Senin, 03 Oktober 2016

Perjuangan Santriwati Di Depan Koperasi.



Senang, bahagia, sedih, melas, mengkel, ahh... pokoknya nano-nano kalau mengenang masa-masa nyantri di assalafiyat tercinta. kata-kata tidak cukup mewakili kebahagiaan yang teramat dalam yang telah kami rasakan disana. Bahkan mungkin tak ada ujungnya jika melukiskan kisah kami para santri yang malang, yang setiap harinya melototi makanan. Persis kaya orang gak pernah ngeliat makanan satu bulan saja, yahh.. seperti itulah wajah kami dahulu kala hahhahha... seolah-olah makanan itu paling istimewa.
Padahal, kalian tau?!, makanannya itu ala kadarnya saja, mungkin bagi lidah-lidah yang sudah berada di rumah masing-masing itu rasanya tidak begitu enak, tapi bagi kami? Entah ada hasrat apa, seakan-akan terhipnotis dengan makanan koperasi hehehhe... tidak pandang anak orang kaya, anak pejabat, anak kota, anak kampung, bahkan wong ndeso seperti saya, semuanya mengincar makanan, hahahaha... sudah kaya mata kucing saja, sumpah senyam-senyum aku nulisnya. 
Dan kalian tau? Koperasi pondok hanya buka di jam-jam tertentu saja, karena penjaga koprasinyapun para santri yang mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti santri pada umumnya. Dan pada saat tiba waktunya koperasi buka, itu rasanyaaaaaaa.... syurga dunia bagi kami para santri,kala itu. Bahkan sebelum koperasi bukapun, kami sudah nongkrong antri di depan koperasi, coba bayangkan saking apanya ituu...?!!
Puluhan santri turun ke lantai satu sembari merubah kostum sarung mereka yang di lipat sampai lutut, dan kami bersarungan hanya sampai lutut saja. Perlu diketahui, pondok kami mewajibkan pakai sarung, celana panjang tidak berlaku di pondok, rok pun hanya berlaku pada jam sekolah saja atau madrasah. Untuk itu kami lihay dalam sarung menyarung,hahaha..... dan segera bergegas menuju koperasi untuk mendapat posisi barisan depan, sudah kaya mau perang saja yak... namun faktanya demikian.
Koperasi yang luasnya sekitar 3x3 an lah, dan bukan berbentuk tembok, melainkan anyaman kawat, sehingga semua isi di koperasi itu terlihat. Sedangkan kami membelinya hanya lewat jendela koperasi yang lebarnya setengah tembok saja dari ukuran luas koperasi, tak sebanding dengan jumlah santri yang sekitar 300 anak yang nyantri di pondok kala itu. Coba bayangkan betapa ruwet dan ramainya kehidupan para santri, sungguh nikmat duniawi. Wajar saja kalau Sie.Keamanan setiap kali memberikan pengumuman, keributan (suara membeli para santri) di koperasi selalu ada di catatan paling atas, karena suara berpuluh-puluh santri yang ingin cepat dilayani.
Kala itu saya bersama karib saya join ke koperasi, mbak nung namanya hahhahah... karena rasa sayang ini teramat besar terhadap pasangan, melihat sosoknya yang terlalu anggun untuk berdesak-desakan, akhirnya saya memutuskan untuk terjun ke barisan, tentunya dengan kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas dan kerja tuntas. Hahaha.. sedangkan mbak nung bagian menunggu operan makanan dari saya di belakang, sambil jadi chiliders gitu.
Waktu itu koperasi belum buka, dan saya bergegas menuju bagian depan sambil bersandar di jendela koperasi yang masih tertutup, menunggu instruksi petugas untuk membukanya. Ketika barisan sudah penuh, dan saya sudah tidak bisa lagi bergeser kana-kiri, hanya duduk nongkrong siap-siap berdiri menunggu jendela di buka ke atas dan di kaitkan dengan besi yang sudah tergantung di atap, yang sudah disesuaikan dengan panjang pintu jendela koperasi. Dan tiba saatnya instruksi petugas, namun liciknya saya kala itu, saya berada di barisan paling depan dan tepat di gagang jendela, namun saya tidak mau memegang gagang itu kemudian mengoper ke bagian belakang, kemudian bagian belakang yang mengaitkan ke besi yang tergantung. Begitu rutinitasnya dan berjalan begitu saja tanpa ada yang menyuru, teman-teman langsung tanggap.  Saya hanya diam, membiarkan baris kedua atau teman yang mengantri di samping saya yang membukakan jendela koperasi, sedangkan saya langsung berdiri, nongol di depan petugas koperasi dan berteriak “mba gorengan gangsal, piscok tigo, oreg kering kali, basah kali, roti kaimut tigo, risol tigo mba”.triak saya sambil menyanggah badan agar tidak terhimpit dorongan teman-teman di belakang. Hahahhhaaha...sengsara banget ya,,, tapi seru, di tambah lagi logat kami di koperasi. Bahasa kromo yang wajib kita gunakan saat berada di koperasi, kamar mandi, pokoknya di lantai 1 wajib berbahasa kromo. Sumpah seruu...
Eeiiittt.... tidak cuma berhenti disitu saja loh, mba nung yang sudah tau kalau saya sudah dilayani, hendak bergegas ke barisan belakang, untuk menerima operan makanan yang sudah saya beli, sayapun mengoper makanan pada karib yang satu ini, sembari menahan badan agar tempat saya tidak tergusur desakan teman-teman. karena jarak yang terlalu jauh terhalang kerumunan santri, tangan mba nungpun tak sampai, hingga mba nung harus berjinjit-jinjit untuk menerima operan makanan hahhahha, tidak berhenti disitu juga, tiba saatnya saya kembali berjuang untuk keluar dari kerumunan, melawan arus yang begitu keras, melawan tenaga-tenaga super heronya santri putri, hingga keringan bercucuran, dan akhirnya, keluarlah saya dari kerumunan sembari memegangi sarung yang melorot hahhahaha..... begitupun mba nung, menerima makanan sambil memegangi sarung yang melorot sambil  berdesak-desakan keluar dari lorong koperasi. Dan setelah tiba di luar lorong koperasi,,,, “hahhahhahha aduhhh,,, aduhhh  akhirnyaa” tawa kami lepas bahagia bernada, setelah wajah cemberut, kesel, sebel,capek, karena lelahnya berjuang dalam kerumuman,sambil berucap “alhamdulillah” .
Perjuangan di depan Koperasi pondok,begitulah para santri menyebutnya. Karena perlu perjuangan besar untuk berebut makanan dan keluar dari barisan paling depan, dengan puluhan santri yang berdesakan, yang semuanya ingin cepat di depan dan ingin cepat keluar dari barisan, sedangkan untuk mendapatkan barisan terdepan membutuhkan semangat juang yang memaksa kami harus selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan, tidak membiarkan cela sekecil apapun diambil teman. Untuk itulah sebelum mulai berdesak-desakkan kami harus mempersiapkan diri kami dengan matang untuk memulai masuk dalam barisan, jika setengah-setengah maka dipastikan kami gagal, karena terlalu lama di barisan tengah terhimpit oleh barisan depan dan belakang, terjebak dalam menentukan jalan perjuangan. Hahahhaa.. konyol memang, namun banyak hal yang dapat aku pelajari dari sana, salah satunya adalah pelajaran untuk menggapai cita-cita. Tapi alhamdulillah kami tidak menganut “sengggol bacok” hahhaha waduh bahaya sekali kalau para santri penuh dengan amarah.
Itulah sekelumit memori yang berkesan bagi kami para santri putri, termasuk saya. Bukan hanya bersama mba nung saja, melainkan  bersama sahabat-sahabat seperjuangan, dan orang-orang yang aku sayang lainnya, santri putri yang tak bisa ku sebutkan namanya satu persatu, namun percayalah kalian selalu terkenang di hati.
Kalian tau, hikmah apa yang ada dalam perjuangan kami? Banyak sekali, diantaranya adalah Gotong royong, saling menyuport satu sama lain bahkan ketika keadaan menjatuhkan kita sekalipun. Perjuang adalah harga mati untuk menggapai impian, namun tidak berhenti disitu, ketika impian sudah kita raih, perjuangan tetap harus dilakukan, demi menjaga impian yang sudah kita raih untuk tidak menyombongkan diri, dan mensyukuri pemberian illahi. Memang enggan untuk berjuang, karena melihat keadaan yang begitu ngeri. namun ketika kita terjun di dalamnya, pahami dan pahami arus yang kita dijalani, disitulah pembelajaran yang harus kita miliki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar