri, sungguh nikmat duniawi. Wajar saja kalau Sie.Keamanan setiap kali
memberikan pengumuman, keributan (suara membeli para santri) di koperasi selalu
ada di catatan paling atas, karena suara berpuluh-puluh santri yang ingin cepat
dilayani.
Kala
itu saya bersama karib saya join ke koperasi, mbak nung namanya hahhahah...
karena rasa sayang ini teramat besar terhadap pasangan, melihat sosoknya yang
terlalu anggun untuk berdesak-desakan, akhirnya saya memutuskan untuk terjun ke
barisan, tentunya dengan kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas dan kerja tuntas.
Hahaha.. sedangkan mbak nung bagian menunggu operan makanan dari saya di
belakang, sambil jadi chiliders gitu.
Waktu
itu koperasi belum buka, dan saya bergegas menuju bagian depan sambil bersandar
di jendela koperasi yang masih tertutup, menunggu instruksi petugas untuk
membukanya. Ketika barisan sudah penuh, dan saya sudah tidak bisa lagi bergeser
kana-kiri, hanya duduk nongkrong siap-siap berdiri menunggu jendela di buka ke
atas dan di kaitkan dengan besi yang sudah tergantung di atap, yang sudah disesuaikan
dengan panjang pintu jendela koperasi. Dan tiba saatnya instruksi petugas,
namun liciknya saya kala itu, saya berada di barisan paling depan dan tepat di
gagang jendela, namun saya tidak mau memegang gagang itu kemudian mengoper ke
bagian belakang, kemudian bagian belakang yang mengaitkan ke besi yang
tergantung. Begitu rutinitasnya dan berjalan begitu saja tanpa ada yang
menyuru, teman-teman langsung tanggap.
Saya hanya diam, membiarkan baris kedua atau teman yang mengantri di
samping saya yang membukakan jendela koperasi, sedangkan saya langsung berdiri,
nongol di depan petugas koperasi dan berteriak “mba gorengan gangsal, piscok
tigo, oreg kering kali, basah kali, roti kaimut tigo, risol tigo mba”.triak
saya sambil menyanggah badan agar tidak terhimpit dorongan teman-teman di
belakang. Hahahhhaaha...sengsara banget ya,,, tapi seru, di tambah lagi logat
kami di koperasi. Bahasa kromo yang wajib kita gunakan saat berada di koperasi,
kamar mandi, pokoknya di lantai 1 wajib berbahasa kromo. Sumpah seruu...
Eeiiittt....
tidak cuma berhenti disitu saja loh, mba nung yang sudah tau kalau saya sudah
dilayani, hendak bergegas ke barisan belakang, untuk menerima operan makanan
yang sudah saya beli, sayapun mengoper makanan pada karib yang satu ini,
sembari menahan badan agar tempat saya tidak tergusur desakan teman-teman.
karena jarak yang terlalu jauh terhalang kerumunan santri, tangan mba nungpun
tak sampai, hingga mba nung harus berjinjit-jinjit untuk menerima operan
makanan hahhahha, tidak berhenti disitu juga, tiba saatnya saya kembali
berjuang untuk keluar dari kerumunan, melawan arus yang begitu keras, melawan
tenaga-tenaga super heronya santri putri, hingga keringan bercucuran, dan
akhirnya, keluarlah saya dari kerumunan sembari memegangi sarung yang melorot
hahhahaha..... begitupun mba nung, menerima makanan sambil memegangi sarung
yang melorot sambil berdesak-desakan
keluar dari lorong koperasi. Dan setelah tiba di luar lorong koperasi,,,,
“hahhahhahha aduhhh,,, aduhhh akhirnyaa”
tawa kami lepas bahagia bernada, setelah wajah cemberut, kesel, sebel,capek,
karena lelahnya berjuang dalam kerumuman,sambil berucap “alhamdulillah” .
Perjuangan
di depan Koperasi pondok,begitulah para santri menyebutnya. Karena perlu
perjuangan besar untuk berebut makanan dan keluar dari barisan paling depan,
dengan puluhan santri yang berdesakan, yang semuanya ingin cepat di depan dan
ingin cepat keluar dari barisan, sedangkan untuk mendapatkan barisan terdepan
membutuhkan semangat juang yang memaksa kami harus selalu mengambil kesempatan
dalam kesempitan, tidak membiarkan cela sekecil apapun diambil teman. Untuk
itulah sebelum mulai berdesak-desakkan kami harus mempersiapkan diri kami
dengan matang untuk memulai masuk dalam barisan, jika setengah-setengah maka
dipastikan kami gagal, karena terlalu lama di barisan tengah terhimpit oleh
barisan depan dan belakang, terjebak dalam menentukan jalan perjuangan.
Hahahhaa.. konyol memang, namun banyak hal yang dapat aku pelajari dari sana,
salah satunya adalah pelajaran untuk menggapai cita-cita. Tapi alhamdulillah
kami tidak menganut “sengggol bacok” hahhaha waduh bahaya sekali kalau para
santri penuh dengan amarah.
Itulah
sekelumit memori yang berkesan bagi kami para santri putri, termasuk saya.
Bukan hanya bersama mba nung saja, melainkan bersama sahabat-sahabat seperjuangan, dan
orang-orang yang aku sayang lainnya, santri putri yang tak bisa ku sebutkan
namanya satu persatu, namun percayalah kalian selalu terkenang di hati.
Kalian
tau, hikmah apa yang ada dalam perjuangan kami? Banyak sekali, diantaranya
adalah Gotong royong, saling menyuport satu sama lain bahkan ketika keadaan
menjatuhkan kita sekalipun. Perjuang adalah harga mati untuk menggapai impian,
namun tidak berhenti disitu, ketika impian sudah kita raih, perjuangan tetap
harus dilakukan, demi menjaga impian yang sudah kita raih untuk tidak
menyombongkan diri, dan mensyukuri pemberian illahi. Memang enggan untuk
berjuang, karena melihat keadaan yang begitu ngeri. namun ketika kita terjun di
dalamnya, pahami dan pahami arus yang kita dijalani, disitulah pembelajaran
yang harus kita miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar